Advertorial

BI Tetap Pertahankan Kebijakan Makroprudensial Longgar demi Dukung Pertumbuhan Ekonomi dan Stabilitas Sistem Keuangan

Kompas.com - 05/12/2023, 11:14 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com – Bank Indonesia (BI) akan tetap mempertahankan kebijakan makroprudensial longgar pada 2024. Kebijakan ini diberlakukan untuk mendorong kredit dan pembiayaan perbankan yang optimal dengan tetap menjaga stabilitas sistem keuangan (SSK).

“Untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, kebijakan makroprudensial longgar akan kami pertahankan pada 2024,” ujar Gubernur BI Perry Warjiyo pada Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) 2023 yang digelar di Kantor BI, Jakarta, Rabu (29/11/2023).

Arah kebijakan makroprudensial longgar ditempuh BI menyasar tiga hal, yaitu pertumbuhan kredit optimal, SSK terjaga, serta inklusi ekonomi dan keuangan, sesuai dengan siklus keuangan yang perlu didorong.

Hal tersebut dibuat berdasarkan pada pertimbangan bahwa siklus keuangan Indonesia masih dalam tahap kenaikan mengikuti siklus ekonomi yang juga akan meningkat.

Perry menjelaskan, kebijakan tersebut akan diimplementasikan melalui tiga instrumen pokok.

Pertama, meningkatkan efektivitas Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) dan melonggarkan seluruh instrumen kebijakan makroprudensial lain. Tujuannya, untuk mendorong kredit atau pembiayaan perbankan ke sektor-sektor prioritas dalam perekonomian nasional.

Adapun KLM merupakan kebijakan yang diberikan BI kepada perbankan untuk mendorong penyaluran kredit ke sektor-sektor prioritas, seperti industri mineral dan batu bara (minerba) dan nonminerba, perumahan, industri hilirisasi, serta pariwisata.

“Seluruh insentif likuiditas Rp 159 triliun dengan tambahan sekitar Rp 20 triliun dapat dimanfaatkan oleh perbankan,” jelasnya.

Berdasarkan data realisasi BI per November 2023, sebanyak 120 bank telah memanfaatkan insentif likuiditas KLM, dengan jumlah mencapai Rp 138 triliun. Dengan demikian, jumlah insentif likuiditas KLM yang masih dapat dimanfaatkan oleh perbankan sekitar Rp 21 triliun.

Kedua, pelonggaran likuiditas dengan menurunkan rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) untuk mendorong kredit atau pembiayaan dan terjaganya SSK dari dampak rambatan global.

Kewajiban PLM, baik kepada Bank Umum Konvensial (BUK) maupun Bank Umum Syariah (BUS), diturunkan masing-masing sebesar 100 basis poin (bps) menjadi 5 persen dan 3,5 persen mulai 1 Desember 2023.

“Kebijakan tersebut akan menambah fleksibilitas likuiditas sebesar Rp 81 triliun. Perbankan diharapkan dapat memanfaatkannya untuk menyalurkan kredit dan turut menjaga SSK,” terang Perry.

Selain itu, fleksibilitas likuiditas juga diharapkan dapat memperkuat ketahanan SSK, termasuk dalam memitigasi risiko dari rambatan gejolak global.

Ketiga, penguatan surveilans SSK secara sistemik untuk menjaga SSK. Hal ini dilakukan dengan berkoordinasi dengan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Surveilans sistemik BI sebagai pelaksanaan dari pengawasan makroprudensial berfokus pada bank-bank besar yang dari sisi keterkaitan makroekonomi-sektor keuangan dinilai sangat berpengaruh dalam penyaluran kredit dan pembiayaan dan SSK secara keseluruhan.

Sejumlah aspek penting dalam surveilans sistemik BI mencakup kinerja kredit atau pembiayaan, ketahanan terhadap risiko likuiditas, risiko pasar (nilai tukar dan yield surat berharga negara/SBN), dan risiko kredit, serta interkoneksi dalam pendanaan, pasar uang dan sistem pembayaran.

Dalam pelaksanaannya, BI berkoordinasi erat dengan KSSK untuk bersama menjaga SSK ataupun secara bilateral dengan pengawasan mikroprudensial oleh OJK.

Sebagai antisipasi ketidakpastian kondisi global

Perry melanjutkan, kebijakan makroprudensial longgar yang dipertahankan pada 2024 merupakan langkah antisipasi terhadap ketidakpastian kondisi global yang masih akan terjadi di masa mendatang.

Kondisi tersebut terlihat dari lima indikator berikut. Pertama, slower and divergent growth. Pertumbuhan ekonomi global diproyeksikan menurun menjadi 2,8 persen pada 2024 dan kembali meningkat menjadi 3 persen pada 2025.

“Fragmentasi geopolitik dan fragmentasi geoekonomi bedampak pada prospek ekonomi global yang akan meredup pada 2024 sebelum bersinar kembali pada 2025,” jelasnya.

Divergensi pertumbuhan terjadi antarnegara maju, khususnya AS, yang relatif tinggi dengan negara Emerging Market and Developing Economies (EMDEs) yang tumbuh menurun dan stagnan.

Ekonomi Amerika Serikat, imbuhnya, diperkirakan masih tumbuh dengan baik, sedangkan perekonomian China mengalami perlambatan. Ekonomi India dan Indonesia diproyeksikan tumbuh tinggi.

Kedua, gradual disinflation. Penurunan inflasi akan berjalan lambat, sekalipun negara-negara maju telah mengambil kebijakan pengetatan moneter secara agresif. Kebijakan dari negara-negara maju baru bisa menurunkan inflasi pada 2024.

“Itu pun masih di atas target karena harga energi dan pangan (yang tinggi) serta (permasalahan) tenaga kerja,” tegasnya.

Ketiga, higher for longer. Suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau The Federal Reserve (Fed) masih akan tinggi pada 2024. Yield obligasi pemerintah AS juga terus meningkat karena utangnya juga meningkat.

Keempat, strong dollar. Nilai tukar dollar AS masih kuat sehingga mengakibatkan tekanan depresiasi terhadap mata uang di seluruh dunia, termasuk rupiah.

Kelima, cash is the king. Modal dalam jumlah besar mengalir keluar dari negara berkembang ke negara maju, sebagian besar ke AS. Hal ini dipengaruhi oleh peningkatan suku bunga The Feds dan penguatan dollar AS.

“Kelima gejolak global tersebut berdampak negatif ke berbagai negara, termasuk Indonesia. (Oleh karena itu), perlu kita waspadai dan antisipasi dengan respons kebijakan yang tepat untuk ketahanan dan kebangkitan ekonomi nasional,” papar Perry.

Dorong pembiayaan sektor riil dan belanja pemerintah

Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang hadir dalam PTBI 2023 mengapresiasi sinergi BI, OJK, dan Kementerian Keuangan dalam menjaga pertumbuhan ekonomi nasional di tengah ketidakpastian global.

Jika dibandingkan dengan negara lain, Presiden mengatakan, pertumbuhan ekonomi nasional masih terjaga di kisaran 5 persen.

Hal tersebut patut disyukuri karena Indonesia masih menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi di dunia di tengah kondisi global yang tidak menentu. Inflasi juga masih cenderung stabil, yaitu 2,6 persen.

“Saya mengajak seluruh perbankan, memang harus prudent, memang harus hati-hati. Namun, tolong lebih didorong lagi (penyaluran) kreditnya, terutama bagi usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Tujuannya, agar sektor riil bisa kelihatan lebih baik dari tahun lalu,” tutur Presiden.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com