Advertorial

Menilik Asa MBR di Selatan Kota Nanas untuk Dapatkan Rumah

Kompas.com - 31/01/2024, 19:30 WIB

KOMPAS.com – Hujan deras yang mengguyur Kecamatan Prabumulih Selatan, Kota Prabumulih, Sumatera Selatan, jelang sore, Jumat (25/8/2023), disambut riang gembira oleh seluruh warga setempat. Tanah tandus dan sumur-sumur kering kerontang mulai basah dialiri air setelah dilanda kemarau panjang. Riuh ungkapan syukur pun bergema di berbagai sudut kota yang berjuluk Kota Nanas itu.

Ungkapan serupa juga datang dari Nelly (49). Ia tampak haru karena baginya, hari itu bersejarah. Hal yang tak pernah terbayangkan sebelumnya bisa terwujud. Nelly mendapatkan rumah setelah 30 tahun hidup berpindah-pindah.

Rumah yang didapat oleh orangtua tunggal dari tiga orang anak itu bertipe 18 meter persegi (6 x 3 meter) dengan luas kaveling 70 meter persegi (7x10 meter). Rumah ini dibangun di lahan luas yang terhampar di Kelurahan Sukaraja, sekitar 9 km dari rumah Nelly sebelumnya di Kelurahan Tugu Kecil.

Nelly menuturkan bahwa alasan 30 tahun hidup berpindah-pindah lantaran kondisi ekonomi keluarga. Selama 18 tahun, ia dan keluarganya tinggal di kontrakan. Sisanya, tinggal menumpang di lahan kebun milik tetangga karena tidak sanggung membayar sewa.

Kala itu, lanjutnya, tetangganya merasa iba sehingga mengizinkan Nelly dan keluarga tinggal di kebun yang letaknya tidak jauh dari sungai.

Di rumah berdinding papan kayu, berlantai tanah, beratap seng berkarat dengan penerangan seadanya itu, Nelly bertahan hidup membesarkan tiga orang anaknya. Saat siang hari, cuaca terasa terik menggigit. Risiko banjir pun mengintai bila hujan turun.

Memiliki rumah sendiri bagi Nelly itu bak mimpi tanpa muara, terlebih sepeninggal suaminya pada 2006 karena diabetes. Sejak saat itu, hidup terasa semakin keras baginya. Ia dituntut berperan ganda, mulai dari mengurus anak, rumah, hingga mencari nafkah.

Untuk menghidupi keluarga, Nelly bekerja serabutan menjadi tukang cuci baju kotor tetangga di kampungnya. Pendapatannya yang pas-pasan rentan tambal sulam. Upah Rp 1 juta dijejalkan untuk makan, biaya sekolah anak-anak, dan berbagai kebutuhan lainnya.

Kini, Nelly dapat bernafas lega. Bebannya yang berat kini perlahan ringan. Dengan menempati rumah barunya, ia menjadi tenang menatap masa depan. 

“Alhamdulillah, saya bersyukur, nggak nyangko dapet rumah, apalagi status rumahe dewe. Enggak nyangko kaya ngimpi, setelah bertahun-tahun ngontrak dan numpang, akhirnya saya punya rumah dewe yang bagus dan nyaman, saya bersyukur enggak nyangko pemerintah bakal perhatian sama kami,” ungkap Nelly dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Rabu (31/1/2023).

Ke depan, Nelly dan anak-anaknya berencana untuk memulai usaha di rumah barunya dengan membuka warung sembako dengan modal urunan keluarga.

Nyuci terus kan capek yah, kalau saya sakit saya enggak bisa nyuci, enggak ada pemasukan. Kalau ngewarung kan saya bisa nyambi sama anak-anak,” ucapnya sumringah.

Senada dengan Nelly, hal yang sama dirasakan oleh Korman (68) yang kesehariannya menjadi marbot masjid dan tukang ojek pangkalan. Duda dari 6 orang anak ini tidak pernah menyangka akhirnya punya rumah tinggal yang layak. Selama ini, ia tinggal berpindah-pindah. Terakhir, ia tinggal menumpang di rumah inventaris Masjid At-Taqarrub, Tugu Kecil, Prabumulih.

Di rumah seluas 6 x 8 meter itu, dia tinggal dengan 4 dari 6 orang anaknya yang masih melajang. Pendapatannya ngojek hanya Rp 30 ribu per hari dan dipakai untuk kebutuhan sendiri.

Sementara, kebutuhan lain didapat dari bantuan pemerintah kota sebesar Rp 1 juta per tiga bulan atas dedikasinya sebagai marbot masjid. Dengan pendapatan tersebut, Karman tidak pernah bermimpi lagi punya rumah pribadi.

“Saya sudah tuo, anak dah besar, kalau beli rumoh ndak mungkin lah aku ada rencana dan mampu, dari mano jalannya? Macam mana? Yang penting mah bisa makan sehari-hari saja saya sudah bersyukur,” ucap Korman.

Setelah mendapat bantuan rumah tinggal baru, Korman kini tenang karena mempunyai sesuatu yang lebih baik dan dapat diwarisi. Sebelumnya, ia kerap was-was karena merasa tidak memiliki apa-apa untuk menaungi anak-anaknya kelak.

“Mungkin usiaku enggak seberapa lama lagi, anak-anakku kini enggak kulu kilir kocar kacir, enggak keruan tidur di emperan wong, atau di pinggir wong lagi. Alhamdulillah, kini sudah punya rumah sendiri, ini rezeki yang bukan main sulit saya bayangkan, saya merasa gembira sekali,” kata lelaki yang kerap berpeci hitam itu.

