Advertorial

Kecintaan pada Alam Bawa Guru Besar UI Prof Jatna Supriatna Jadi Pahlawan Lingkungan

Kompas.com - 10/11/2023, 16:22 WIB

KOMPAS.com – Profesor Drs Jatna Supriatna, PhD dikenal sebagai salah seorang pahlawan lingkungan di Tanah Air.

Guru besar sekaligus peneliti di Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Indonesia (UI), itu menerima predikat tersebut sejak 1999 saat menerima penghargaan Golden Ark Award dari Pangeran Bernhard asal Belanda.

Penghargaan diberikan lantaran Prof Jatna dinilai berjasa serta berkontribusi besar terhadap lingkungan hidup, terutama di bidang konservasi alam.

Kecintaannya terhadap alam bermula saat masih duduk di bangku sekolah menengah atas (SMA). Kala itu, ia gemar mendaki gunung dan berkemah. Terlebih, Prof Jatna saat remaja bertempat tinggal di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Hal ini mendukung dirinya untuk menjelajahi gunung-gunung di kawasan Jawa Barat. Dari situlah, ia mulai tertarik dengan ilmu alam, seperti geologi, biologi,zoologi, dan antropologi.

Ia pun mantap menjatuhkan pilihan pada biologi sebagai bidang keilmuan yang digeluti.

Riset orang utan

Saat menempuh pendidikan sarjana, Prof Jatna mendapatkan kesempatan untuk melakukan riset tentang orang utan di Kalimantan. Selama delapan bulan, ia tinggal di tengah hutan bersama peneliti lain.

“Lokasi penelitiannya jauh sekali ada di tengah hutan. Untuk menuju kampung, butuh waktu kira-kira 1 jam perjalanan dengan perahu. Namun, itulah yang membuat saya jatuh cinta pada bidang ini (biologi). Dari pengalaman itu, saya belajar banyak mengenai hutan, penduduk asli orang Dayak, dan masih banyak lagi,” ujarnya menggambarkan pengalaman ketika itu, sebagaimana tertuang dalam rilis pers yang diterima Kompas.com, Jumat (10/11/2023).

Bak gayung bersambut, kecintaannya pada bidang zoologi membuka berbagai peluang bagi Prof Jatna untuk makin menekuni bidang tersebut.

Ia pernah bergabung dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) serta terlibat dalam penelitian di Sulawesi, Papua, Sumatra, dan Kalimantan.

Tidak hanya itu, Prof Jatna juga mendapat tawaran untuk mengajar di Departemen Biologi FMIPA UI yang berlangsung hingga saat ini.

Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan magister pun datang. Ia pun memilih mempelajari biologi di Amerika Selatan serta melakukan riset selama berbulan-bulan di Hutan Amazon.

Adapun untuk program doktor, ia memilih melakukan riset di Sulawesi bersama para mahasiswa bimbingannya.

“Primatologi saat itu adalah bidang yang masih jarang ditekuni sehingga saya lebih banyak melakukan kajian ke luar negeri untuk memperoleh ilmu tentang primata. Wild life conservation atau konservasi hewan liar yang saya pelajari, meliputi orang utan, lutung, monyet, dan berbagai spesies lain. Saat ini, ilmu itu lebih dikenal dengan istilah biologi konservasi,” jelas Prof Jatna.

Terapkan ilmu konservasi alam

Berangkat dari pengalamannya selama melakukan riset di berbagai negara, Prof Jatna menyadari bahwa ilmu konservasi alam dapat dipelajari dan diterapkan secara global.

Menurutnya, kondisi geografis negara yang berbeda-beda membuat ilmu seseorang menjadi terbatas. Oleh karena itu, diperlukan konferensi internasional sebagai media untuk bertukar ilmu antara peneliti satu dan peneliti lain.

“Kita sebagai orang Indonesia tentu lebih memahami kondisi geografis negara tropis daripada orang-orang di negara empat musim. Begitu juga sebaliknya. Jika menekuni kekhasan ini, tentu kita akan menjadi ahli di bidangnya,” jelas Prof Jatna.

Ia menilai, relasi dengan peneliti di universitas terbaik dunia perlu dijalin. Sebab, riset bersama dapat menjadi jalan untuk menemukan solusi atas permasalahan biodiversitas.

Guna mewujudkan relasi tersebut, ia telah mengunjungi 70 negara untuk mengkaji konservasi alam di berbagai belahan dunia.

Ada hal yang menarik dari upaya Prof Jatna. Ia memiliki syarat khusus jika diundang mengisi konferensi di negara lain, yakni berkunjung ke taman nasional.

Nama Prof Drs Jatna Supriatna, PhD dijadikan sebagai takson untuk beberapa spesies, di antaranya Tarsius supriatnai, Draco supriatnai, dan Cyrtodactylus jatnai.Dok. Zuliyanto Zakaria Nama Prof Drs Jatna Supriatna, PhD dijadikan sebagai takson untuk beberapa spesies, di antaranya Tarsius supriatnai, Draco supriatnai, dan Cyrtodactylus jatnai.

“Saya pernah pergi ke Bogota, Kolombia. Saya diminta untuk memaparkan materi tentang biodiversitas Indonesia. Saya bilang boleh, tapi fasilitasi saya untuk datang ke taman-taman nasional di sana,” ujar Prof Jatna.

Prof Jatna menyebut bahwa konservasi alam bukanlah upaya yang tidak bisa mendatangkan uang. Upaya ini justru dapat mendatangkan banyak manfaat ekonomi.

Taman nasional dapat dijadikan ecotourism yang dapat mendatangkan peluang ekonomi pariwisata masyarakat setempat. Selain itu, penyerapan karbon dunia juga sangat bergantung pada hutan Indonesia.

Ia menjelaskan, potensi Indonesia untuk karbon sekitar 600 juta dollar AS.

“Bayangkan, kalau dikonservasi, yang dijual bukan kayu dan sebagainya, tetapi daya serap hutan kita atas karbon. Sekarang, harga karbon mencapai 10-20 dollar AS per ton. Selain itu, semua makanan dan obat-obatan berasal dari alam. Kalau kita tidak menjaga alam, orang lain akan datang dan mengambil materi yang kita punya,” tuturnya.

Deretan penghargaan

Adapun ide-ide terkait konservasi alam dituangkan Prof Jatna dalam 20 buku mengenai lingkungan dan konservasi. Lebih dari 150 makalah bereputasi internasional pun telah dihasilkan Prof Jatna.

Kontribusi tersebut telah membawa Prof Jatna menerima berbagai penghargaan. Beberapa di antaranya adalah Habibie Award (2008), Terry MacManus Award (2010), dan Achmad Bakrie Awards (2011).

Tidak hanya itu, Prof Jatna juga berhasil meraih penghargaan Lifetime Achievement from Conservation International (2017). Terbaru, Prof Jatna meraih penghargaan The Bosscha Medal 2023.

Bahkan, nama Prof Jatna telah dijadikan sebagai takson untuk beberapa spesies, di antaranya Tarsius supriatnaiDraco supriatnai, dan Cyrtodactylus jatnai.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com