Kilas

Mengenal Baing Yusuf, Menyusuri Riwayat Islam di Purwakarta

Kompas.com - 01/06/2017, 00:24 WIB


PURWAKARTA, KOMPAS.com – Megah Masjid Baing Yusuf atau yang dulu dikenal dengan Masjid Agung Purwakarta jadi saksi bisu penyiaran Islam di Purwakarta. Dari namanya, asal-usul mengenai riwayat agama Islam bisa ditelusuri jejaknya.

Baing Yusuf yang memiliki nama asli RH Moch Yusuf, seorang tokoh penyebar agama Islam di era 1800-an bersemayam di sana. Makamnya ada tepat di belakang masjid.

Hampir setiap hari, makam itu dihadiri oleh banyak peziarah dari dalam dan luar kota. Terlebih lagi pada bulan puasa seperti ini, jumlahnya bisa mencapai ratusan.

Sesuai dengan informasi dari pengurus masjid, RH Sanusi AS mengatakan, Baing Yusuf berasal dari Bogor dan lahir pada 1700-an. Ia datang ke Purwakarta sekitar tahun 1820-an saat pusat pemerintahan Karawang berada di Wanayasa. Dahulu, ada kabar kalau Baing Yusuf disebut-sebut masih keturunan Raja Kerajaan Padjajaran.

"Sekitar 1826, Baing Yusuf mulai mendirikan masjid (saat ini mesjid agung) sebagai tempat syiar Islam. Saat itu, tempatnya (masih berupa) hutan karena pusat pemerintahan masih berada di Wanayasa," ujar Sanusi di kediamannya, Jalan Mr Kusumaatmaja Purwakarta, Rabu (31/5/2017).

Kata dia, ketika itu kondisi masyarakat masih sedikit yang memeluk agama Islam. Karena itu, Baing Yusuf mendirikan masjid sebagai tempat kajian Islam.

“Sejak kecil ia memiliki kecerdasan. Pada usia belia, ia sudah menguasai bahasa Arab. Lalu saat usia 12 tahun sudah mampu menghafal Al Quran. Ia juga belajar Islam di Makkah, Arab Saudi,” katanya lagi.

Meski hafal bahasa Arab, dikisahkan bahwa Baing Yusuf tetap melakukan syiar di Purwakarta dengan menggunakan bahasa Sunda sebagai identitas kultural masyarakat Jawa Barat. Hal itu tidak terlepas dari kondisi masyarakat yang belum sepenuhnya memahami bahasa Latin, Arab atau Jawa kuno.

"Beliau menyusun kitab fikih dan tasawuf dengan bahasa Sunda, meskipun tulisannya huruf arab. Kitab itu digunakan untuk memudahkan syiar Islam karena mayoritas masyarakat (di sini) berbahasa Sunda," tambahnya.

Memasuki tahun 1830-an, pusat pemerintahan dipindah dari Wanayasa ke Purwakarta—yang saat ini merupakan lokasi masjid agung. Perpindahan lokasi pusat pemerintahan pun membuat penyebaran Islam di Purwakarta mulai berkembang pesat.

"Saat pusat pemerintahan pindah, penyebaran Islam sudah berjalan. Masjid sudah berdiri," kata Sanusi.

Ia juga meriwayatkan bahwa ilmu Baing Yusuf bukan hanya dari Makkah semata. Kata dia, Baing Yusuf pun pernah mempelajari ilmu agama Islam kepada salah seorang alim ulama bernama Syekh Campaka Putih atau Pangeran Diponegoro.

“Muridnya banyak. Salah satunya adalah Syekh Nawawi Al Bantani, pengarang kitab asal Banten,” ujarnya.

Kini, ada komplek makam Syekh Baing Yuduf bersama para muridnya yang telah wafat.  Tempatnya berupa bangunan dan berada persis di depan masjid. Dulunya, kata Sanusi, itu adalah surau belajar mengajar ajaran Islam sekaligus tempat tinggal Baing Yusuf. (KONTRIBUTOR PURWAKARTA/IRWAN NUGRAHA)

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau