KOMPAS.com – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi DKI Jakarta akan mengundang sejumlah satuan kerja perangkat daerah (SKPD), seperti Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PM-PTSP), Dinas Cipta Karya, Tata Ruang dan Pertahanan (CKTRP), Wali Kota Jakarta Selatan, serta Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol-PP), usai menerima aduan warga mengenai gangguan ketertiban di Jalan Tulodong sampai Widya Chandra, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan (Jaksel).
Warga mengaku resah atas gangguan ketertiban umum akibat bisnis kuliner, yakni kafe, yang menjamur di wilayah tersebut. Pasalnya, sebagian besar kafe tidak memiliki lahan parkir mumpuni. Hal ini membuat pengunjung memarkirkan mobil di bahu jalan dan trotoar yang menyebabkan kemacetan.
Oleh warga, deretan bisnis kuliner itu juga dianggap telah membuat lingkungan sekitar menjadi karut-marut. Warga juga merasa terganggu dengan suara bising dan pencemaran limbah di saluran pembuangan.
Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi mengatakan, persoalan tersebut harus dikaji secara mendalam sehingga Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta bisa mengambil langkah konkret.
“Nanti, saya bicara dengan Pak Penjabat (Pj) Gubernur Heru Budi (mengenai masalah tersebut). Harus ada langkah-langkah konkret (untuk mengatasinya),” ujar pria yang akrab disapa Pras itu dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Rabu (29/11/2023).
Pengusaha wajib kelola lingkungan
Sebelumnya, DPRD DKI Jakarta juga sudah melakukan audiensi dengan PM-PTSP. Dalam audiensi diketahui bahwa kafe dan usaha kuliner yang dianggap mengganggu ketertiban memiliki izin usaha.
Nomor Induk Berusaha (NIB) dari pengusaha tersebut terbit secara otomatis melalui online single submission (OSS) karena tergolong memiliki tingkat usaha risiko rendah.
Sekretaris Dinas PM-PTSP Iwan Kurniawan mengatakan, saat mengurus izin usaha melalui OSS, pelaku usaha sebenarnya diwajibkan mengisi Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan (SPPL) yang berisi pernyataan kesanggupan untuk menjaga lingkungan.
"Salah satu statement point SPPL adalah menjaga ketertiban. Kemudian, kegiatan usaha juga harus sesuai dengan tata ruang. Jadi, begitu izin usaha terbit, pelaku usaha harus menjaga kesesuaian dan ketertiban sesuai dengan pernyataan tersebut,” ucap Iwan.
Pada kesempatan sama, Ketua Komisi B DPRD DKI Jakarta Ismail mengkritisi data pada OSS yang belum terintegrasi dengan sistem perizinan yang milik Pemprov DKI Jakarta.
“Harus segera dilakukan evaluasi untuk menyempurnakan sistem OSS itu,” kata Ismail.
Dia pun meminta Pemprov DKI Jakarta untuk melakukan kajian dan evaluasi pada bisnis kuliner di daerah tersebut.
Jika ada indikasi pelanggaran yang tidak sesuai dengan izin, lanjut Ismail, penindakan harus dilakukan secara tegas.
“Sanksi dapat diberikan sesuai peraturan, mulai dari peringatan, penyesuaian, hingga pencabutan izin,” tutur Ismail.
Hak warga dirampas
Salah satu warga di Jalan Tulodong, Adrian Pangabean, menceritakan bahwa kemacetan di wilayah tersebut terjadi setiap hari dan meningkat pada sore hingga malam hari. Bahkan, ia kesulitan mengeluarkan kendaraannya menuju jalan raya di kawasan Senopati.
"Masalah Senopati menjadi concern kita. Kemacetan di Senopati bermula dari Widya Chandra. Kemudian, merembes ke Jalan Tulodong Bawah hingga mencapai kawasan SCBD. Kepanjangan macetnya (bisa) sampai ke Gatot Subroto,” kata Adrian.
Dia melanjutkan, aktivitas warga juga menjadi terganggu akibat mobil pengunjung kafe yang diparkir di trotoar. Bahkan, layanan parkir valet menempatkan mobil pengunjung di pekarangan rumah warga.
“Hak pejalan kaki diperkosa, hak pemilik jalan lain diperkosa, dan hak ketenangan jalan diperkosa. (Ini) yang diuntungkan siapa? Sementara, kami bayar pajak bumi dan bangunan (PBB) mahalnya luar biasa," ucap Adrian.
Sementara itu, pemilik kafe Kurasu Indonesia Joshua mengaku bahwa pihaknya telah mengantisipasi kelebihan kapasitas parkir. Salah satunya dengan memperbanyak staf layanan parkir vallet.
“Untuk membantu memarkirkan mobil dibutuhkan waktu 10-15 menit karena area parkir kami tidak di sekitar Jalan Tulodong,” ucap Joshua.
Dia juga menepis anggapan bahwa jumlah pengunjung yang parkir berlebih. Sebab, sebagian besar operasional bisnis Kurasu dilakukan secara online.
“Kami juga tidak segan untuk menolak pelanggan jika tempat sudah terlalu penuh,” tegas Joshua. (***)