Kilas

Merindukan Patola, Kuliner Khas Banyuwangi

Kompas.com - 22/06/2017, 04:25 WIB

BANYUWANGI, KOMPAS.com - Ramadhan selalu memiliki kekhasan yang tak bisa dijumpai di waktu lainnya. Kebiasaan membangunkan orang untuk sahur hingga mudik ke kampung halaman jelang Idul Fitri misalnya. Bumi Blambangan juga memiliki kekhasan kuliner selama bulan suci ramadhan.

Patola adalah kue khas Banyuwangi yang selalu ada di bulan puasa. Bentuk makanan ini mirip mi yang ikal melingkar. Diameternya tak lebih dari ukuran telapak tangan orang dewasa. Kue berbahan dasar tepung beras ini umumnya diberi warna merah muda, hijau, dan putih.

Kue yang biasa dinikmati saat berbuka puasa itu disajikan dengan santan yang bercampur gula merah cair. Saat mengunyahnya, rasa manis gurih berpadu dengan kelembutan kue berbahan tepung beras.

Para pedagang telah menyiapkan santan bercampur gula merah cair dalam kemasan berbeda untuk pembeli yang hendak membawa pulang Patola. Kue dan kuah santan sengaja dipisah agar tidak terlalu lembek saat disajikan.

Tak ada catatan tertulis kapan Patola mulai menjadi makanan khas di Banyuwangi saat bulan ramadhan. Mahwah, seorang pembuat kue Patola asal Dusun Gumukrejo, Desa Gitik, Kecamatan Rogojampi, mengungkapkan dirinya membuat Patola sejak berusia 20 tahun. Perempuan itu kini sudah berusia 56 tahun. Artinya, Patola telah ada lebih dari 30 tahun lalu.

Mahwah sendiri belajar membuat kue Patola dari sang ibu yang juga seorang pembuat kue khas ramadhan itu. Tak hanya menurunkan resep kue, ibunya bahkan mewariskan alat pembuat kue pada Mahwah.

"Semua alat untuk membuat kue Patola saya dapat dari ibu. Masih terjaga dengan baik hingga kini," ujarnya.

Menurut dia, cara membuat kue Patola terbilang sederhana. Tepung beras yang merupakan bahan dasar kue dibuat adonan dengan campuran air. Adonan itu kemudian dimasukkan ke dalam cetakan khusus untuk bisa menghasilkan bentuk seperti mi.

Adonan yang sudah masuk ke dalam cetakan dengan jaring-jaring cukup ditekan hingga keluar dalam bentuk panjang seperti mi. Setelah itu, mi dari tepung beras itu dibentuk lingkaran sebesar telapak tangan atau lebih kecil.

"Kalau sudah dicetak, adonan lalu dimasukkan ke dalam dandang untuk dikukus hingga adonan benar-benar matang," tuturnya.

Setiap hari, Mahwah menghabiskan 7 kilogram tepung beras untuk membuat Patola. Kue-kue itu dikemas dalam plastik bening. Ia menjual sekantong Patola berukuran kecil seharga Rp 4000. Setiap kantong berisi 10 kue dilengkapi kuah santan. Kue-kue itu dibeli oleh para penjual yang nantinya menjajakan Patola di berbagai sudut kota Banyuwangi.

Sementara Mbok Kar, seorang penjual kue Patola yang biasa mangkal di depan kantor PLN Banyuwangi mengaku biasa berjualan hanya saat bulan puasa. Namun, Mbok Kar sekedar menjual kue yang dibuat orang lain.

Satu porsi yang dijualnya berisi dua buah kue Patola berukuran sebesar telapak tangan. Setiap kue dijual seharga Rp. 2500. Dalam sehari, ia bisa mendapat laba bersih sebesar Rp 50 ribu.

"Setiap bulan puasa, Saya selalu menjual kue Patola. Saya biasanya ambil kue dari orang, tidak membuat sendiri," katanya.

Randy, seorang pembeli kue Patola mengatakan dirinya terbiasa membeli kue itu selama bulan ramadhan. Rasa manis dan lembut kue Patola sangat cocok dinikmati sebagai hidangan pembuka. Sore itu, ia membawa istri dan anaknya untuk membeli kue Patola di warung Mbok Kar.

"Saya sering membeli kue Patola saat bulan puasa. Kalau berbuka puasa kan disarankan memakan makanan yang manis sebagai pembuka. Jadi kue Patola adalah salah satu pilihan yang tepat dan enak menurut saya," kata Randy.

Menjelang hari raya Idul Fitri, kue Patola masih dapat ditemukan di sejumlah penjaja di pinggir jalan maupun di warung yang menjual aneka jajanan untuk berbuka puasa. Seperti banyak hal yang hanya muncul saat bulan ramadhan, keberadaan kue Patola pun kini hanya tinggal menghitung hari untuk menghilang. Kue Patola akan muncul lagi di bulan ramadhan tahun depan.

Bagi pembeli seperti Randy, kue Patola hanya akan disukai keberadaannya pada bulan ramadhan. Randy dan pembeli lainnya tak khawatir jika Patola tak ada lagi ketika Idul Fitri tiba. Sementara bagi Mahwah dan Mbok Kar, berakhirnya bulan ramadhan berarti hilangnya sumber penghasilan mereka.

Mahwah pada hari biasa di luar bulan ramadhan tetap membuat kue tradisional Banyuwangi, selain Patola tentunya. Sedangkan Mbok Kar berjualan nasi pecel dan aneka minuman untuk bisa bertahan hidup. (KONTRIBUTOR BANYUWANGI/ FIRMAN ARIF)

 

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com