Mitigasi gempa

Mendorong Ketahanan Rumah di Program 3 Juta Unit, Pentingnya Mitigasi Bencana

Kompas.com - 29/10/2024, 13:58 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com – Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) mendapat amanah untuk menjalankan program 3 juta rumah per tahun yang dicanangkan oleh Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.

Program 3 juta rumah juga merupakan bagian dari implementasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, khususnya Pasal 5 yang berbunyi “Negara bertanggung jawab atas penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang pembinaannya dilaksanakan oleh pemerintah”.

Adapun dari total 3 juta rumah, sebanyak 2 juta rumah akan dibangun di perdesaan dan 1 juta di perkotaan. Saat ini, pemerintah tengah menggarap regulasi, perizinan, dan skema keuangan.

Tak dapat dimungkiri bahwa setiap manusia membutuhkan rumah untuk tempat berlindung, berkumpul, dan menjalankan aktivitas keluarga, sekaligus sebagai sarana investasi.

Di sisi lain, pembangunan rumah dalam jumlah yang besar menghadirkan tantangan yang besar pula pada pemerintah dan pengembang dalam membangun rumah yang berkualitas.

Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Mitigasi Bencana Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Berton Suar Pelita Panjaitan.

“Kualitas rumah bukan hanya dari segi infrastruktur yang aman terhadap penghuninya, melainkan juga kualitas dalam suatu lingkungan hidup yang dapat memengaruhi kualitas hidup penghuni rumah tersebut. Ketahanan bangunan menjadi poin penting yang harus dipenuhi saat membangun rumah di wilayah rawan bencana, seperti Indonesia,” ucap Berton dalam wawancara tertulis dengan Kompas.com, Kamis (24/10/2024).

Rumah layak huni di negeri rawan bencana

Berton menilai bahwa Indonesia sangat rentan terhadap berbagai jenis bahaya bencana, khususnya gempa bumi, sehingga pembangunan rumah perlu memperhatikan lokasi pendirian dan material yang digunakan dalam pembangunan rumah tersebut.

Indonesia memiliki kerawanan gempa yang tinggi karena berada di kawasan Cincin Api atau Ring of Fire. Mengutip Kompas.id, Minggu (28/4/2024), negara ini terletak di pertemuan zona tumbukan tiga lempeng tektonik utama dunia, yaitu Eurasia, Hindia-Australia (Indo-Australia), dan Pasifik. Akibatnya, terdapat 13 sumber gempa megathrust, 295 sesar aktif, dan banyak lagi sesar aktif yang belum terpetakan.

Ring of Fire atau Cincin Api Pasifik yang membuat Indonesia rawan mengalami gempa bumi.Dok. Wikimedia Ring of Fire atau Cincin Api Pasifik yang membuat Indonesia rawan mengalami gempa bumi.

Pergerakan terus-menerus dari lempeng-lempeng tersebut menjadi penyebab utama tingginya kerawanan gempa.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memberikan peringatan terkait potensi Indonesia mengalami gempa megathrust berkekuatan magnitudo 8,9 di wilayah Selat Sunda dan Mentawai-Siberut. Wilayah Indonesia seperti Aceh dan sekitarnya pernah merasakan dampak gempa bumi dan tsunami Samudra Hindia pada Minggu, 26 Desember 2004.

Maka dari itu, Berton menekankan bahwa pembangunan rumah atau infrastruktur lainnya perlu memperhatikan lokasi sehingga bahaya gempa bumi dapat diantisipasi sebelum pembangunan rumah tersebut.

“Banyak kejadian gempa bumi merusak rumah-rumah warga,” tambahnya.

Sebagai contoh, gempa bumi yang mengguncang Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, dengan magnitudo (M) 5,6 pada 21 November 2022 mengakibatkan 56.480 rumah rusak yang mencakup 13.633 rusak berat, 16.059 rusak sedang, dan 26.856 rusak ringan.

Kerusakan rumah, lanjutnya, terjadi karena beberapa kondisi tanah yang berada di kawasan gempa Cianjur rawan goncangan. Pada umumnya, morfologi wilayah pusat gempa di kawasan Cianjur berupa dataran hingga dataran bergelombang serta perbukitan bergelombang hingga terjal yang terletak pada bagian tenggara Gunung Gede.

Sejumlah warga sedang berupaya mencari barang di balik reruntuhan bangunan di lokasi gempa di Desa Cibulakan, Cugenang, Cianjur, Jawa Barat, Rabu (23/11/2022).Dok. KOMPAS.COM/FIRMAN TAUFIQURRAHMAN Sejumlah warga sedang berupaya mencari barang di balik reruntuhan bangunan di lokasi gempa di Desa Cibulakan, Cugenang, Cianjur, Jawa Barat, Rabu (23/11/2022).

Sementara itu, pusat gempa terletak sekitar 9,65 km barat daya Kota Cianjur atau 16,8 km timur laut Kota Sukabumi. Di samping itu, wilayah Kabupaten Cianjur merupakan endapan kuarter berupa batuan rombakan gunung api muda. Batuan ini berpotensi terjadi gerakan tanah bila terpepat guncangan gempa bumi kuat dan curah hujan tinggi.

Berton menambahkan, masifnya kerusakan rumah juga terjadi lantaran banyak rumah penduduk tak tahan gempa.

“Kerusakan rumah terjadi akibat tidak kokohnya bagian struktur rumah (dalam) menahan beban gempa yang terjadi. Bangunan tidak kokoh lantaran pembangunan rumah penduduk di wilayah gempa tidak sesuai dengan standar teknik bangunan tahan gempa,” papar dia.

Getaran tanah akibat gempa bumi tersebut mengakibatkan konstruksi rumah warga tidak tahan gempa memicu kerusakan dan keruntuhan bangunan.

