KOMPAS.com – Perusahaan Umum (Perum) Badan Urusan Logistik (Bulog) disebut menaikkan harga (markup) harga beras impor lantaran harus membayar denda keterlambatan bongkar muat (demurrage).
Pada Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Kamis (20/6/2024), Direktur Utama (Dirut) Perum Bulog Bayu Krisnamurthi mengatakan bahwa demurrage merupakan hal yang tidak bisa dihindarkan sebagai bagian dari risiko penanganan komoditas impor.
“Sebagai contoh, (pembongkaran) dijadwalkan 5 hari, (tapi bisa berubah) menjadi 7 hari. (Hal ini bisa disebabkan) hujan, arus pelabuhan penuh, atau tidak tersedia buruh ketika hari libur,” ujar Bayu dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Kamis (4/7/2024).
Dalam mitigasi risiko importasi, lanjut dia, demurrage merupakan biaya yang sudah diperhitungkan. Biaya ini merupakan konsekuensi logis dari kegiatan ekspor impor.
“Kami selalu berusaha meminimalkan demurrage dan itu sepenuhnya menjadi bagian dari biaya yang masuk dalam perhitungan pembiayaan perusahaan pengimpor atau pengekspor,” jelas Bayu.
Anggota DPR Komisi IV dari Fraksi Partai Golongan Karya (Golkar) yang memimpin rapat tersebut, Budhy Setiawan, mengatakan bahwa isu tersebut sempat membuat pihaknya kebingungan.
“Demurrage sebenarnya merupakan biaya rutin yang lazim dikeluarkan pada kegiatan ekspor impor,” tutur Budhy.
Saat ini, Perum Bulog sendiri masih memperhitungkan total demurrage yang harus dibayarkan, termasuk dengan melakukan negosiasi ke pihak Perusahaan Pelabuhan Indonesia (Pelindo), pertanggungan pihak asuransi, serta pihak jalur pengiriman.
Menurut Bayu, perkiraan demurrage yang akan dibayarkan dibandingkan nilai produk yang diimpor tidak lebih dari 3 persen.
Pada kesempatan terpisah, pakar pangan Indonesia Tito Pranolo mengatakan bahwa demurrage berkaitan dengan despatch, yakni bonus yang diberikan karena bongkar barang terjadi lebih cepat.
“Kedua hal tersebut tentu dialami Perum Bulog sebagai operator pelaksana penerima mandat impor beras dari pemerintah. Selama ini, Perum Bulog juga tidak pernah membebani masyarakat (dengan menaikkan harga beras impor) karena (kedua) hal itu,” jelas Tito.
Direktur Supply Chain dan Pelayanan Publik Perum Bulog Mokhamad Suyamto menambahkan, isu markup berkaitan dengan penawaran dari perusahaan Vietnam Tan Long Group. Perusahaan ini pernah mendaftar sebagai salah satu mitra Perum Bulog dalam kegiatan impor, tetapi tidak pernah memberikan penawaran harga kepada Bulog.
“Perusahaan Tan Long Vietnam yang diberitakan memberikan penawaran beras, sebenarnya tidak pernah mengajukan penawaran harga sejak bidding 2024 dibuka. Jadi, (perusahaan itu) tidak memiliki keterikatan kontrak impor dengan kami,” ucap Suyamto.
Menanggapi hal itu, pakar hukum dan politikus dari Partai Amanat Nasional (PAN) Shanti Dewi Mulyaraharjani mengatakan bahwa seluruh pihak harus mengedepankan asas praduga tak bersalah.
“Apalagi, isu markup tersebut sudah pernah diangkat pada rapat dengar pendapat antara DPR, khususnya Komisi IV, Badan Pangan Nasional (Bapanas) dan Perum Bulog beberapa waktu yang lalu,” jelas Shanti.
Sebagai informasi, Perum Bulog mendapatkan penugasan dari Kementerian Perdagangan (Kemendag) untuk mengimpor 3,6 juta ton beras pada 2024. Pada periode Januari-Mei 2024, jumlah impor sudah mencapai 2,2 juta ton.
Impor dilakukan oleh Perum Bulog secara berkala dengan melihat neraca perberasan nasional serta mengutamakan penyerapan beras dan gabah dalam negeri.
Direktur Transformasi dan Hubungan Antar Lembaga Perum Bulog Sonya Mamoriska mengatakan bahwa pihaknya secara konsisten menjaga komitmen untuk tetap menjadi pemimpin rantai pasok pangan yang tepercaya.
“Dengan begitu, kami bisa berkontribusi lebih bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia. Hal ini juga sejalan dengan keempat visi transformasi Bulog,” tegas Sonya.