KOMPAS.com - Tantangan perkembangan financial technology (fintech) lending di Indonesia masih begitu besar.
Berdasarkan data Ernst dan Young (EY), proyeksi kesenjangan kredit (credit gap) pada 2026 akan mencapai Rp 2.400 triliun per tahun.
Data tersebut menunjukkan gambaran peluang bisnis yang besar sekaligus tantangan bagi para pemangku kepentingan untuk memberikan akses pembiayaan alternatif kepada usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).
Hal itu disampaikan Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Entjik S Djafar dalam acara “Fireside Chat” di Cambridge University, Selasa (11/6/2024).
Diskusi dinamis tersebut menarik minat mahasiswa program Master of Business Administration (MBA) dan Magister Finance pada isu inklusi keuangan, perlindungan konsumen, dan pinjaman online (pinjol) ilegal.
Entjik menyatakan bahwa segmen masyarakat yang tidak memiliki akses perbankan (unbanked) dan kurang terlayani atau terbatas (underserved) membuat kehadiran fintech lending makin penting di Indonesia.
Namun, misi mulia tersebut tercemar oleh pinjol ilegal yang beroperasi tanpa hukum dan etika.
Merespons situasi tersebut, salah satu mahasiswa MBA di Judge Business School, Arief, mengusulkan rebranding AFPI menjadi pinjaman daring (pindar) agar terhindar dari citra negatif pinjol.
Sebagai informasi, AFPI hadir di London atas undangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia dalam diskusi “ASEAN Business Advisory Council (ASEAN BAC) - United Kingdom (UK)” dan “London Tech Week” yang digelar mulai Senin (10/6/2024) hingga Jumat (14/6/2024).
Pada kesempatan itu, Entjik didampingi Ketua Bidang Humas AFPI Kuseryansyah; Ketua Bidang Edukasi, Literasi, dan Riset AFPI Marcella; serta Direktur Eksekutif AFPI Yasmine Meylia.
Audiensi AFPI dengan TheCityUK dan kunjungan ke Kuflink
AFPI juga melakukan audiensi dengan TheCityUK—asosiasi lembaga jasa keuangan UK—di London, Rabu (12/6/2024). Pada audiensi ini, AFPI memaparkan manfaat dan peluang industri fintech P2P lending.
TheCityUK menyambut baik dan menyatakan Indonesia sebagai fokus utama dalam portofolio investasi mereka. Pertemuan tersebut diharapkan membuka jalan bagi kerja sama dan investasi di industri fintech P2P lending Indonesia.
Sementara itu, dalam kunjungan ke Kuflink, AFPI disambut oleh Chief Executive Officer Kuflink Narinder Khattoare dan membahas kondisi fintech P2P lending di Britania Raya.
Diskusi menyentuh fokus pada pinjaman beragunan (secured loan), baik multiguna maupun pinjaman produktif, banyaknya perusahaan yang tutup karena kenaikan NPL setelah pandemi, dan regulasi baru untuk perlindungan lender.
Ada pula pembahasan mengenai beberapa platform P2P lending Britania Raya, seperti Zopa, yang beralih menjadi bank digital.
Lewat model bisnis pinjaman dengan agunan properti (asset-backed), Kuflink optimistis bahwa industri P2P lending di UK tetap memiliki pasar dengan proses pengamanan aset yang lebih cepat dibandingkan bank.
Adapun proses pengamanan aset dari bank memakan waktu sekitar 3 bulan, sedangkan di Kuflink hanya membutuhkan waktu 30-45 hari.
Pertemuan dengan Dubes Indonesia dan acara Kadin Fintech Dialogue
Ketua Umum AFPI mempromosikan fintech P2P lending sebagai pendorong inklusi keuangan di Indonesia pada pertemuan dengan Duta Besar (Dubes) untuk Inggris dan Irlandia Desra Percaya, Kamis (13/6/2024).
Pembicaraan dilanjutkan dengan makan malam bersama para pejabat dan undangan lain.
Sementara, dialog Kadin Fintech diadakan di Kedutaan Besar Indonesia di London pada Jumat (14/6/2024).
Pada kegiatan tersebut, Entjik turut hadir sebagai panelis bersama Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Agusman, Wakil Ketua Hubungan Internasional Kadin Indonesia Bernardino Vega, serta Direktur Eksekutif dan Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia London Farida Peranginangin.
Kadin Fintech mengeksplorasi arah strategis, kebijakan ekonomi, dan pertumbuhan berkelanjutan untuk masa depan keuangan Indonesia dalam visi besar Indonesia Emas 2045.
Diskusi tersebut juga menekankan peran fintech P2P lending dalam mendorong Indonesia menuju masa keemasannya.
Untuk diketahui, lanskap fintech lending Indonesia sudah terbukti mengalami pertumbuhan. Diperkirakan ada 1,38 juta pemberi pinjaman dan sekitar 125 juta peminjam dengan total agregat penyaluran yang telah mencapai Rp 829 triliun.
Dengan inovasi teknologi, pengguna layanan fintech lending dapat memperluas layanan keuangan ke segmen underserved dan unbanked.
Pemberdayaan tersebut sangat penting untuk mendorong kewirausahaan, menstimulasi ekonomi nasional, mempersempit kesenjangan kredit, serta membuka jalan bagi Indonesia yang lebih inklusif dan sejahtera.
AFPI tetap berkomitmen untuk mendorong kolaborasi, inovasi, dan inklusi keuangan yang bertanggung jawab bagi seluruh masyarakat Indonesia.