Saatnya Memakmurkan Petani Indonesia

Kompas.com - 19/10/2015, 14:05 WIB


Banyak orang yang bercita-cita menjadi seorang dokter, guru, pilot atau pramugari. Akan tetapi, hanya segelintir yang ingin menjadi seorang petani. Alasannya pun beragam. Salah satunya karena penghasilan sebagai petani masih dianggap kurang mampu mencukupi kebutuhan hidup. Hal ini bertolak belakang dengan fakta bahwa petani Indonesia merupakan tulang punggung penyedia pangan dengan segala inovasi, kreativitas dan pengetahuannya.

Pandangan miring terhadap mata pencaharian tersebut perlu diubah. Sebab, hal itu merupakan salah satu langkah dalam upaya mencapai ketahanan pangan di Indonesia. Coba saja Anda bayangkan. Bagaimana mungkin industri dan sektor pertanian dapat berkembang tanpa adanya regenerasi petani. Namun, mengubah pandangan masyarakat, terutama generasi muda, tidak semudah yang dibayangkan, karena penambahan tenaga kerja di sektor pertanian harus berhadapan dengan realitas minimnya lahan pertanian, terjadinya perubahan iklim dan masih banyak lagi.

“Sebelum terjadi anomali iklim, masyarakat Indonesia memang belum betul-betul menyadari seberapa besar peran para petani kita. Nah, setelah kita, secara jelas dan nyata, berhadapan dengan perubahan iklim global, barulah semua orang sadar bahwa mereka sangat memerlukan jumlah stok pangan yang aman atau bahkan berlimpah. Sementara, tanpa keberadaan para petani, tak akan ada yang namanya produksi pertanian atau stok pangan,” ujar Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Tohir saat diwawancara Kompasiana melalui telepon pada Jumat (16/10/2015) lalu.

Kemudian Winarno melanjutkan, “Dengan kondisi iklim yang berubah-ubah seperti sekarang ini, kita membutuhkan tanaman, entah itu padi atau jagung, yang tahan cuaca panas ekstrem, hujan yang terjadi terus-menerus hingga menimbulkan penggenangan atau banjir, dan kekeringan akibat musim kemarau.”

Sebelum mengubah pandangan, industri pertanian harus telebih dahulu mengatasi problema-problema yang telah disebutkan di atas. Akan tetapi, hal itu tak dapat dilakukan oleh satu pihak saja, melainkan membutuhkan kerja sama dari berbagai pihak, mulai dari para petaninya, pemerintah, hingga perusahaan. Salah satu langkah efektif adalah dengan menerapkan bioteknologi yang telah terbukti mampu meningkatkan produksi pertanian tanpa perlu membuka lahan pertanian baru dan mengurangi penggunaan pestisida.

“Mengapa kesejahteraan petani Indonesia belum sebaik para petani dari negara lain? Ya, salah satunya karena Indonesia belum sepenuhnya menerapkan bioteknologi,” jawab Winarno.

Winarno lalu menggambarkan ilustrasi perbandingan antara industri pertanian Indonesia dengan negara lain. “Bila dibandingkan, produk hasil pertanian kita memang masih kalah berkualitas dari produksi negara-negara lain yang sudah menerapkan bioteknologi, sebut saja jagung. Metode pertanian di luar sana itu sudah jauh lebih modern dan efisien, dimana salah satunya itu adalah bioteknologi. Teknologi ini memungkinkan petani untuk menangani gulma dengan lebih optimal untuk mengurangi kehilangan hasil akibat gulma yang biasanya cukup sulit untuk ditangani.”

Bioteknologi sendiri merupakan teknologi pertanian yang menerapkan teknologi biologi molekuler pada organisme atau bahan dasar makanan demi meningkatkan sifat-sifat yang diinginkan. Misalnya saja, saat ini Indonesia tengah dilanda kekeringan akibat kemarau yang berkepanjangan. Bioteknologi mampu meningkatkan resistensi terhadap kekeringan pada tanaman padi atau lainnya.

Selain itu, rekayasa genetik juga membantu meningkatkan kualitas hasil panen tanaman padi, seperti kandungan vitamin dan mineral tambahan yang terkandung di dalam setiap butir beras. Dalam proses penerapannya, bioteknologi juga diklaim dapat menghemat waktu serta biaya reproduksi dan mengurangi limbah pertanian. Jadi, manfaatnya tak hanya dirasakan oleh para petani, tetapi juga lingkungan sekitar.

“Apabila petani menggunakan benih atau bibit hasil pengembangan bioteknologi, biaya produksi atau tenaga kerja per hektar atau per kilonya akan jauh lebih murah. Selain itu, tingkat risiko kegagalannya juga rendah. Begitu juga dengan urusan pemeliharaan tanaman, seperti penyiangan dan penyemprotan,” tegas Winarno.

Dengan kata lain, bioteknologi dipercaya mampu membantu menanggulangi kemiskinan di sektor pertanian dengan cara meningkatkan produksi pertanian hingga berkali-kali lipat, yang akan berujung pada bertambahnya jumlah pendapatan, yang pada akhirnya akan memberikan positif pada kesejahteraan para petani. Apabila teknologi pertanian ini dikembangkan secara berkelanjutan dan diterapkan oleh seluruh petani Indonesia, bukan tak mungkin Indonesia akan menjadi salah satu negara penghasil pangan terbesar yang tak lagi bergantung pada impor.

“Kalau Amerika yang lahannya kering dan tak punya saluran air saja bisa menghasilkan pangan dalam jumlah banyak dan diekspor ke sejumlah negara , apalagi Indonesia yang sumber daya alamnya melimpah. Daerah Nusa Tenggara Timur juga memiliki lahan yang kering seperti Amerika, jadi marilah kita dukung penerapan bioteknologi di Indonesia,” ujarnya pada akhir sesi wawancara. (adv)

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com