Ke depan, jika ada rezeki, Korman dan anak-anaknya berencana mengembangkan rumah barunya itu menjadi tempat usaha. Ia mengaku sekarang semakin optimistis meniti hidup di usia senjanya menuju taraf hidup yang lebih baik.

Bantuan dari SMF

Nelly dan Korman merupakan bagian dari 30 kepala keluarga (KK) di Kelurahan Tugu Kecil, Kecamatan Prabumulih Selatan penerima bantuan rumah tinggal dari PT Sarana Multigriya Finansial (Persero) atau SMF melalui Program Peningkatan Kualitas Rumah di Daerah Kumuh.

Melalui program tersebut, SMF berkontribusi dalam Program Rumah Inti Tumbuh Tahan Gempa (RITTA) yang digulirkan oleh pemerintah melalui Direktorat Jenderal Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). 

Rumah-rumah tersebut diberikan secara cuma-cuma kepada masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) desil 1 yang terdampak kemiskinan ekstrem, seperti pemulung, kuli panggul, tukang sol sepatu, tukang becak, dan penyandang disabilitas yang belum memiliki rumah.

Mekanisme pemberian bantuan dilakukan secara ketat oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Prabumulih, tapi tidak menyulitkan masyarakat penerima manfaat.

Sejatinya, program pembangunan RITTA di Prabumulih menjadi pilot project yang bertujuan untuk menurunkan angka backlog kepemilikan rumah dan meningkatkan akses terhadap rumah layak huni melalui berbagai skema.

Beberapa permasalahan kepemilikan rumah, antara lain rendahnya daya beli atau kemampuan masyarakat terhadap rumah, tingginya kenaikan harga rumah yang semakin sulit dijangkau oleh MBR, khususnya di sektor informal, keterbatasan akses pembiayaan perumahan, serta kondisi geografis indonesia yang berada pada daerah rawan bencana.

Merujuk kepada data dari Housing and Real Estate Information System (HREIS) pada 2021, angka backlog kepemilikan rumah mencapai 12,715 juta dengan komposisi 49 persen berasal dari sektor nonformal dan 51 persen dari sektor formal.

Sementara itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, tren jumlah pekerja informal di Indonesia mengalami kenaikan 0,3 persen selama rentang 2016-2021 mencapai 77,9 juta orang dengan rata-rata pendapatan bersih sektor informal sebesar Rp 1,8 juta.

Kemudian, kelompok rumah tangga yang belum memiliki rumah paling tinggi berada pada kelompok pendapatan Rp 2-4 juta. 

Data tersebut menunjukkan demand perumahan pada sektor informal tinggi, tetapi terkendala dalam kepemilikan rumah. Maka dari itu, RITTA diharapkan dapat menjadi inisiatif baru pemerintah dalam upaya memecahkan permasalahan tersebut.

Lewat Program RITTA Prabumulih, SMF mengalirkan bantuan senilai Rp 1,050 miliar untuk membantu membangun 30 unit rumah dari total 100 unit rumah yang diinisiasi oleh Direktorat Jenderal Perumahan Kementerian PUPR yang bersinergi dengan Pemkot Prabumulih.

Rumah-rumah tersebut dibangun di lahan seluas 2 hektare yang disiapkan oleh Pemkot Prabumulih dengan teknologi Rumah Instan Sederhana Sehat (RISHA) rancangan Kementerian PUPR.

Setiap unit rumah dibangun dengan tipe 18 seluas 7x10 meter dan masih dapat dikembangkan menjadi tipe 36 di tanah dari Pemkot Prabumulih.

Direktur Utama SMF Ananta Wiyogo berharap, RITTA dapat menjadi rumah yang tumbuh dan dikembangkan oleh penerima manfaatnya.

“Kami berharap, bantuan rumah ini dapat memberikan dampak sosial ekonomi positif bagi masyarakat seiring dengan tumbuhnya perekonomian masyarakat penerima bantuan. Dengan terciptanya kualitas rumah yang lebih baik dan lingkungan yang lebih sehat, kami optimistis kesejahteraan masyarakat pun akan meningkat,” tutur Ananta.

Hal tersebut, menurut Ananta, sejalan dengan semangat pembangunan berkelanjutan yang diamanatkan Kementerian Keuangan kepada SMF sebagai special mission vehicle (SMV) untuk dapat terus mendukung program pemerintah dalam mengimplementasikan Social Development Goals (SDGs).

SDGs yang dimaksud adalah poin 11, yakni Kota dan Komunitas Berkelanjutan serta environmental, social, and governance (ESG).

Kontribusi SMF di Program RITTA Prabumulih sejalan dan menjadi realisasi perseroan untuk Program Peningkatan Kualitas Rumah di Daerah Kumuh.

Program tersebut merupakan inisiatif strategis SMF yang telah bergulir sejak 2019. Hingga saat ini, SMF telah merealisasikan bantuan mencapai Rp 33,8 miliar untuk membangun dan membenahi 488 unit rumah yang tersebar di 21 kota di Indonesia.

Dana yang digulirkan dalam program ini berasal dari dana program tanggung jawab sosial dan lingkungan Perseroan.

“Perusahaan sendiri dalam kegiatan operasionalnya mendapatkan sumber dananya salah satunya melalui APBN, yang sumbernya berasal dari pendapatan negara. Jadi, dapat dikatakan program ini berasal dari masyarakat dan kembali untuk masyarakat,” papar Ananta.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com