Advertorial

Berdayakan Neurodiversitas, Ini Upaya Astra Infra dan Yayasan Filoksenia Gaungkan Semangat Inklusi

Kompas.com - 19/06/2024, 11:30 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Kehadiran Yayasan Filoksenia di Tanah Air membangunkan kesadaran kolektif untuk merayakan keberagaman dalam autisme, termasuk neurodivergent (neurodiversitas).

Terlebih, di tengah maraknya diskriminasi dan stigma sosial dalam masyarakat terhadap autisme, upaya Yayasan Filoksenia mengkaryakan anak-anak dengan neurodiversitas menjadi angin segar untuk menyemai semangat inklusi.

Kompas.com pun berkesempatan menyambangi Yayasan Filoksenia yang berlokasi di Jagakarsa, Jakarta Selatan (Jaksel), Rabu (12/6/2024). Di sana pula, Tim Kompas dapat melihat langsung bagaimana empat teman neurodiversitas dapat bekerja di Yayasan Filoksenia sebagai desainer grafis profesional.

Tak berbeda dengan seniman pada umumnya, mereka mampu menghasilkan karya desain grafis apik yang diaplikasikan ke berbagai media, mulai dari tote bag, kartu pembayaran elektronik, mug, tumbler, hingga sleeve case laptop.

Founder Yayasan Filoksenia Sylvia M Siregar mengatakan, yayasan yang didirikannya itu hadir untuk memberdayakan neurodiverse artist lewat media-media tersebut.

Adapun empat sekawan seniman neurodiversitas yang dibina serta bekerja di Yayasan Filoksenia adalah Athalia Fikri Yanis, Ara Putra Fadillah, Claire Nicole Stephanie S, dan Calliandra Alexa Roshetko. Adapun Sylvia adalah orangtua dari salah satu anak-anak tersebut.

Sebagai orangtua dari anak neurodiverse, Sylvia memiliki kegelisahan terhadap minimnya dukungan pemerintah terhadap anak-anak berkebutuhan khusus. Cerita ini menjadi pembuka pembicaraan kami soal awal mula pendirian yayasan.

Founder Yayasan Filoksenia bersama Program Director Yayasan Filoksenia Alife Junees mendampingi Claire Nicole Stephanie S.Dok. KOMPAS.com/Yakob Arfin Founder Yayasan Filoksenia bersama Program Director Yayasan Filoksenia Alife Junees mendampingi Claire Nicole Stephanie S.

"Saya menyekolahkan anak saya di Sekolah Cita Buana mulai dari TK hingga SMA. Sekolah ini mengakomodasi pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus. Namun, jelang Claire tamat SMA, saya mempertimbangkan perguruan tinggi mana yang dapat mengakomodasi kebutuhan anak-anak dengan neurodiversitas," ungkap Sylvia kepada Kompas.com saat ditemui di Jagakarsa, Rabu.

Untuk diketahui, paradigma neurodiversitas makin kencang digaungkan komunitas autistik internasional enam tahun terakhir.

Istilah neurodiversitas (keragaman saraf) pertama kali dicetuskan sosiolog Judy Singer pada 1996. Singer mendefinisikan autistik sebagai representasi dari identitas diri yang beragam, sama halnya dengan identitas jender dan ras yang berbeda.

Bak gayung bersambut, Sekolah Cita Buana menggandeng Bina Nusantara (Binus) Center menghadirkan sekolah vokasi desain grafis. Empat sekawan tersebut pun menempuh pendidikan vokasi pada Program Studi Desain Grafis yang diampu Sekolah Cita Buana bersama Binus Center.

“Kebetulan empat anak itu tertarik pada bidang desain, terutama Claire dan Cally. Sementara, Fikri dan Ara punya kemauan kuat untuk belajar desain. Saya senang sekali mereka dapat belajar tingkat perguruan tinggi di sekolah vokasi desain grafis,” tutur Sylvia.

Athalia Fikri Yanis dan Ara Putra Fadillah memperlihatkan produk desain yang dielaborasi bersama lewat media sleeve case laptop dan pouch.Dok. KOMPAS.com/Yakob Arfin Athalia Fikri Yanis dan Ara Putra Fadillah memperlihatkan produk desain yang dielaborasi bersama lewat media sleeve case laptop dan pouch.

Berkarya untuk bangun kemandirian

Berangkat dari kegelisahan itu pula, Sylvia menginisiasi untuk mendirikan platform yang dapat menjadi wadah bagi teman neurodiversitas untuk berkarya sekaligus bekerja, selepas tamat dari Pendidikan Khusus Vokasi Cita Buana.

Menurutnya, selama ini tak banyak lembaga resmi yang dapat menjadi platform ideal bagi anak berkebutuhan khusus yang sudah memasuki usia dewasa.

Pun bila ada, yang tersedia hanya dalam bentuk komunitas dengan intensitas pertemuan terbatas. Di sisi lain, Sylvia berharap anak-anak tersebut dapat bekerja secara normal seperti halnya kalangan mainstream.

"Memasuki semester 6 perkuliahan di Pendidikan Khusus Vokasi Cita Buana, saya mendirikan Yayasan Filoksenia. Menurut saya, Indonesia sudah seharusnya memberi akses lapangan pekerjaan bagi masyarakat berkebutuhan khusus. Namun, hal itu jauh panggang dari api," kata Sylvia.

Pada 2022, Yayasan Filoksenia pun diluncurkan. Tak sekadar menjadi ruang karya, yayasan ini sekaligus menjadi wadah bagi empat teman neurodiverse bekerja sebagai desainer grafis.

Bagi Sylvia, mereka dikaruniai bakat dan anugerah lebih. Seluruh keterampilan dan karya yang sudah tercipta kembali diasah lewat Yayasan Filoksenia.

Ia pun menerapkan sistem kerja seperti halnya perkantoran umumnya, tetapi tetap disesuaikan dengan kondisi para neurodiverse.

Lingkungan kerja yang kondusif dengan nilai inklusi diciptakan di Yayasan Filoksenia, sesuai kebutuhan teman neurodiverse.

Kecintaan pada musik klasik menginspirasi mengilhami Calliandra Alexa Roshetko dalam mendesain beragam obyek.Dok. KOMPAS.com/ Yakob Arfin Kecintaan pada musik klasik menginspirasi mengilhami Calliandra Alexa Roshetko dalam mendesain beragam obyek.

"Saya berharap, semakin banyak "Filoksenia-Filoksenia" lain yang tumbuh dengan mengadopsi konsep yang kami terapkan untuk menjadi rumah yang inklusi bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Upaya signifikan pemerintah pun diperlukan guna mendukung terciptanya inklusivitas. Mereka juga berhak untuk bekerja dan berkarya," imbuh Sylvia.

Punya karakter khas

Pada kesempatan sama, Program Director Yayasan Filoksenia Alife Junees mengatakan, setiap anak tersebut memiliki karakter serta kekhasan yang berbeda dalam berkarya.

Fikri, misalnya, tertarik pada gambar-gambar mekanik dengan ketertarikan pada bidang mesin dan perkeretaapian (railfans).

"Kalau menggambar mesin Mercedes Benz, Fikri bisa sangat detail. Demikian pula gambar kereta api. Kalau diminta gambar makanan, seperti empek-empek, hasilnya kurang optimal," kata Alife.

Sementara, hasil karya Ara punya karakter khas yang abstrak. Hal ini karena ia memiliki keterbatasan dalam motorik halus. Gambar yang dihasilkan pun cenderung orisinal.

"Untuk itu, Ara terus kami dorong untuk menghasilkan gambar yang lebih detail. Dan dia bisa bila terus didampingi. Desain abstrak Ara pada kartu uang elektronik salah satu yang paling laris," ujar Alife.

Sementara, Claire kuat dalam hal warna. Komposisi warna yang dielaborasi menghasilkan karya yang apik. Adapun Cally merupakan teman neurodiverse yang paling produktif di Yayasan Filoksenia.

"Kecintaannya pada musik klasik mengilhami Cally menciptakan representasi karya vektor yang indah. Kalau project sudah selesai, dia inisiatif menggambar sendiri sesuai preferensinya, misal bikin poster paskah dan poster hari besar nasional," terang Alief.

Upaya Astra Infra wujudkan inklusivitas

Menilik kiprah Yayasan Filoksenia dalam menggaungkan semangat inklusi bagi teman neurodiverse, Astra Infra memberikan dukungan untuk membumikan nilai-nilai inklusi.

Untuk diketahui, Astra Infra adalah kelompok usaha yang memiliki pengalaman sebagai investor operator di bidang infrastruktur.

Group Chief Operating Officer Astra Infra, Billy Perkasa Kadar, mengatakan, hal itu diwujudkan Astra Infra dengan menggandeng Yayasan Filoksenia dalam sejumlah kerja sama.

"Kolaborasi bersama Filoksenia merupakan salah satu bentuk komitmen Astra Infra untuk mendukung terciptanya keberagaman, kesetaraan, dan inklusivitas di Indonesia," kata Billy.

Pada kesempatan sama, Head of Sustainability Management Astra Infra Beny Priyatna Kusumah menjelaskan, dalam pelaksanaan tanggung jawab sosial, Astra Infra menerapkan Astra Friendly Company (AFC).

Astra Friendly Company sendiri merupakan sistem yang dijadikan acuan dalam menjalankan program CSR yang mencakup sejumlah indikator, termasuk nilai keberagaman dan inklusivitas.

Pada 2022, Yayasan Filoksenia diluncurkan. Tak sekadar menjadi ruang karya, yayasan ini sekaligus menjadi wadah bagi empat teman neurodiverse bekerja sebagai desainer grafis. Sistem kerja seperti halnya perkantoran umum diterapkan, tetapi tetap disesuaikan dengan kondisi para neurodiverse.Dok. KOMPAS.com/Yakob Arfin Pada 2022, Yayasan Filoksenia diluncurkan. Tak sekadar menjadi ruang karya, yayasan ini sekaligus menjadi wadah bagi empat teman neurodiverse bekerja sebagai desainer grafis. Sistem kerja seperti halnya perkantoran umum diterapkan, tetapi tetap disesuaikan dengan kondisi para neurodiverse.

“Astra Infra turut mendorong penerapan DNA tersebut sebagai salah satu cara kami mengimplementasikan nilai keberagaman dan inklusi. Untuk itu, kami memberi ruang kepada siapa pun untuk berkolaborasi. Salah satunya, dengan menggandeng Filoksenia," jelasnya.

Beny melanjutkan, selain menggandeng Filoksenia, Astra Infra juga bekerja sama dengan Mata Hati Koffie untuk memberdayakan teman-teman tunanetra.

Selain itu, ada pula Kampung Berseri Astra dengan membina sekolah berkebutuhan khusus, terutama bagi tuna daksa, teman tuli, dan tuna grahita.

Hal itu merupakan wujud upaya Astra Infra untuk mewujudkan awareness kepada masyarakat tentang nilai inklusi.

“Bersama Filoksenia, kami ingin memberi ruang eksposur kepada masyarakat. Kami mencoba mengelaborasi praktik industri dengan nilai inklusi lewat produk-produk bernilai seni yang dibuat oleh teman-teman neurodiverse di Yayasan Filoksenia,” kata Beny.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com