Ketidakseriusan menerapkan tarif baru juga terlihat dari belum adanya selebaran atau pengumuman di angkutan, antara lain mikrolet, koperasi wahana kalpika (KWK), kopaja, metromini, koantas bima, bus reguler, dan patas ekonomi.
Seperti diwartakan, terhitung Selasa 27 Januari lalu, tarif jarak terjauh mikrolet dan sejenisnya turun dari Rp 3.000 menjadi Rp 2.500 per penumpang. Tarif kopaja dan sejenisnya serta bus reguler dan patas ekonomi turun dari Rp 2.500 menjadi Rp 2.000 per penumpang (Kompas, 23/1).
Tak konsisten
Direktur Eksekutif Kajian Seputar Kota (Kasta) Chaeruddin menegaskan, pengusaha, pemilik angkutan, dan pengemudi harus konsisten menyikapi penurunan tarif itu.
Menurut dia, ketika harga bahan bakar minyak (BBM) diumumkan naik, tarif angkutan langsung ikut-ikutan naik meski belum ada keputusan resmi dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Selebaran dan pengumuman tarif baru dipajang dalam angkutan. Namun, saat harga BBM diturunkan, bahkan tarif resmi sudah dikeluarkan, pengusaha dan pemilik angkutan, serta pengemudi tetap memberlakukan tarif lama.
”Ini, kan, namanya tidak konsisten. Setelah harga BBM turun sebanyak tiga kali, tak terlihat niat baik dari mereka untuk segera menurunkan tarif angkutan,” ujar Chaeruddin.
Devy (37), warga Palmerah Barat, Jakarta Pusat, kesal dengan pengemudi mikrolet M09 jurusan Kebayoran Lama-Tanah Abang karena dia dipaksa membayar Rp 3.000 dari Kebayoran Lama sampai Pasar Palmerah.
Tarif angkutan dari Pasar Kebayoran Lama sampai Pasar Tanah Abang Rp 4.000 per penumpang. ”Masak cuma sampai Palmerah saja diminta Rp 3.000. Seharusnya cuma Rp 2.000. Sopirnya main bentak lagi minta tambah Rp 1.000,” ungkap Devy.
Aldrin, warga Pasar Minggu, mengatakan, kondektur metromini P15 Setiabudi-Senen bersikeras sewaktu dia membayar ongkos Rp 2.000. ”Saya disuruh turun di Sarinah kalau tidak menambah ongkos Rp 500. Ini keterlaluan,” kata Aldrin.
Sanksi tegas
Chaeruddin mengatakan, Dinas Perhubungan DKI harus tegas memberikan sanksi bagi angkutan umum yang tidak menurunkan tarif.
”Ancaman sanksi yang dibuat terlihat keras. Tetapi, ancaman ini harus diterapkan di lapangan. Jangan hanya sebatas gertakan semata, seperti yang kerap terjadi,” katanya.
Dia menjelaskan, saat tarif terjauh mikrolet pascakenaikan harga BBM pada Mei tahun lalu ditetapkan Rp 3.000 per orang, pengemudi memberlakukan tarif Rp 4.000 per orang. Tarif ini masih terus terjadi hingga kini setelah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menetapkan penurunan tarif terjauh mikrolet menjadi Rp 2.500 per orang.
”Selama lebih dari enam bulan pelanggaran ini dibiarkan terjadi. Tidak ada pengawasan dan penindakan,” papar Chaeruddin.