Brandzview

Ketahuan... Bupati Purwakarta Doyan "Sarungan"!

Kompas.com - 10/04/2017, 07:19 WIB

KOMPAS.com - Senyum sumringah tampak di wajah Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi saat bercerita soal sarung. Ya, kain panjang dengan satu jahitan yang sudah begitu lekat dengan keseharian orang Indonesia menjadi bahan perbincangan penuh dengan gelak tawa pada pagi menjelang siang, Kamis (8/4/2017) di lantai 8, Gedung Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Jakarta.

Selain Dedi Mulyadi, pada pergelaran yang dihadiri sekitar 100 warga NU alias kaum nahdliyin itu, hadir sebagai pembicara adalah Ketua Lembaga Ta'mir Masjid (LTM) PBNU Kiai Haji (KH) Mansur Syairozi, Ketua Pengurus Pusat Lembaga Seni Budaya Muslimin (PP Lesbumi) NU KH Agus Sunyoto, serta mantan Rektor Universitas Islam Negeri Maliki Malang, Prof. Dr. H. Imam Suprayogo.

Sarung, bagi keempat pembicara itu, adalah ciri khas Indonesia yang patut terus-menerus didengungkan.

"Ini salah satu ciri kita sebagai orang Indonesia. Ini bentuk kebanggaan kita," kata KH Agus Sunyoto.

Orang Sunda

Catatan menarik disampaikan Dedi Mulyadi tentang sarung dalam khazanah kearifan lokal orang Sunda. Menurut naskah Carita Parahiyangan yang diduga ditulis pada abad-16, memakai kain sarung sudah menjadi kelaziman.

"Orang Sunda punya perspektif dan filosofi soal sarung," lanjut bungsu dari sembilan bersaudara kelahiran Subang, 11 April 1971, itu.

Baca: Dedi Mulyadi Punya Kisah, dari Susah Makan sampai Jadi Bupati.

Dedi melanjutkan, kata "sarung"  berasal dari gabungan kata "sa" dan "rung". 

"Sa dalam bahasa Sunda berarti tidak terbatas, berlebihan. Ini sifat dasar manusia yang di dalam dirinya mengandung tanah, air, udara, dan api," imbuhnya.

Sifat dasar manusia itu, sambung Dedi, adalah tak pernah merasa puas.

"Sudah mempunyai sertifikat tanah, tetapi manusia terus ingin memperlebar kepemilikan tanahnya," ujar Dedi.

Terus, lanjut Dedi, manusia mempunyai kecenderungan memompa air sebanyak-banyaknya. Padahal, yang diminum hanya dua gelas. Menurut dia, udara dan api juga sama.

"Jika dimanfaatkan atau dikuasai secara belebihan akan mendatangkan bencana," kata Dedi.

Baca juga: Bupati Dedi, Falsafah "Someah Hade Ka Semah", Raja Salman, dan Bali

Lantaran sifat itulah, kata "sa" menempel erat dengan "rung". Adapun kata "rung" dalam bahasa Sunda berarti "dikurung".

"Segala ketamakan manusia yang terdapat dalam keempat unsur tersebut berusaha dibatasi atau dikurung," jelas Dedi yang dalam program kerjanya mewujudkan kewajiban bersarung dalam satu hari selama hari kerja bagi para pegawai negeri sipil (PNS) di Pemerintah Daerah Purwakarta.

Usut punya usut, piawai menjelaskan ihwal sarung ternyata berbanding lurus dengan kedoyanan Dedi memakai sarung atau sarungan pula. Hal itu terungkap saat dia menjawab pertanyaan Kompas.com di sela-sela acara itu.

"Iya saya suka pakai sarung. Nyamannya pakai sarung saat shalat dong pastinya. Juga, pas tidur," tuturnya sambil tersenyum.

Oh iya, Dedi pun termasuk pemilih soal sarung. Menurutnya, lantaran kulitnya cenderung berwarna coklat sawo matang, ia lebih suka memilih kombinasi warna putih-hitam.

"Kalau motifnya, ya saya suka sarung bermotif wayang," pungkasnya.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau