Brandzview

Tangisan Bupati Dedi dan Impian untuk Para Lansia di Purwakarta

Kompas.com - 30/03/2017, 16:55 WIB


PURWAKARTA, KOMPAS.com
– Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi punya impian untuk warga lanjut usia (lansia) yang hingga kini belum terwujud, yaitu asuransi hari tua bagi mereka yang tidak mampu. Impian ini bukan tanpa alasan.

Hobi Dedi berkeliling ke setiap sudut di Purwakarta kerap mempertemukannya dengan warga yang hidup dalam kemiskinan. Di antara mereka ada para lansia yang hidup sebatang kara dan miskin.

“Seperti waktu itu, saya pergi berkeliling menggunakan sepeda dan menemukan dua peristiwa di hari berbeda yang sangat menyesakkan sampai saya menangis,” ujar Dedi kepada Kompas.com, belum lama ini.

Pertama, ia bertemu Bah Kadim. Lelaki tua renta ini tinggal di salah satu sudut kampung di Kecamatan Cibatu, Purwakarta. Sejak 2003 ia tinggal sendirian dan kondisi badannya pun sudah tak lagi sehat.

“Ia tinggal di rumah bilik bambu tak berjendela. Hidup dalam kegelapan karena kedua matanya sudah tak mampu melihat,” tutur Dedi.

Dua anak Bah Kadim tinggal di kota lain. “Jangankan (mereka) mengurus (Bah Kadim). Sekadar sapaan pun tak pernah. Kehidupannya dibantu tetangga sejak 2003,” tambahnya.

Kedua, sepeda Dedi terhenti di Margasari. Sebuah perkampungan sampah. Di salah satu sudut kampung tersebut terlihat gubuk tua dengan kakek tua bernama Ahmad berbaring di dalamnya beralas selembar busa saja.

“Saya enggak tahan. Saya menangis, badan saya gemetar,” ujar Dedi mengenang pertemuan itu.

Bagaimana tidak, bila Dedi harus melihat sosok Ahmad yang sudah lumpuh hanya terbaring tanpa daya di tempat seperti itu? Untuk hidup, Ahmad mengandalkan bantuan tetangganya.

Dok Humas Pemkab Purwakarta Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi (berdiri, baju hitam) menemui warganya yang sudah berusia lanjut dan hidup sebatang kara dalam kemiskinan

Di luar dua pertemuan tersebut, Dedi juga mendapati banyak kisah lain yang tak kalah menggetarkan perasaan.

Di Desa Cileunca, Kecamatan Bojong, misalnya, Dedi mendapati seorang ibu renta merawat anak dan suaminya yang lumpuh.

“Keluarga ini hidup dari singkong. Penghasilannya paling hanya Rp 25.000 per hari. Sekarang suami dan anaknya sudah meninggal. Kalau tidak salah kelumpuhannya akibat penyakit turunan,” ujar Dedi.

Bantua memang langsung Dedi serahkan kepada orang-orang itu. Tak hanya tempat tinggal yang lebih layak, dia juga memastikan pasokan makanan untuk mereka.

Namun, Dedi merasa bantuan seperti itu tak akan pernah merata bila hanya mengandalkan temuannya saat berkeliling. Ia yakin masih ada orang-orang lansia di sudut-sudut perkampungan di Purwakarta yang membutuhkan uluran tangan.

Karena itu, ia memimpikan ada program asuransi untuk para lansia, terutama yang hidup sendirian dan miskin. Dia membayangkan ada semacam santunan rutin dari asuransi itu senilai Rp 1 juta per bulan.

“Saya sudah lihat postur anggaran. Insya Allah program ini bisa digulirkan pada 2018,” ungkap Dedi. 

Dedi optimistis bisa mewujudkannya. Menurut Dedi, negara—berikut aparatnya seperti dia—wajib hadir bagi mereka yang memang membutuhkan seperti ini.

Sebagai contoh, Dedi menyebutkan praktik di luar negeri yang memberikan tunjangan bagi para lansia terlantar. Sasarannya sama, memberikan kehidupan yang layak.

(RENI SUSANTI)

Halaman:
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com