KAI Terus Berderap Selamatkan Aset

Kompas.com - 06/04/2016, 08:12 WIB

PT Kereta Api Indonesia (Persero) adalah satu dari sekian BUMN yang terbilang tua. Sebagai salah satu perusahaan yang melalui berbagai fase mulai dari masa kolonialisasi Belanda hingga pasca kemerdekaan, PT KAI ‘mewarisi’ aset yang tersebar luas di seluruh wilayah Indonesia. Aset-aset dari masa kejayaan Belanda di Nusantara itu kini tetap dikelola KAI dengan baik, meskipun ada keuntungan maupun kesulitan dibaliknya.

Keuntungannya, aset negara yang dikelola oleh KAI jumlahnya sangat besar dan tersebar di banyak wilayah strategis, sehingga dapat menjadi potensi bagi perusahaan dalam mengembangkan usaha dan bisnisnya. Tak hanya aset yang berada di sekitar jalur kereta api, aset lainnya seperti tanah, bangunan, dan rumah dinas pun tersebar di berbagai wilayah. Hingga Februari 2016, total luas tanah kereta api mencapai 320.092.360,77 m2. Luas tanah tersebut meliputi ROW (milik pemerintah) 57.510.403,21 m2 dan non-ROW (milik KAI) 262.581.957,56 m2.

Jembatan Cikuda di kawasan Jatinangor yang merupakan saksi bisu sejarah perkeretaapian zaman Hindia Belanda.

Namun, hal ini juga memunculkan kesulitan tersendiri dalam pengelolaannya. Pasalnya, aset yang rata-rata yang sudah berusia tua itu bukti kepemilikannya tak jarang memunculkan permasalahan antara masyarakat dan pihak KAI. Aset yang sudah ada sejak era Kolonial Belanda yang sejatinya sudah dinasionalisasi menjadi aset perkeretaapian nasional ini sudah banyak berpindah tangan sehingga dokumen maupun bukti kepemilikannya kerap menjadi polemik.

Status kepemilikan aset yang banyak diklaim oleh masyarakat dan penolakan warga yang menghuni di atas lahan milik KAI menjadi salah satu kendala yang ditemui tim penertiban aset di lapangan. Padahal, penertiban yang dilakukan KAI atas aset yang sejatinya memang menjadi “hak milik” perseroan ini bertujuan untuk mendukung operasional dan kelancaran perjalanan KA maupun untuk mengembangkan usaha perusahaan demi peningkatan dan pengembangan perkeretaapian.

Permasalahan ini akan menjadi sederhana jika masyarakat yang menempati aset KAI tersebut secara sadar memahami bahwa aset yang ia tempati bukanlah miliknya. Demikian halnya dengan aset rumah dinas. Pegawai yang sudah tidak dinas alias pensiun seharusnya segera mengembalikan rumah dinas kepada perusahaan atau menyewanya sesuai ketentuan perusahaan. Kesadaran inilah yang harus dimiliki oleh siapapun yang menempati aset milik negara atau milik perusahaan.

Agar penyelamatan aset dapat terus berjalan lancar, Unit Aset Non Railway KAI saat ini tak hanya fokus pada penertiban aset secara fisik namun juga sangat concern pada penertiban aset secara administratif. Dalam misi penyelamatan aset, PT KAI bahkan membentuk Tim Penelusuran Aset guna melacak saksi-saksi sekaligus melakukan kajian sejarah. Tim ini bekerja sama dengan Arsip Nasional RI dan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. PT KAI menyadari bahwa dua lembaga inilah yang dapat membantu untuk mengupayakan clearence atas aset-aset KAI yang ada sejak zaman Kolonial Belanda dulu. Selain kajian sejarah dan penelusuran saksi-saksi, tim ini juga melakukan uji forensik dan uji linguistic terhadap dokumen-dokumen aset. Tak tanggung-tanggung, penelusuran aset bahkan dilakukan hingga ke negeri Belanda.

Jejak perkeretaapian di pesisir Pantai Selatan Banten.

Sedangkan penertiban secara fisik yang sudah dilakukan antara lain pemasangan plang, patok dan peneng dirumah perusahaan, maupun tindakan penertiban secara langsung. Setidaknya, sebelum melakukan penertiban dan pensertifikatan aset, KAI melakukan berbagai tahap kepada warga yang menempati lahan KAI. Tahap awal adalah pendekatan terhadap warga yang bersangkutan, kemudian memberikan pemahaman dan sosialisasi. Tahap berikutnya adalah jika warga yang menempati lahan KAI tersebut menolak untuk menyerahkan aset tersebut maka KAI akan menempuh jalur hukum. Namun bila warga dengan sukarela menyerahkan kembali aset tersebut maka KAI akan menempuh proses berikutnya yaitu melakukan penjagaan dan pensertifikatan terhadap aset yang telah diamankan tersebut.

Selama tahun 2015 lalu, Unit Aset Non-Railway telah melakukan penertiban terhadap 4.843 bangunan liar dan 318 rumah perusahaan di seluruh wilayah kerja PT KAI. Dari seluruh penertiban yang dilakukan selama tahun 2015, nilai aset yang berhasil diselamatkan sebesar Rp1,4 triliun. Aset yang telah selesai ditertibkan oleh unit aset daerah pada tahun 2015 diserahkan kepada Unit Pengusahaan Aset untuk dikomersialkan dengan dilampirkan dokumen-dokumen yang dibutuhkan oleh Unit Pengusahaan Aset.

PT KAI sebenarnya masih memiliki PR (pekerjaan rumah) yang besar terkait penyelamatan aset. Di luar sana masih banyak aset KAI yang sangat bersejarah namun terbengkalai dan ‘mati suri’. Sebut saja Jembatan Cikuda (Jembatan Cingcin, Jatinangor) yang pada zaman penjajahan Belanda dilintasi oleh kereta uap dengan latar belakang pemandangan gunung yang indah. Di ujung Pantai Selatan, KAI juga masih memiliki jalur Saketi-Bayah yang sudah mati. Padahal jalur ini merupakan salah satu jalur kereta api yang eksotis karena menyajikan panorama pantai yang jarang ditemukan di ujung Jawa bagian barat. Diperlukan kemauan yang kuat dan dukungan dari seluruh pihak untuk dapat menghidupkan kembali jalur-jalur mati tersebut agar memberikan manfaat yang besar tak hanya bagi perusahaan namun juga masyarakat luas. (adv)

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com