Angkutan Umum Masih Setengah Hati

Kompas.com - 30/01/2009, 06:18 WIB
 
 
JAKARTA, KAMIS - Angkutan umum masih setengah hati menerapkan tarif penyesuaian sesuai Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 4 Tahun 2009 mengenai tarif angkutan umum. Sampai hari ketiga, Kamis (29/1), penumpang masih harus membayar sesuai tarif lama.

Ketidakseriusan menerapkan tarif baru juga terlihat dari belum adanya selebaran atau pengumuman di angkutan, antara lain mikrolet, koperasi wahana kalpika (KWK), kopaja, metromini, koantas bima, bus reguler, dan patas ekonomi.

Seperti diwartakan, terhitung Selasa 27 Januari lalu, tarif jarak terjauh mikrolet dan sejenisnya turun dari Rp 3.000 menjadi Rp 2.500 per penumpang. Tarif kopaja dan sejenisnya serta bus reguler dan patas ekonomi turun dari Rp 2.500 menjadi Rp 2.000 per penumpang (Kompas, 23/1).

Tak konsisten

Direktur Eksekutif Kajian Seputar Kota (Kasta) Chaeruddin menegaskan, pengusaha, pemilik angkutan, dan pengemudi harus konsisten menyikapi penurunan tarif itu.

Menurut dia, ketika harga bahan bakar minyak (BBM) diumumkan naik, tarif angkutan langsung ikut-ikutan naik meski belum ada keputusan resmi dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Selebaran dan pengumuman tarif baru dipajang dalam angkutan. Namun, saat harga BBM diturunkan, bahkan tarif resmi sudah dikeluarkan, pengusaha dan pemilik angkutan, serta pengemudi tetap memberlakukan tarif lama.

”Ini, kan, namanya tidak konsisten. Setelah harga BBM turun sebanyak tiga kali, tak terlihat niat baik dari mereka untuk segera menurunkan tarif angkutan,” ujar Chaeruddin.

Devy (37), warga Palmerah Barat, Jakarta Pusat, kesal dengan pengemudi mikrolet M09 jurusan Kebayoran Lama-Tanah Abang karena dia dipaksa membayar Rp 3.000 dari Kebayoran Lama sampai Pasar Palmerah.

Tarif angkutan dari Pasar Kebayoran Lama sampai Pasar Tanah Abang Rp 4.000 per penumpang. ”Masak cuma sampai Palmerah saja diminta Rp 3.000. Seharusnya cuma Rp 2.000. Sopirnya main bentak lagi minta tambah Rp 1.000,” ungkap Devy.

Aldrin, warga Pasar Minggu, mengatakan, kondektur metromini P15 Setiabudi-Senen bersikeras sewaktu dia membayar ongkos Rp 2.000. ”Saya disuruh turun di Sarinah kalau tidak menambah ongkos Rp 500. Ini keterlaluan,” kata Aldrin.

Sanksi tegas

Chaeruddin mengatakan, Dinas Perhubungan DKI harus tegas memberikan sanksi bagi angkutan umum yang tidak menurunkan tarif.

”Ancaman sanksi yang dibuat terlihat keras. Tetapi, ancaman ini harus diterapkan di lapangan. Jangan hanya sebatas gertakan semata, seperti yang kerap terjadi,” katanya.

Dia menjelaskan, saat tarif terjauh mikrolet pascakenaikan harga BBM pada Mei tahun lalu ditetapkan Rp 3.000 per orang, pengemudi memberlakukan tarif Rp 4.000 per orang. Tarif ini masih terus terjadi hingga kini setelah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menetapkan penurunan tarif terjauh mikrolet menjadi Rp 2.500 per orang.

”Selama lebih dari enam bulan pelanggaran ini dibiarkan terjadi. Tidak ada pengawasan dan penindakan,” papar Chaeruddin.

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang

Halaman:
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau