KOMPAS.com – Selama ini, media massa atau publisher mengandalkan pendapatan utama dari iklan. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, pendapatan iklan terus menurun. Untuk mempertahankan keberlanjutan bisnis, media perlu mengadopsi strategi revenue stream baru.
Dalam diskusi Indonesia Digital Conference (IDC) 2024 di Hotel Santika Premiere, Jakarta, Kamis (29/8/2024), Ketua Umum Indonesia Digital Association (IDA) Dian Gemiano menyebutkan bahwa sekitar 80 persen pendapatan media berasal dari iklan.
Sayangnya, ia melanjutkan, belanja iklan perusahaan untuk media massa terus menurun, terutama di media digital, yang mengalami penurunan iklan programatik.
“Publisher harus bersaing dengan platform media sosial untuk mendapatkan iklan. Di sisi lain, perkembangan artificial intelligence (AI) juga menjadi tantangan. Studi di Amerika Serikat memperkirakan penurunan belanja iklan sebesar 40 persen akibat kehadiran AI. Ini sangat wajib dimitigasi," ujar Dian Gemiano atau akrab disapa Gemi dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Selasa (3/9/2024).
Temuan serupa juga disampaikan Managing Director Wavemaker Amir Suherlan yang turut hadir dalam acara tersebut.
Amir menuturkan bahwa menurut data dari Wavemaker yang merupakan agensi periklanan, porsi belanja iklan untuk media atau publisher terus berkurang.
“Tren permintaan iklan (secara masih keseluruhan masih) positif, bahkan diproyeksikan naik dari Rp 71,5 triliun pada 2024 menjadi sekitar Rp 75 triliun pada 2025. Namun, dari total belanja iklan tersebut, hanya sekitar 20 persen yang masuk ke publisher. Sisanya, masuk ke platform digital,” jelasnya.
Sementara itu, Head of Marketing Communication PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Roma Simanjuntak mengungkapkan beberapa alasan perusahaan lebih memilih platform digital daripada publisher. Salah satunya adalah efektivitas belanja iklan dalam mencapai tujuan perusahaan.
Menurut Roma, pengiklan membutuhkan data target audiens yang spesifik. Namun, banyak publisher masih memberikan data mentah tentang siapa dan seperti apa pembacanya.
"Padahal, data itu merupakan emas murni bagi kami para pengiklan, sedangkan di platform media sosial, pengiklan dapat menargetkan audiens secara lebih spesifik sesuai kebutuhan,” jelas Roma.
Selain itu, media sosial juga menawarkan tarif iklan yang lebih murah. Roma menyebutkan bahwa untuk sekadar meningkatkan awareness, platform hanya mematok tarif Rp 50. Jika iklan berhasil mengajak pengguna untuk mendaftar atau mengunduh aplikasi, tarifnya sekitar Rp 70.000. Sementara itu, tarif yang ditawarkan publisher jauh lebih tinggi.
Roma menambahkan, publisher perlu menyesuaikan harga iklannya. Misalnya, rata-rata publisher mematok tarif tinggi untuk iklan di halaman "Home Page". Padahal, pengiklan menyadari bahwa tidak semua pengunjung website membuka halaman utama. Pengiklan lebih memilih halaman yang sesuai dengan materi iklan yang ditargetkan.
Regional Director Antsomi Ilona Juwita mengatakan, publisher harus memanfaatkan data pengunjung situs yang lebih spesifik untuk keberlanjutan bisnis. Utilisasi data ini dapat meningkatkan jumlah pengunjung aktif dan pengalaman kunjungan yang pada akhirnya meningkatkan pendapatan.
"Ayo, teman-teman media bergerak untuk lebih mengenal pembacanya. Semuanya perlu pendekatan kepada pembaca," ujarnya.
Media besar seperti Grup EMTEK telah memanfaatkan data pengguna sebagai strategi untuk meningkatkan pendapatan.
"Kami mengumpulkan data pembaca dan mengolahnya. Kami punya segmentasi pembaca," kata Head of EMTEK Digital Yogi Triharso.