Advertorial

Berkat Pemberdayaan BRI, UMKM Ini Optimalkan Produk Bambu hingga Mancanegara

Kompas.com - 08/09/2024, 10:56 WIB

KOMPAS.com - Inspirasi bisa datang dari tempat yang tak terduga dan membawa seseorang menuju kesuksesan. Hal ini dialami Adang, seorang pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) di Bandung, Jawa Barat, yang berhasil mengubah bambu menjadi berbagai produk kerajinan dan makanan olahan yang kini dikenal hingga mancanegara.

Adang mengaku, inspirasi itu muncul pada malam 30 April 2011 saat ia sedang duduk bersila di sebuah masjid. Ia memperhatikan bilah-bilah bambu di sekitar tempat ibadah.

Keesokan harinya, saat menonton orkestra di televisi, pandangannya tertuju pada sebuah biola. Di situlah ia merasa menemukan jawaban atas pertanyaan yang muncul semalam.

"Ya, saya akan membuat biola dari bambu," begitu keputusannya saat itu. Padahal, Adang, yang memiliki nama lengkap Adang Muhidin, sama sekali tidak bisa memainkan alat musik.

Inspirasi tersebut menjadi titik awal usaha kerajinan bambu yang kemudian membawa Adang keluar dari keterpurukan usaha sebelumnya. Hal ini menjadi babak baru bagi kehidupan Adang dan keluarganya.

Dengan modal dari kantong sendiri, Adang mulai mempelajari seluk-beluk bambu dan melakukan berbagai percobaan.

"Saya pernah berjalan kaki ke Kota Bandung hanya untuk belajar tentang bambu," kenangnya di kediamannya di Desa Cimareme, Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat, seperti dikutip Kompas.com dari siaran pers BRI, Minggu (8/9/2024).

Pada 2013, Adang berhasil membuat biola bambu pertamanya. Kemudian, diikuti dengan alat musik lain, seperti gitar dan bas. Awalnya, ia hanya mengumpulkan bambu dari kebun-kebun. Namun, kerja kerasnya mulai diperhatikan dan ia serta timnya diundang ke festival musik di Jakarta untuk membuka booth.

"Saya awalnya minder, tapi ternyata booth kami dipenuhi pengunjung," ujar Adang dengan takjub.

Di festival itu, biola bambu pertamanya terjual kepada seorang pembeli asal Jepang seharga Rp 3,5 juta, sementara gitar bambunya laku Rp 4 juta. Dari hasil penjualan di Jakarta, Adang pulang membawa Rp 7,5 juta yang kemudian ia jadikan modal usaha. Virage Awie, nama usaha kerajinan bambu yang ia rintis bersama seorang rekan, kini menjadi ladang penghidupan bagi ratusan orang.

"Jumlah orang yang terlibat dalam usaha ini mencapai 200 orang, meski tidak semuanya bertahan. Sekarang ada 4 pemilik Virage Awie dengan tim beranggotakan 7 orang. Selain itu, ada 47 pekerja serta kelompok ibu-ibu di sektor kuliner yang berjumlah sekitar 30 orang, kebanyakan single parent. Kami juga melatih dan mempekerjakan 8 penyandang disabilitas dari 35 orang yang pernah dilatih," jelas Adang.

Jam bambu dari Virage Awie. Dok. BRI Jam bambu dari Virage Awie.

Dari segi pemasaran, produk-produk bambu Virage Awie kini diminati tak hanya di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Bahkan, 90 persen pembeli alat musik bambu berasal dari luar negeri, seperti Jepang, India, Rumania, Jerman, Inggris, Singapura, dan Malaysia.

"Kami sering diajak BRI untuk pameran di luar negeri, terakhir di Singapura. Dari pameran itulah kami bertemu para pembeli,” tambahnya.

Salah satu produk unggulan Virage Awie adalah alat musik bambu dengan harga gitar bambu yang kini berkisar antara Rp 14 juta hingga Rp 25 juta dan drum bambu yang bisa mencapai Rp 50 juta.

"Kami memproduksi secara eksklusif, hanya 36 gitar per tahun, dan 90 persen pembelinya dari luar negeri," ungkap Adang.

Sementara, produk kuliner baru mulai dipasarkan pada 2022-2023. Kemudian, untuk kerajinan seperti jam tangan bambu, peminatnya sebagian besar dari dalam negeri.

Adang berharap, usahanya terus berkembang dan memberi manfaat bagi banyak orang, seperti bambu yang tumbuh rindang di kebun.

"Jangan lupa bantu orang lain. Semoga Virage Awie bisa membantu banyak orang," imbuhnya.

Terus berkembang berkat pemberdayaan dari BRI

Usaha Adang semakin berkembang setelah mendapat dukungan dari PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI. Virage Awie menjadi salah satu kluster usaha binaan BRI.

"Tahun itu saya bertemu BRI, akhirnya alat musik kami punya HAKI (Hak Kekayaan Intelektual)," ujar Adang.

Selain itu, di awal merintis, Adang sempat mengajukan pendanaan melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR). Virage Awie juga menerima bantuan alat produksi yang sangat membantu para perajin dalam menghasilkan produk olahan bambu dalam jumlah lebih besar.

Drum bambu dari Virage Awie. Dok. BRI Drum bambu dari Virage Awie.

Kini, Virage Awie tidak hanya memproduksi alat musik, tetapi juga merambah ke produk lain, seperti jam tangan, alat makan, wadah minum, speaker bambu, konstruksi bangunan, dan kuliner. Virage Awie juga bertransformasi menjadi akademi yang fokus pada pemberdayaan masyarakat melalui pelatihan usaha, termasuk bagi penyandang disabilitas.

Beberapa kelompok usaha yang terlibat adalah Kelompok Wanita Kreatif Tanginas yang mengolah rebung menjadi berbagai produk kuliner, seperti mustofa rebung, simping, semprong, pangsit, dan brownis rebung. Selain itu, ada Kelompok Wanita Kreatif Motekar yang memproduksi kerupuk daun bambu serta Kelompok Usaha Kerajinan Difabel.

Pada kesempatan terpisah, Direktur Bisnis Mikro BRI Supari menyatakan bahwa pemberdayaan kluster usaha dilakukan untuk membentuk kelompok-kelompok usaha berdasarkan kesamaan wilayah dan usaha sehingga tercipta sinergi dan kebersamaan dalam mengembangkan usaha.

Hingga akhir Juli 2024, BRI telah memiliki 31.488 klaster usaha yang tergabung dalam program Klasterku Hidupku. BRI juga telah menyelenggarakan 2.184 pelatihan dalam program tersebut.

Supari menambahkan bahwa program kluster usaha adalah salah satu strategi BRI yang fokus pada pemberdayaan sebelum pembiayaan.

"BRI berkomitmen untuk memberdayakan pelaku UMKM dengan strategi mulai dari fase dasar, integrasi, hingga interkoneksi," tuturnya.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau