Berkenalan dengan Noni Belanda di Kota Tua

Kompas.com - 05/05/2013, 11:07 WIB

KOMPAS.com - Jika Anda mengunjungi Taman Fatahillah yang ada di depan Museum Sejarah Jakarta, Kawasan Kota Tua, Jakarta belum lama ini, pasti Anda akan bertemu dengan "Noni Belanda".

Seorang perempuan mengenakan gaun panjang berwarna putih menjuntai hingga ke lantai. Riasan mukanya cukup mencolok. Tambahan aksesoris topi dan membawa payung berwarna putih.

Memang, sebagian besar penampilan perempuan ini ingin menonjolkan kesan putih di seluruh bagian tubuhnya dari kepala hingga kaki. Aksen berwarna hanya terdapat di keranjang bunga yang ia jinjing di salah satu tangannya.

noni belanda
Patung manusia ala Noni Belanda di Kota Tua Jakarta. (Foto: Kompas.com/Fitri Prawitasari)

Dari kejauhan, orang pastilah menebak ia seorang noni Belanda. Ya, sesuai dengan tempat di mana ia berada, yakni di kawasan yang berisi sebagian besar gedung peninggalan Belanda.

Noni Belanda ini tak akan melakukan pertunjukkan drama, musik, atau pertunjukkan hiburan semacamnya. Ia hanya berdiri layaknya patung yang terpajang di depan museum. Terlihat beberapa pengunjung Kota Tua mendekatinya dan meminta berfoto dengannya.

Noni Belanda yang mempunyai nama asli Sopia ini. Ia baru saja menjadi seorang noni di Kota Tua. Sopia mengakui, dirinya baru beberapa bulan melakukan profesi ini. Sangat sederhana yang ia lakukan, berdandan layaknya perempuan Belanda era kolonial dan berdiri sepanjang hari di kawasan Kota Tua.

Setiap hari, ia memulai aktivitasnya dari pukul 7 pagi hingga malam. Ia tak menyebutkan jam berapa setiap harinya ia selesai menjadi noni Belanda.

"Tergantung banyaknya pengunjung," katanya.

Memang, berdiri di depan museum dengan dandanan ala perempuan Belanda ini bukan Sopia lakukan dengan cuma-cuma. Sopia bermaksud mencari rejeki dengan melakukan hal tersebut.

Maka, ia menaruh ember kecil di depan ia berdiri untuk pengunjung yang mau sukarela memberikan uang setelah berfoto denganannya. Meski tak semua pengunjung memberi uang setelah berfoto dengannya, tak masalah baginya. Ia pun tak akan memaksa, ia lebih senang pengunjung memberi dengan sukarela.

Untuk berdandan seperti Noni Belanda, Sopia mengakui, ia mendapatkan peralatan dari salah satu pasar barang bekas yang ada di Jakarta. Alasannya sederhana, karena harganya yang murah. Lagipula, barang-barang yang ia dapatkan terlihat masih sangat bagus dan layak untuk dipakai.

Sopia yang dulu merupakan pedagang kaki lima ini mengaku cukup senang menjalani profesinya yang sekarang. Meski, katanya, tak jarang ada pengunjung yang meremehkannya, menganggapnya seperti 'orang gila'.

Tapi ia tak mempedulikan hal tersebut karena masih banyak juga orang yang mengapresiasinya, salah satunya dengan meminta berfoto dengannya. Patung manusia di Kawasan Kota Tua tak hanya Noni Belanda Sopia.

Ada banyak juga patung manusia lainnya. Sebut saja patung manusia menyerupai pejuang, tentara mainan anak-anak, mainan batu, dan banyak lainnya.

Menurut Sopia, patung manusia di kawasan Kota Tua merupakan suatu komunitas. Meski ia bukanlah yang pertama menjadi patung manusia. Di antara mereka, tak ada yang boleh menjadi patung yang sama.

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang

Halaman:
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau