Advertorial

Kalahkan Negara Maju, Cakupan UHC Indonesia lewat Program JKN Capai 95,88 persen

Kompas.com - 27/12/2023, 15:57 WIB

KOMPAS.com - Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan berhasil merealisasikan perluasan cakupan kepesertaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) secara masif sejak berdiri sejak satu dasawarsa silam.

Berdasarkan data BPJS Kesehatan, hingga Desember 2023, Program JKN telah memiliki 266 juta peserta atau setara dengan 95,88 persen dari total penduduk Indonesia.

Direktur Utama BPJS Kesehatan Ghufron Mukti mengatakan, capaian tersebut adalah sesuatu yang membanggakan. Sebab, BPJS Kesehatan jadi salah satu lembaga tercepat di dunia yang memiliki cakupan kepesertaan jaminan kesehatan secara luas.

Perlu diketahui, negara-negara maju, seperti di Eropa, pada umumnya membutuhkan waktu lebih dari satu abad untuk mewujudkan universal health coverage (UHC).

Jerman, misalnya. Sebagai negara yang paling awal menerapkan mekanisme jaminan kesehatan sosial sejak 1883 melalui inisiatif Kanselir Otto von Bismarck, Jerman baru bisa merealisasikan UHC selang 127 tahun kemudian.

Hal serupa juga terjadi pada Belgia yang baru bisa mewujudkan UHC setelah 118 tahun program jaminan kesehatan diadakan.

Ada dua negara di Eropa yang mampu merealisasikan UHC di bawah satu abad, yakni Austria selama 79 tahun dan Luksemburg selama 72 tahun.

Sementara dari benua Amerika, ada Kosta Rika yang berhasil mewujudkan UHC dalam periode 48 tahun. Dari benua Asia, ada Jepang yang sanggup merealisasikan UHC dalam kurun waktu 36 tahun.

"Sejauh ini, yang tercepat itu Korea Selatan (Korsel) karena bisa merealisasikan UHC dalam waktu 12 tahun. Namun, Indonesia juga bisa jadi yang tercepat untuk yang skemanya kontribusi. Sebab, kita dalam 10 tahun bisa mencakup 95 persen populasi. Sisanya, masih terus diupayakan agar bisa mencapai 100 persen," ujar Ghufron dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Rabu (27/12/2023).

Ghufron menambahkan, skema kontribusi yang diterapkan Program JKN kental dengan konsep gotong royong yang menjadi kekhasan budaya Indonesia.

Konsep tersebut memungkinkan masyarakat kaya membantu yang miskin, muda menyokong yang tua, dan sehat membantu yang sakit.

Implementasi konsep gotong royong dalam operasional Program JKN juga sekaligus menunjukkan sebuah kesatuan integrasi dari berbagai elemen.

"Tidak semua negara bisa mengimplementasikannya. Bahkan, saat saya menyampaikan ini dalam sebuah forum di Malaysia, mereka tidak memercayainya. Baru, ketika teman saya yang juga orang Malaysia, yakni Prof Datuk Al Junid membantu menjelaskannya, mereka langsung bisa percaya," katanya.

Tak sekadar percaya, lanjut Ghufron, tim dari Malaysia bahkan meminta bahan-bahan terkait penyelenggaraan Program JKN di Indonesia untuk didiskusikan lebih lanjut.

Tak hanya itu, Indonesia juga diminta untuk menjadi tuan rumah Asian eHealth Information Network General Meeting 2023 pada 6–9 November 2023. Kegiatan ini merupakan hasil kerja sama BPJS Kesehatan dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes).

“Dalam acara itu, puluhan delegasi dari berbagai negara yang tergabung melalui joint learning network memperlihatkan ketertarikannya untuk mempelajari pengelolaan Program JKN. Mereka mendatangi kantor pusat BPJS Kesehatan langsung untuk melakukan studi banding,” terang Ghufron.

Punya layanan lebih cepat

Konsep JKN yang diimplementasikan BPJS Kesehatan di Indonesia tak hanya memiliki keunggulan dalam hal kecepatan realisasi, tapi juga pelayanan yang diberikan.

Hal itu disebutkan Ghufron sangat berbeda dengan implementasi jaminan kesehatan di Inggris Raya yang menerapkan sistem jaminan kesehatan berbasis pajak.

Berbeda dengan Program JKN, realisasi layanan kesehatan di Inggris Raya mengharuskan warganya untuk menunggu cukup lama agar dapat mengakses layanan kesehatan.

Sebagai contoh, jika ingin melakukan operasi yang tidak terkategori darurat, warga di sana harus menunggu sekitar 4-6 bulan untuk mendapatkan penanganan. Masa tunggu yang relatif lama ini juga berlaku di Australia.

Namun, di Indonesia, realisasi waktu tunggu layanan kesehatan bisa dibilang lebih baik. Pasien JKN tidak perlu menunggu selama itu untuk mengakses layanan.

"Kalau di sini, menunggu lebih dari sebulan saja bisa-bisa pasiennya mengadu lewat media massa, media sosial, atau bahkan lapor ke presiden," ucap Ghufron.

Ghufron juga membandingkan konsep jaminan kesehatan di Indonesia dengan Amerika Serikat (AS) yang dilakukan melalui program Obama Health Care Reform. Dalam program ini, masih terdapat 35 juta warga AS yang belum terlindungi jaminan kesehatan.

Angka tersebut lebih besar daripada jumlah rakyat Indonesia yang belum terdaftar dalam program JKN, yakni sekira 25 juta.

“Sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024, UHC secara penuh ditargetkan bisa terealisasi pada 2024 yang mana minimal 98 persen penduduk terlindungi program JKN,” tuturnya.

Layanan JKN lebih komprehensif

Direktur Perencanaan, Pengembangan, dan Manajemen Risiko BPJS Kesehatan Mahlil Ruby menjelaskan bahwa cakupan manfaat Program JKN di Indonesia juga sangat komprehensif ketimbang negara lain.

Pasalnya, Program JKN mengakomodasi pelayanan kesehatan secara promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif tanpa mengharuskan peserta membayar biaya tambahan.

Sementara di negara lain, jaminan kesehatan biasanya memberlakukan batasan manfaat medis, mulai dari plafon tahunan per peserta, cost sharing, hingga pembedaan manfaat yang diterima sesuai besar iuran yang dibayarkan.

"Misalnya di Norwegia, penduduknya tetap harus membayar sesi konsultasi atau terapi kesehatan meski ada batasan biaya yang harus dibayarkan. Di Swedia, penduduknya juga harus membayar biaya konsultasi dokter," ucap Ruby.

Dalam hal pembiayaan, tambah Ruby, program JKN merangkum dana dari iuran peserta yang mengedepankan konsep gotong royong.

Cara tersebut digunakan agar iuran dari peserta yang sehat dialihkan untuk membantu pembayaran pelayanan kesehatan peserta yang sakit.

“Negara lain menerapkan konsep berbeda perihal sumber dana jaminan kesehatannya. Seperti di Kanada, Kosta Rika, dan Inggris, pendanaan bersumber dari pajak negara. Di Jerman pun penghasilan bulanan warganya dipotong 7,5 persen untuk iuran jaminan kesehatan,” ujar Ruby.

Sistem berbeda juga diterapkan di Perancis, yakni dengan mekanisme reimburse. Di sini, negara akan mengembalikan dana perawatan dengan kisaran 70-90 persen.

Di Asia Tenggara, Singapura juga menerapkan konsep berbeda, yakni dengan mewajibkan warganya menyisihkan 7-9 persen penghasilan untuk Medisave.

Penghasilan tersebut akan digunakan pemerintah untuk memberikan subsidi perawatan kesehatan, obat-obatan, dan alat kesehatan.

“Korsel lebih menarik lagi karena iuran jaminan kesehatan dilakukan secara elektronik berkat sistem penagihan yang terintegrasi dengan data di jaringan perbankan, kementerian perpajakan, dan agen properti. Jadi, saat ada penduduk yang menunggak iuran meski sudah diperingatkan, negara bisa menarik paksa asetnya untuk membayar tunggakan iuran kesehatannya," terang Ruby.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com