KOMPAS.com – Tanah Air terkenal kaya akan rempah-rempah nusantara. Salah satunya, rempah andaliman. Rempah yang bernama latin Zanthoxylum acanthopodium ini merupakan rempah khas dari Danau Toba, Sumatera Utara (Sumut).
Andaliman dikenal sebagai rempah yang memiliki rasa pedas, getir, panas, mentol, dan aroma harum seperti bau jeruk. Rempah ini dapat diolah menjadi bumbu masak, keripik, bandrek, dan berbagai makanan-minuman lainnya.
Salah satu pelaku usaha yang berhasil mengolah rempah andaliman adalah Marandus Sirait. Ia merupakan pelaku usaha yang pertama kali membudidayakan andaliman di Desa Sionggang Utara, Kecamatan Lumban Julu, Kabupaten Toba, Sumatera Utara.
Pada kesempatannya, Sirait mengatakan bahwa dirinya memulai usaha andaliman pada 2017 dengan nama UMKM CV Andaliman Mangintir. Saat itu, ia menjual serta membudidayakan rempah andaliman, baik yang masih segar maupun dalam kemasan.
Saat pertama kali mendirikan usahanya, ia memiliki modal awal sebesar Rp 50 juta. Modal tersebut dipakai untuk membeli bibit, alat-alat produksi, menyewa lahan untuk menanam, dan kebutuhan lainnya.
Proses andaliman, sebut Sirait, membutuhkan waktu 1 tahun untuk tumbuh. Masa panennya dimulai pada Maret hingga Juni. Selepas bulan tersebut, produksi andaliman akan terus berkurang.
“Saat stok sedang normal, eceran andaliman memiliki harga paling murah Rp 15.000 per kilogram (kg). Namun, ketika stok sedang sedikit, harga andaliman bisa mencapai Rp 250.000 sampai Rp 300.000 per kg. Tiap bulannya, saya bisa mendapatkan omzet sekitar Rp 20 juta,” ujar Sirait dalam siaran persnya, Selasa (11/6/2024).
Berkat keunikan dan kekhasan rempah tersebut, Sirait mengatakan, usahanya pernah mengikuti pameran makanan di luar negeri, yakni di Swiss, Spanyol, dan Polandia.
Namun, ketika pandemi Covid-19 pada 2020, Sirait mengungkapkan bahwa dirinya mengalami kesulitan dalam mendirikan usahanya. Pada saat itu, tanamannya sedang panen raya tetapi tidak ada pembeli sama sekali, sehingga menyebabkan banyak andaliman yang mati.
“Itulah masa anjloknya andaliman dan kelompok tani andaliman,” ucap Sirait.
Peristiwa tersebut yang menjadi titik awal kerja sama usahanya dengan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI. Ketika masa sulit, BRI hadir membantu memberi modal usaha dan kebutuhan untuk produksi, seperti angkong, alat pelindung diri (APD), serta bibit andaliman.
Demi mengangkat kembali citra andaliman yang terbenam saat pandemi, BRI mengajak kerja sama pengusaha andaliman untuk ikut dalam program Beli Kreatif Danau Toba 2021.
Bahkan, kata dia, BRI masih terus mengajak pengusaha andaliman untuk membuka stand jualan di ragam acara mereka di berbagai daerah. Tujuannya, agar produk andaliman semakin meluas namanya.
“BRI sangat membantu masyarakat. Karena usaha tanpa ada modal, ya repot juga apalagi di masa krisis seperti dahulu. Kami sangat tertolong banyak dalam usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) ini. Prosesnya juga tidak ribet,” ujarnya.
Pada kesempatan terpisah, Direktur Bisnis Mikro BRI Supari mengatakan bahwa BRI bersama pemerintah memiliki komitmen untuk mendorong para nasabah Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk naik kelas.
Ia mengungkapkan mayoritas KUR BRI disalurkan kepada sektor produksi dengan proporsi mencapai 55,95 persen.
“Secara umum, strategi bisnis mikro BRI pada 2024 akan fokus pada pemberdayaan berada di depan pembiayaan. BRI sebagai bank yang berkomitmen kepada UMKM telah memiliki kerangka pemberdayaan yang dimulai dari fase dasar, integrasi, hingga interkoneksi," ujar Supari.
Supari menyebut, BRI optimistis dapat memenuhi penyaluran KUR senilai Rp 165 triliun pada September 2024.
"Untuk mencapai target itu, perlu ada graduasi atau upaya untuk membuat nasabah eksisting naik. Penyaluran KUR juga harus didorong lewat perluasan jangkauan penerima baru," ucapnya.