Brandzview

Menyelesaikan Masalah Warga di Meja Makan, Begitu Cara Dedi Mulyadi...

Kompas.com - 03/04/2017, 11:34 WIB

PURWAKARTA, KOMPAS.com – Engkos (40) warga Kampung Nanggorak RT/RW 04/01, Desa Sindangsari, Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta, duduk di atas sofa Hotel Plaza, Rabu (30/3/2017). Bersama sang isteri, Erna (30), dia terlihat canggung.

Engkos menatap sekeliling. Tidak banyak yang ia kenal. Hanya beberapa pejabat desa yang mengantarnya saja yang sempat dikenalinya.

Memang, hari itu Engkos dan Erna datang ke Hotel Plaza untuk memenuhi undangan makan siang dari Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi. Selain pasangan suami isteri itu, ada beberapa warga lainnya yang turut diundang.

Kebetulan, hari itu beberapa kegiatan Dedi dilaksanakan di hotel tersebut. Untuk itulah, warga yang ingin bertemu dengannya akan diantarkan ke hotel. Biasanya, warga akan dijamu di Warung Katresna milik Pemkab Purwakarta.

Waktu yang ditunggu pun datang. Engkos dan beberapa warga langsung memasuki kamar tempat bupati menginap.

Obrolan pun dimulai. Engkos dan Erna dipanggil Dedi untuk memastikan kebenaran informasi yang diperolehnya. Dari foto yang diterima Dedi, pasangan tersebut tinggal di gubuk bilik bambu berukuran 2,5 x 2 meter. Ironisnya, bangunan tersebut berdiri di atas tanah wakaf desa setempat.

"Muhun pak, eta bumi abdi. Tuang didinya, kulem didinya, sagala didinya. (Betul pak, itu rumah saya. Makan di sana, tidur di sana, semua aktivitas dilakukan di sana," ucap Engkos.

Engkos berprofesi sebagai penjual kaki dan kepala sapi. Namun, beberapa tahun belakangan usahanya bangkrut. Sampai akhirnya, Engkos terpaksa bekerja serabutan. Kadang untuk makan keluarganya ia mendapat uluran tangan para tetangga.

Seusai mengobrol dengan Engkos, Dedi mengajak ngobrol EK (17) yang diduga menjadi korban eksploitasi anak. Januari lalu, saat EK berusia 16 tahun, ia ditawari saudaranya bekerja di salon kecantikan di Bandung.

Sesampainya di Bandung, ia dan lima orang Purwakarta lainnya mengikuti pelatihan dua pekan dan dibuatkan kontrak kerja. Sebelum menandatangani kontrak kerja, EK di foto menggunakan gadget untuk keperluan KTP.

Dok Humas Pemkab Purwakarta Seusai mendengarkan keluh kesah warga, Dedi Mulyadi memesan makanan yang belum pernah dikonsumsi sebagian besar tamunya, yakni sirloin steak. Dedi membantu tamunya mengiris makanan khas barat tersebut.
Rupanya, data yang ada di KTP itu dipalsukan. Umur EK berubah menjadi 19 tahun dengan alamat Antapani, Bandung. Tanpa pikir panjang, EK langsung menandatangani kontrak yang di dalamnya terdapat klausul pembayaran ganti rugi Rp 20 juta jika EK keluar sebelum kontrak habis.

"Pas kerja saya kaget, ternyata konsumen di tempat spa itu laki-laki Dan tamunya suka maksa. Pernah saya ditawarin Rp 1,5 juta, tapi harus memberikan pelayanan lebih dari tugas saya memijat," ucapnya.

Karena takut, ia pun menelpon orang tuanya hingga akhirnya disuruh pulang. Namun, ia terkendala perjanjian kerja sama yang sudah dibuat.

"Saya bingung darimana dapat uang Rp 20 juta untuk membayar ganti rugi. Kalau nggak ada saya harus balik lagi kerja," tuturnya.

Seusai mendengarkan keluh kesah warga, Dedi memesan makanan yang belum pernah dikonsumsi sebagian besar tamunya, yakni sirloin steak. Ketika melihat tamunya kesulitan, Dedi membantu mengiris makanan khas barat tersebut.

"Tidak apa-apa, biar mencoba jenis makanan yang ada di sini. Kalau Bapak mau bulan madu di sini juga, boleh pak. Saya siapkan kamarnya," kata Dedi kepada Engkos dan isterinya.

Seusai santap siang, Dedi memanggil beberapa kades yang menjadi domisili para tamunya. Untuk Engkos, Dedi memberikan uang Rp 15 juta untuk membangun rumah dan menugaskan kades mencari lahan untuk dibangun rumah. Tak hanya itu, Dedi pun memberikan sejumlah dana untuk modal.

Sedangkan untuk EK, ia bekerjasama dengan KPAI Purwakarta menyelesaikan persoalan kontrak sekaligus melaporkan pemalsuan dokumen dan dugaan trafficking.

"Jangan khawatir, yang Rp 20 juta saya yang bayar. Tidak perlu kembali ke tempat kerja, semua sudah tertangani," tuturnya.

Pendekatan Keluarga

Dedi mengaku, menjalankan birokrasi pemerintahannya tidak seperti orang lain. Jika banyak pemimpin melakukan pendekatan normatif seperti SOP (standar operasional prosedural) dalam menyelesaikan masalah warga, lain halnya dengan dia.

"Orang lain melakukan pendekatan normatif, SOP-SOP, yang hanya teori itu. Saya lebih pada pendekatan pola keluarga untuk menyelesaikan persoalan,” ucapnya.

Dok Humas Pemkab Purwakarta Di gubuk bilik bambu berukuran 2,5 x 2 meter. Ironisnya, bangunan tersebut berdiri di atas tanah wakaf desa setempat.
Pada kasus Engkos, misalnya. Jika dirinya menggunakan SOP, Dedi harus mengeluarkan uang melalui kesra dan menunggu bantuan keuangan desa.

"Dan untuk mendapatkan bantuan keuangan desa itu harus buat proposal dulu. Rudet (ribet), ada duit kasih sajalah," imbuhnya.

Uang yang diberikan berasal dari kantong pribadinya. Itulah sebabnya, gaji, tunjangan, dan biaya operasional dirinya sebagai bupati sebesar Rp 50 juta tidak pernah diambil. Dedi menggunakan uang itu untuk membantu masyarakat.

Untuk kehidupannya sendiri dan keluarga, Dedi mengandalkan sawah dan hewan ternak miliknya.

"Pengeluaran istri dan anak saya itu kecil. Mereka tidak suka jajan. Untuk makan cukup dari sawah saya, ikan punya sendiri, kambing juga punya sendiri," ungkapnya.

Bahkan, ada kalanya, Dedi harus menguras tabungan pribadinya untuk menolong orang. Karena kehidupan tidak bisa diukur dengan materi, untung dan rugi. Membantu orang lain, lanjut dia, harta yang dimiliki tidak akan pernah habis.

"Jangan sekali-kali hidup mengandalkan materi. Kalau gitu, kita tidak yakin dengan adanya Tuhan," tutupnya.

Baca juga: Dedi Mulyadi Punya Kisah, dari Susah Makan sampai Jadi Bupati

 

RENI SUSANTI/KONTRIBUTOR PURWAKARTA

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau