Advertorial

Perubahan UU ITE Lindungi HAM dan Ruang Digital Indonesia

Kompas.com - 06/12/2023, 12:34 WIB

KOMPAS.com – Perubahan kedua atas Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) merupakan kebijakan besar untuk menghadirkan ruang digital yang bersih, sehat, beretika, produktif, dan berkeadilan.

Dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dan Pemerintah di Gedung Nusantara II DPR RI, Jakarta Pusat, Selasa (5/12/2023), Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi menegaskan bahwa perubahan tersebut merupakan wujud tanggung jawab pemerintah untuk mengedepankan perlindungan kepentingan umum, serta bangsa dan negara.

"Sama halnya dengan ruang fisik, pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memenuhi hak asasi manusia (HAM) bagi pengguna internet Indonesia di ruang siber, seperti yang telah tertuang pada konstitusi Indonesia," ujarnya seperti dikutip dalam keterang resmi yang diterima Kompas.com, Rabu (6/12/2023).

Menurut Budi, perubahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kedua UU ITE memiliki arti penting sejalan dengan kebutuhan masyarakat dan perkembangan hukum baik nasional ataupun global.

"Ruang digital merupakan virtual melting pot, tempat pertemuan berbagai nilai, kebudayaan, kepentingan, dan hukum yang berbeda," jelasnya.

Ia melanjutkan, setidaknya ada lima alasan perubahan tersebut perlu dilakukan. Pertama, penerapan norma pidana dalam UU ITE berbeda-beda di berbagai tempat.

"Akibatnya, banyak pihak yang menganggap norma-norma UU ITE multitafsir, karet, memberangus kemerdekaan pers, serta mengancam kebebasan berpendapat," jelasnya.

Kedua, UU ITE belum dapat memberikan perlindungan yang optimal bagi pengguna internet Indonesia.

Padahal, Budi menyebutkan, penggunaan produk atau layanan digital dapat memberi manfaat besar bagi pertumbuhan dan perkembangan anak jika digunakan secara tepat.

Oleh karena itu, penyelenggara sistem elektronik harus mengambil tanggung jawab dalam memenuhi hak-hak anak, sekaligus melindungi mereka dari bahaya atau risiko fisik dan psikis.

"Dalam berbagai situasi, anak belum memiliki kapasitas atau kemampuan untuk memahami risiko dan potensi pelanggaran haknya dalam produk atau layanan digital," tuturnya.

Ketiga, pemerintah menaruh perhatian pada pembangunan ekosistem digital yang adil, akuntabel, aman, dan inovatif.

Budi menilai, Indonesia memiliki potensi ekonomi digital yang besar dan diperkirakan akan menyumbang sepertiga potensi ekonomi digital di kawasan ASEAN.

"UU ITE yang ada saat ini perlu mengoptimalkan peran pemerintah dalam membangun ekosistem digital. Melihat besarnya potensi ekonomi digital Indonesia, pemerintah perlu memperkuat regulasi dalam memberikan perlindungan pengguna layanan digital Indonesia dan pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM)," jelasnya.

Keempat, layanan sertifikasi elektronik, seperti tanda tangan elektronik, segel elektronik, dan autentikasi situs web serta identitas digital, yang semakin berkembang.

"(Maka dari itu,) Indonesia butuh landasan hukum yang lebih komprehensif dalam membangun kebijakan identitas digital serta layanan sertifikasi elektronik lainnya," tandas Budi.

Terakhir, perubahan UU ITE diperlukan berkaitan dengan aspek penegakan hukum.

Budi menerangkan bahwa saat ini, diperlukan penguatan kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalam melakukan penyidikan tindak pidana siber, khususnya yang menggunakan rekening bank dan aset digital dalam skema kejahatan.

"Dalam hal ini, PPNS di sektor ITE butuh kewenangan untuk memerintahkan penyelenggara sistem elektronik dalam melakukan pemutusan akses sementara terhadap rekening bank, uang elektronik, dan atau aset digital," tegasnya.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com