KOMPAS.com – Pembangunan ramah lingkungan dapat mendatangkan manfaat ekonomi secara berkelanjutan. Penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT), misalnya, dapat mendatangkan pendapatan baru, di samping manfaat lingkungan.
Executive Vice President Aneka Energi Baru Terbarukan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN Zainal Arifin mengatakan, selain membangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) terapung di Cirata, Jawa Barat, dan melakukan co-firing biomassa untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), PLN juga mengembangkan pembangkit listrik dari sampah sebagai bagian dari upaya transisi energi.
Pembangunan pembangkit listrik sampah bekerja sama dengan 12 pemerintah daerah (pemda), seperti Jakarta, Surakarta, Bandung, Palembang, Surabaya, dan Bali.
“Pembangkit listrik tersebut memanfaatkan sampah yang telah dikumpulkan oleh masyarakat di bank sampah. Sampah-sampah ini kemudian diubah menjadi tenaga listrik melalui teknologi Refuse Derived Fuel (RDF) Plant,” terangnya pada diskusi CEO Goes to Campus Universitas Indonesia (UI) bertajuk “Powering the Future: Innovations for a Sustainable Mission” di Fakultas Teknik UI, Depok, Jawa Barat, Rabu (6/12/2023), seperti dikutip dari pemberitaan Kompas.id, Kamis (7/12/2023).
RDF Plant sendiri merupakan teknologi turunan dari pembuangan sampah (landfill mining) untuk mengeringkan sampah. Selanjutnya, sampah akan digunakan sebagai bahan bakar mesin, seperti batu bara menghidupkan turbin PLTU.
Saat ini, terang Zainal, pengolahan sampah hasil kerja sama PLN bersama 12 pemda tersebut telah menghasilkan 350 kilowatt-jam (kWh). Meski demikian, baru empat pemda yang mampu menghasilkan tenaga listrik untuk PLN. Salah satunya adalah Surabaya.
“Kami beli fit in tarif yang telah ditetapkan pemerintah sebesar 13 sen dollar AS per kWh atau sekitar Rp 2.000 per kWh. Angka ini cukup menarik karena lebih mahal dari tarif listrik PLN. Inisiatif ini menjadi bukti kontribusi PLN untuk mengatasi permasalahan sampah di kota-kota besar,” imbuhnya.
Inisiatif tersebut merupakan upaya konkret PLN untuk menekan emisi karbon dari penggunaan energi fosil untuk menghasilkan tenaga listrik. Selain itu, PLN turut menggerakkan ekonomi daerah dari pembelian listrik dari pembangkit listrik sampah.
Hingga saat ini, PLN telah membangun pembangkit listrik berbasis EBT sekitar 1 GW dan masih dalam tahap konstruksi sebesar 5 GW. Capaian tersebut masih jauh dari target PLN pada 2030, yakni EBT 20,9 GW.
Manfaatkan daur ulang
Pemanfaatan daur ulang juga dilakukan SKF Indonesia. Segment Digital Transformation Department Head SKF Indonesia Anis Lutfi mengatakan, pihaknya mengubah strategi bisnis untuk bisa mencapai nol emisi bersih (net zero emission) pada lini rantai pasok pada 2030, mulai dari material bahan baku hingga produk bearing yang dihasilkan ke pelanggan.
“Keberlanjutan sudah menjadi strategi bisnis. Oleh karena itu, kami memiliki dua strategi, yakni memanfaatkan digitalisasi dan pembangunan berkelanjutan,” ujar Anis.
Pada aspek digitalisasi, lanjut Anis, SKF berfokus menerapkan industri 4.0, seperti penggunaan internet of things (IOT) dengan sensor fibrasi nirkabel untuk mengirim data ke awan penyimpanan (cloud).
Kemudian, SKF membangun fasilitas pusat perbaikan bearing (remanufacturing center) pada aspek pembangunan berkelanjutan. Saat ini, SKF memiliki 42 remanufacturing center di dunia, termasuk di Indonesia.
Melalui remanufacturing center, pelanggan SKF dapat mendaur ulang bearing yang rusak dengan syarat masih memungkinkan untuk diperbaiki. Kebijakan ini mampu mereduksi biaya produksi sampai 50 persen, mengurangi emisi karbon, dan efisiensi waktu pengiriman.
“Perusahaan besar kerap memiliki target pembangunan berkelanjutan, berapa emisi karbon yang harus dikurangi. Dengan mengirim bearing ke remanufacturing center, konsumen akan menerima sertifikat dan itu bisa dikalkulasikan untuk mencapai target pembangunan berkelanjutan. Itulah yang SKF lakukan,” tambahnya.
Adaptasi teknologi terbaru, kata Anis, membutuhkan biaya investasi tidak sedikit. Meski demikian, perusahaan mampu mengurangi biaya produksi melalui efisiensi yang didapat. SKF juga menawarkan rotating equipment program, yakni penerapan sistem sewa teknologi kepada pelanggan. Dengan demikian, perusahaan dapat menghemat biaya pengembangan teknologi.
Masih minim inovasi
Ketua Program Studi Teknik Lingkungan UI Cindy Rianti Priadi berpendapat, adopsi teknologi dalam hal inovasi pembangunan berkelanjutan di Indonesia masih minim.
Hal tersebut tecermin dari masih sedikit masyarakat yang memahami betul prinsip dasar 3R yakni mengurangi (reuse), menggunakan kembali (reduce), serta mendaur ulang (recycle).
“Kita tidak bisa menyamakan antara inovasi dan teknologi. Teknologi baru membutuhkan biaya investasi yang mahal. Sementara itu, inovasi lebih dari sekadar adaptasi teknologi, seperti efisiensi proses. Dengan demikian, inovasi biayanya lebih murah dan keuntungannya bisa langsung dirasakan,” tutur Cindy.
Sementara itu, dosen dan peneliti tetap Departemen Manajemen dan Research Associate Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI Anna Amalyah Agus mengatakan, World Economic Forum 2022 telah mengingatkan bahwa keberlanjutan lingkungan menjadi ancaman yang dihadapi global.
Hal itu dapat berdampak pada sektor perekonomian karena roda perekonomian akan terhenti tanpa adanya lingkungan.
Oleh karena itu, pemerintah telah menyiapkan infrastruktur berupa pasar karbon, pajak karbon, dan skema insentif karbon.
Dengan demikian, para pelaku bisnis dapat berlomba-lomba menerapkan pembangunan berkelanjutan karena dapat mendatangkan keuntungan.
Selain menjaga keberlanjutan lingkungan, kata Anna, infrastruktur tersebut dapat menciptakan peluang baru yang besar dalam menjalankan bisnis. Namun, inovasi karbon kredit belum diimbangi dengan kurikulum di institusi pendidikan.