Berton menilai, rumah-rumah warga tidak dirancang secara fleksibel untuk meredam getaran gempa. Pembangunan juga tidak memperhitungkan kombinasi beban, penggunaan material, dan penempatan massa strukturnya. Dengan demikian, banyak rumah tidak memiliki struktur sistem penahan gaya dinamik gempa dan sistem penahan gempa.

Kriteria rumah layak dan sesuai perizinan

Berton menyerukan agar pembangunan 3 juta rumah memperhatikan seluruh kriteria rumah layak huni, khususnya ketahanan bangunan, sebagai bagian dari mitigasi bencana gempa bumi.

“Struktur bangunan harus memperhatikan tingkat risiko bencana pada lokasi pembangunan rumah. Pastikan pula menggunakan bahan bangunan, seperti besi tulangan, yang sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI). Kemudian, perhatikan jarak lokasi dari pusat atau tempat bahaya bencana, seperti jarak rumah dari sungai dan laut,” jelas Berton.

Masyarakat sendiri bisa mengecek daerah risiko bencana melalui inaRISK, yakni portal hasil kajian risiko yang disediakan BNPB.

Sistem informasi berbasis geographic information system (GIS) itu menampilkan kajian risiko bencana, mulai dari bahaya, kapasitas, kerentanan, hingga risiko, serta monitoring penurunan indeks risiko bencana di Indonesia.

Platform inaRISK juga dapat menganalisis jumlah penduduk, sekolah, rumah sakit, dan fasilitas kesehatan yang berisiko terpapar bencana.

Sebagai informasi, ketahanan bangunan rumah tangga menghadapi risiko gempa juga menjadi salah satu kriteria rumah layak huni menurut Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) Poin 11 mengenai Kota dan Permukiman yang Berkelanjutan.

Ada beberapa syarat yang harus terpenuhi agar bangunan atap, dinding, dan lantai rumah dinyatakan tahan. Salah satunya, bangunan atap rumah terluas dapat berupa beton, genteng, kayu/sirap, atau seng.

Kemudian, bahan bangunan dinding rumah terluas berupa tembok, plesteran, anyaman bambu/kawat, kayu/papan, atau batang kayu. Adapun bahan bangunan lantai rumah terluas berupa marmer/granit, keramik, parket/vinil/karpet, ubin/tegel/teraso, kayu/papan, atau semen/bata merah.

Lebih dari itu, masyarakat juga perlu didorong untuk mendapatkan legalitas dalam bentuk Persetujuan Bangunan Gedung (PBG). Legalitas ini memastikan bahwa bangunan telah memenuhi standar keselamatan dan kesehatan. Pemenuhan legalitas ini diharapkan dapat meminimalkan risiko kecelakaan yang merupakan bagian dari mitigasi bencana.

Tak dapat dimungkiri, masih banyak masyarakat yang abai untuk mengurus perizinan bangunan rumah.

Dalam survei bertajuk “Penelitan Formatif Perubahan Perilaku dan Sosial: Mengurus Perizinan Bangunan Gedung” yang mengambil sampel 107 responden di Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, pada September 2024, ditemukan bahwa 53 dari 107 responden tidak mengurus PBG.

Untuk diketahui, penelitian tersebut diinisiasi oleh Catholic Relief Services (CRS) melalui program USAID KUAT.

Berdasarkan hasil temuan penelitian terhadap 53 responden yang belum mengurus PBG, teridentifikasi bahwa keengganan mengurus PBG terjadi karena sejumlah alasan, mulai dari keterbatasan akses, merasa PBG bukan prioritas, tidak ada urgensi, hingga tidak merasa bahwa risiko (bencana) relevan atau mendesak bagi mereka.

Responden juga merasa kesulitan untuk mengurus PBG karena kompleksitas dalam administrasi dan birokrasi, keterbatasan informasi, biaya yang kurang terjangkau, dokumen yang dipersyaratkan banyak menggunakan istilah teknis, waktu yang dibutuhkan untuk proses pengurusan, serta digitalisasi layanan yang kurang familier bagi generasi tertentu.

Berkaca dari hasil survei itu, peneliti pun mendorong seluruh pihak terkait, termasuk pemerintah, untuk mengembangkan materi edukasi tentang pentingnya PBG dan risiko jika belum mengurus PBG, menyelenggarakan pelatihan pengurusan PBG, serta menyediakan informasi yang mudah diakses.

Adapun edukasi terkait PBG dapat melibatkan tokoh masyarakat, motivator lokal, atau pemerintah daerah. Edukasi ini juga dapat dikembangkan lewat kelompok kerja.

Peneliti juga mendorong kebijakan yang menyederhanakan proses pengurusan PBG serta kolaborasi solid antara pemerintah dan sektor swasta guna meningkatkan aksesibilitas serta informasi terkait PBG.

Deputy Project Director USAID KUAT Victor Rembeth mengatakan bahwa pemenuhan PBG sebagai persyaratan membangun hunian dapat menjamin mutu bangunan agar tidak membahayakan penghuninya.

“Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan semua pihak yang terlibat dalam proses pembangunan hunian untuk berkomitmen dalam mematuhi persyaratan yang berlaku agar rumah tangguh dalam menghadapi bencana,” jelasnya.

Tak kalah penting, setiap pihak yang terlibat dalam proses pembangunan hunian juga harus memiliki kapasitas dan sumber daya untuk memenuhi standar yang berlaku.

Dengan begitu, program 3 juta rumah tidak lagi sekadar memberikan jaminan tempat tinggal kepada masyarakat. Lebih dari itu, rumah yang dibangun juga dapat memberikan rasa aman dan nyaman bagi penghuninya.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau