Bagi Hasil Produksi Migas

Kompas.com - 01/12/2015, 08:30 WIB


Kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC) yang diterapkan pemerintah dalam menjalankan bisnis hulu minyak dan gas bumi (migas) memungkinkan negara tidak mengeluarkan dana sepeser pun dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pengembalian dana talangan atau cost recovery yang dikeluarkan kontraktor kontrak kerja sama (kontraktor KKS) untuk membiayai proses produksi dilakukan setelah migas yang diangkat ke permukaan bumi sudah dikomersialkan. Cost recovery diambil dari hasil komersialisasi migas, bukan dari dana APBN. 

Setelah dikurangi untuk keperluan cost recovery, migas hasil produksi kemudian dibagi antara kontraktor KKS dan pemerintah. Pembagian tersebut tidak dilakukan di titik produksi, melainkan di titik penyerahan, yaitu ketika migas hasil produksi diserahterimakan dari penjual ke pembeli.

Perlu diketahui bahwa masing-masing produk yang dihasilkan dari kegiatan usaha hulu migas, yaitu minyak dan gas bumi, memiliki metodologi dan mekanisme penjualan yang berbeda. Persentase pembagian atau biasa disebut split juga dibedakan antara minyak dan gas bumi.

Secara umum, pola dasar pembagian minyak maupun gas bumi relatif sama. Ada empat tahapan yang dilewati secara berurutan sebelum dilakukan pembagian minyak dan gas bumi. Pertama, hasil produksi minyak dan gas bumi lebih dulu disisihkan untuk FTP (first tranche petroleum), yakni pengambilan minyak dan gas bumi pertama setelah produksi terjadi untuk mengamankan penerimaan negara dan kontraktor KKS sebelum minyak dan gas bumi digunakan untuk cost recovery.

Kedua, hasil produksi minyak dan gas bumi dialokasikan untuk cost recovery sesuai biaya yang dibutuhkan untuk mengangkat minyak dan gas bumi ke permukaan. Ketiga, sisa hasil produksi minyak dan gas bumi setelah dikurangi FTP dan cost recovery dibagi ke negara dan kontraktor KKS sesuai porsi pembagian yang tertuang dalam kontrak kerja sama yang telah disepakati. Keempat, menghitung DMO (domestic market obligation), yakni kewajiban kontraktor KKS untuk menyerahkan migas bagian mereka dalam jumlah tertentu kepada pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri. 

Pemerintah menetapkan bagi hasil beragam sesuai dengan keekonomian dan kompleksitas operasional masing-masing lapangan. Pemerintah juga akan menetapkan bagi hasil yang lebih tinggi di lapangan migas konvensional. Di lapangan yang terletak di area terpencil maupun laut dalam, bagian kontraktor KKS akan ditingkatkan sebagai bentuk insentif.

Secara rata-rata, bagi hasil untuk minyak bumi sebesar 85:15. Artinya, 85 persen hasil minyak bumi yang dikomersialkan menjadi bagian pemerintah dan 15 persen sisanya menjadi hak kontraktor KKS. Untuk gas bumi bagi hasilnya 70:30, sehingga 70 persen untuk pemerintah dan 30 persen bagian kontraktor.

Sesuai skema pembagian yang telah disepakati dalam kontrak kerja sama, perhitungan bagi produksi dilakukan secara periodik tiap tahun. Perhitungan dilakukan dengan mengacu pada total biaya operasi yang telah dikeluarkan dalam satu tahun. Untuk diketahui, bagi produksi minyak dan gas bumi bagi masing-masing pihak dilakukan dalam bentuk produk.

Pembagian juga dilakukan sebelum memperhitungkan pajak. Oleh karena itu, pengakuan atas penerimaan migas mengandung konsekuensi. Ketika produk diakui sebagai bagian kontraktor, maka melekat pula kewajiban yang ditimbulkan atas barang tersebut, termasuk kewajiban membayar pajak.

Dari hasil pembagian di titik serah, masing-masing pihak memiliki kebebasan untuk menjual bagian mereka. Pemerintah bisa mengekspor minyak dan gas bumi yang menjadi bagian negara atau mengirim minyak dan gas bumi tersebut ke kilang-kilang di dalam negeri. (adv)

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com