Brandzview

Mau Tahu Pengorbanan Seorang Ibu? Kunjungi Museum Bale Indung Rahayu!

Kompas.com - 26/04/2017, 08:07 WIB

KOMPAS.com - "Lampah hirup dilakonan, kaasih indung marengan, samping jangkung gelung jucung, awak rengkung disebakeun, sesa umur dianteurkeun. Ngaguru ku kabodoan, ikhlas eusi kapinteran, ciduh metuh jajampean, ajeg lampah dilakonan...”

"Jalan kehidupan dilakoni, cinta kasih bunda menyertai, kain ditinggikan sanggul diikatkan, badan bungkuk ditegakkan, sisa umur dihantarkan. Berguru karena kebodohan, ikhlas mengisi kepintaran, ludah mantera (doa) makbul, tegar melangkah dilakoni..."

Sepenggal lagu berjudul "Indung" itu membuka perjalanan menuju Bale Indung Rahayu. Lagu yang kental dengan makna filosofis itu menggambarkan kecintaan, kerja keras, bakti, seorang ibu kepada keluarga dan anak-anaknya.

Ibu adalah sosok yang tidak mengenal lelah. Ibu sanggup mengorbankan apapun agar anaknya sukses bahagia. Seorang ibu bisa menahan sakit dan kepedihan demi senyuman anaknya. Bahkan, sejak dalam kandungan, dii berjuang di antara hidup dan mati untuk melahirkan sang anak.

Baca: Sebetulnya, Siapa Inspirasi Utama Pembangunan Purwakarta?

Itulah yang coba dipotret Bale Indung Rahayu, museum terbaru di Purwakarta, Jawa Barat. Diawali dengan sebuah lorong berwarna gelap, pengunjung akan disuguhkan cerita perjalanan janin dari usia 0-9 bulan. Kisah itu diiringi dengan suara tangisan bayi yang baru lahir.

Uniknya, cerita itu disajikan dalam bentuk lorong gelap dan sempit. Kisah yang seolah menggambarkan bayi dalam kandungan dan bersiap untuk melihat dunia nan luas. Ketika keluar dari lorong, pengunjung akan melihat ruangan yang sangat besar, terbuka, dengan atap tinggi dan luas.

Di dalam ruangan tersebut terdapat banyak kisah. Dimulai dengan cerita ungkapan Sunda yang sering mengiringi seorang ibu ketika hamil dan melahirkan. Misalnya, ungkapan "Hayu geuwat tuturkeun bapa!".

RENI SUSANTI/KOMPAS.com Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi mengatakan, museum ini selain berupaya untuk menggambarkan falsafah ibu dalam budaya sunda, juga bentuk dari kasih sayang dirinya pada ibunda yang telah tiada.
Ungkapan itu biasanya diucapkan seorang suami ketika istrinya mengalami masalah dalam persalinan atau berhenti mengedan. Suami mengucapkan sambil membawa segayung air, dan mengusapkannya ke ubun-ubun sang istri, rahim, sisanya dibawa melangkahi rahim lalu ke luar rumah sambil mengatakan “hayu geuwat tuturkeun bapa!”.

Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi mengatakan, museum ini selain berupaya untuk menggambarkan falsafah ibu dalam budaya sunda, juga bentuk dari kasih sayang dirinya pada ibunda yang telah tiada. Seluruh konsep dari bangunan ini, interior, makna, hingga lagu pengiring, berasal darinya.

"Lagu itu saya yang buat, tentang kasih sayang seorang ibu. Kerja keras seorang ibu mengasuh 9 anaknya hingga menja  di orang. Ibu, orang yang selalu saya rindukan dan saya puja," ujar Dedi.

Tak heran, tak jauh dari lukisan tersebut terdapat beberapa cerita tentang upacara yang biasa dilakukan selama hamil dan melahirkan, seperti tujuh bulanan. Ada pula penanggalan sunda yang dibuat unik seperti permainan.

Ruangan besar ini pun berisi beberapa permainan anak Sunda zaman dulu. Bentuknya berupa lukisan, foto, hingga beberapa bentuk fisik yang dimainkan, seperti congklak. Namun, ada pula beberapa jenis mainan yang hanya dipajang dan tidak boleh dimainkan.

Di sekeliling ruangan bagian atas terhampar lukisan hutan yang sangat indah. Seolah ingin menggambarkan bahwa Tanah Sunda identik dengan hutan dan alam yang harus dijaga. Lukisan ini pun membuat pengunjung seperti berada di tanah Sunda tempo dulu.

Tepat di tengah ruangan, terdapat dua buah leuit atau tempat orang Sunda menyimpan padi yang baru dipanennya. Tak jauh dari situ, terlihat lisung atauwadah menumbuk padi menjadi beras.

Pada zaman dulu, menumbuk padi menjadi beras dilakukan berbarengan. Suara yang dihasilkan saat menumbuk pada membentuk irama menyenangkan sehingga orang yang menumbuknya semangat dan tidak terasa lelah.

Melengkapi leuit dan lisung, terdapat patung mini berwarna putih yang menggambarkan upacara Seren Taun di Kampung Adat Ciptagelar Sukabumi. Seren taun ini merupakan upacara besar yang ditandai dengan ketua adat, Abah Ugi, memasukkan padi pertama hasil panen ke dalam leuit.

RENI SUSANTI/KOMPAS.com Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi mengatakan, museum ini selain berupaya untuk menggambarkan falsafah ibu dalam budaya sunda, juga bentuk dari kasih sayang dirinya pada ibunda yang telah tiada.
Makna rumah adat

Di ruangan lain, terdapat beberapa lukisan tentang arsitektur sunda. Pemandu wisata hari itu, Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi, lalu menjelaskan makna di balik bentuk rumah adat.

Dedi mengatakan arsitektur sunda, termasuk rumah, menggambarkan tritangtu atau keniscayaan daam hidup, yaitu pasti dan benar adanya. Konsep tritangtu itu salah satunya tergambar dari bagian rumah.

Ruang depan (tepas), ruang tengah (berisi beberapa kamar), dan ruang belakang (dapur dan goah-tempat penyimpanan padi). Ruang depan untuk menerima tamu.

Pemilik dan orang luar berinteraksi di sana. Siapapun boleh singgah hingga beradu gagasan di sana. Jika diibaratkan manusia, ruang depan ini adalah akal dan pikiran.

"Kita bebas berpendapat, menyampaikan gagasan, bertukar pikiran satu sama lain, tidak ada larangan," kata Dedi.

Ruang tengah terdiri dari beberapa kamar yang berarti ruang pribadi atau privasi yang tidak boleh diganggu siapapun. Ini ruang tertutup, dan itu identik dengan hati.

"Masalah keyakinan, agama, sikap hidup, ada di sini dan itu tertutup, tidak boleh dicampuri oleh siapapun," ujarnya.

Ketiga adalah ruang belakang, yakni dapur dan goah yang merupakan logistik pemilik rumah. Ruangan ini sangat luas.

Keluarga bisa bercengkrama di sini selain tentu untuk memasak. Di bagian ini orang luar juga tidak boleh mengetahuinya.

"Bagian ini seperti isi perut, tempat berkumpulnya makanan dan minuman yang akhirnya dibuang," ucapnya.

Itu menggambarkan, toilet harusnya berada di belakang rumah. Arsitektur sekarang yang menempatkan WC di masing-masing kamar, tidak tepat.

RENI SUSANTI/KONTRIBUTOR PURWAKARTA

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com