Hingga saat ini, ketahanan pangan masih menjadi topik yang tak akan pernah usai diperbincangkan, baik itu di Indonesia maupun di kancah internasional. Bagaimana tidak? Sebab, pertumbuhan populasi penduduk yang terus meningkat secara drastis setiap tahun tidak diimbangi dengan peningkatan jumlah produksi pangan atau pertanian. Sebaliknya, produksi pertanian justru menurun akibat perubahan iklim. Belum lagi, lahan yang dibutuhkan untuk pembudidayaan bahan baku pangan justru beralih menjadi kawasan pemukiman.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, industri pertanian Indonesia membutuhkan metode serta teknologi yang lebih modern. Yang dimaksud dengan modern bukan hanya sekadar canggih atau mutakhir, tetapi juga mampu memberikan manfaat bagi khalayak luas, sehingga ketahanan pangan nasional dan kesejahteraan petani akan tercapai.
“Coba lihat saja kemajuan di negara-negara yang mengadopsi bioteknologi. Tentu prakondisi untuk kesuksesannya perlu dibangun. Teknologi hanyalah satu komponen dari faktor utama pendorong perubahan atau pertumbuhan. Namun, komponen tersebut juga perlu didukung dengan komponen-komponen lainnya, seperti kebijakan yang tepat, sumber daya alam yang tersedia, sumber daya manusia yang memadai, modal yang mencukupi, pasar yang mau dan mampu menampung hasil, serta institusi pendukung yang kondusif,” terang Ketua Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika (KKH-PRG) Agus Pakpahan.
Ya, sebagai bagian dari revolusi ilmu pengetahuan dan industri, bioteknologi memiliki kemampuan untuk melakukan hal-hal yang tidak bisa diberikan oleh metode konvensional atau teknologi pertanian terdahulu. Misalnya saja, meningkatkan daya adaptasi tanaman transgenik terhadap faktor lingkungan atau daya tahan terhadap hama maupun penyakit tanaman. Keuntungan lainnya adalah kecepatan penerapan dan pemanfaatan benih transgenik yang berujung pada kemajuan masa panen.
Saat negara-negara lain saling berlomba menjadi yang terdepan dalam mengaplikasikan bioteknologi, Indonesia justru masih jauh tertinggal. Belakangan ini, sudah ada banyak produk rekayasa genetik (PRG) yang dihasilkan oleh para peneliti dan lembaga riset bioteknologi. Sayangnya, produk-produk tersebut belum ada yang dilepas ke pasar Indonesia, karena masih dalam tahap pengkajian keamanan pangan.
Hal serupa disampaikan secara langsung oleh Agus, “Indonesia sangat cepat mengadopsi teknologi revolusi hijau. Tetapi dalam hal mengadopsi bioteknologi mutakhir, kita sampai sekarang belum tergolong ke dalam negara pengguna bioteknologi dalam hal produksi pertanian. Kecuali dalam hal mengkonsumsinya.”
Untuk mengejar ketinggalan dengan negara lainnya, pemerintah Indonesia perlu secepatnya menetapkan kebijakan yang tepat dan berpihak kepada petani Indonesia. Selain itu, pemerintah dan perusahaan swasta juga perlu memberikan dukungan penuh kepada para peneliti serta lembaga riset yang berperan besar dalam pengembangan bioteknologi.
“Tanpa kebijakan yang tepat dan dukungan investasi untuk pengadaan fasilitas research and development (R&D) yang memadai, Indonesia tak akan mampu mengejar ketertinggalan dalam bidang teknologi pertanian,” tegas Agus.
Kemudian ia melanjutkan, “Semua tergantung pada kebijakan dan dukungan pemerintah, serta sampai sejauh mana industri dan sektor pertanian kita mau memanfaatkan dan berinvestasi dalam bioteknologi.” (Adv)