Advertorial

Awas! Perdagangan Anak Berkedok Adopsi

Kompas.com - 08/08/2017, 18:01 WIB

Wakil Ketua DPD RI Darmayanti Lubis akan berkoordinasi dengan jajaran Pemprov Sumatera Utara, Pemerintah Pusat, dan elemen yang terkait dengan Perlindungan Anak seperti Kementerian Pemberdayaan Perempuan & Perlindungan Anak, Kementerian Sosial, dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Hal ini terungkap ketika dikonfirmasi berkaitan dengan maraknya perdagangan manusia, khususnya pada anak-anak yang terjadi di Kabupaten Simalungun dan Asahan, Provinsi Sumatera Utara.

Wakil Ketua DPD RI meminta gugus tugas TPPO segera melakukan tindakan, baik terhadap penanganan kasus maupun pada aspek pencegahan. Ini merupakan bentuk komitmen Pemerintah dalam memerangi Perdagangan Manusia khususnya Anak.

Pengawasan terhadap dinas-dinas yang ada di Pemerintah Daerah sangat penting dilakukan, serta secara terus menerus dilakukan sosialisasi dan edukasi pada masyarakat. Terutama tentang ADOPSI ANAK dan UU Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

“Perdagangan Manusia menurut Undang-Undang RI Nomor 21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan,” tegas Darmayanti.

Kemudian, lanjutnya, pemalsuan, penipuan, dan penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan uang atau memberikan bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi juga termasuk.

Secara umum anak-anak dan perempuan merupakan pihak yang rentan menjadi korban trafficking dan eksploitasi. Mereka yang menjadi korban sebagian besar berasal dari kelompok masyarakat yang rentan.

Faktor-faktor penyebab terjadinya Perdagangan Anak (Child Trafficking) antara lain: Kurangnya Kesadaran dan konsep berpikir yang salah pada masyarakat, faktor kemiskinan yang telah memaksa banyak keluarga untuk merencanakan strategi penopang kehidupan mereka termasuk mempekerjakan anak-anaknya karena jeratan hutang, keinginan cepat kaya, dan faktor kebiasaan penduduk yang menjadi budaya.

Faktor-faktor budaya yang memberikan kontribusi terhadap terjadinya child trafficking antara: peran anak dalam keluarga, perkawinan dini, jeratan hutang, kurangnya pencatatan kelahiran, kurangnya pendidikan dan korupsi serta lemahnya penegakan hukum.

Darmayanti juga memaparkan bahwa maraknya kasus kekerasan terhadap anak dan perdagangan anak  akibat belum optimalnya upaya perlindungan anak. Kasus perdagangan anak juga cenderung mengalami peningkatan pada kurun waktu tiga tahun terakhir. Dari 410 kasus pada tahun 2010 meningkat menjadi 480 kasus di tahun 2011 dan menjadi 673 kasus pada tahun 2012.

Indonesia merupakan negara sumber, transit, dan tujuan dari perdagangan orang terhadap perempuan dan anak. Terutama untuk tujuan prostitusi dan ekspolitasi terhadap anak.

Fenomena perdagangan orang dewasa ini semakin beragam bentuk dan modusnya. Banyak pelacuran baik di area lokalisasi maupun di tempat-tempat pelacuran terselubung seperti di kafe, panti pijat, salon kecantikan plus-plus, hotel dan lain-lain mulai menjamur. Ini terjadi baik di kota besar maupun di pedesaan.

“Untuk mengatasi hal tersebut maka sebaiknya dilakukan upaya perlindungan terhadap korban trafficking anak namun banyak tantangannya. Untuk menuntaskannya, ini semua akibat kompleksitas permasalahan karena perdagangan manusia khususnya anak beirisan dengan berbagai aspek kehidupan” ujar Darmayanti.

Oleh karena itu, lanjur Darmayanti, diperlukan kesadaran dan peran serta seluruh masyarakat, penyelenggara negara dan aparat penegak hukum. Selama ini masalah trafficking dan eksploitasi anak hanya berfokus pada masalah yang sudah terjadi dan penyelesaian terhadap penanganan kasus. Sementara upaya pencegahan dan pemenuhan terhadap hak anak masih kurang.

Darmayanti berharap segala upaya pemerintah selama ini bisa dilanjutkan dan diimplementasikan secara optimal. Pemerintah sendiri telah melakukan beberapa hal terkait masalah ini.

Beberapa di antaranya: Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Anak (Kepres No 88/2002), Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO), Pembentukan Pusat Pelayanan Terpadu tentang tata cara dan mekanisme pelayanan terpadu bagi saksi atau korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (PP No 9 Tahun 2008), pembentukan Gugus Tugas PTPPO (PERPRES No 69 Tahun 2008), peraturan menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 10 Tahun 2012, dan peraturan menteri pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 11 Tahun 2012.

“Persoalannya adalah, ketersediaan regulasi tersebut belum diikuti dengan penegakan hukum yang sesuai dengan undang-undang, Selama ini aparat penegak hukum lebih banyak menggunakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) untuk menjerat pelaku perdagangan manusia yang jaringannya semakin menggurita, yang hukumannya sangat ringan dan tidak membuat efek jera bagi para pelaku,” jelas Darayanti.

Data Bareskrim POLRI yang berasal dari seluruh Polda di Indonesia pada tahun 2007-2013 mencatat bahwa ada 267 kasus perdagangan orang yang diproses sebanyak 137 kasus, P21 sebanyak 120 dan yang di SP3 sebanyak 10 kasus.

Sebagian kasus trafficking hanya 50 persen kasusnya yang diproses oleh jaksa penuntut umum (JPU).

Selain itu menurut Darmayanti, lemahnya penegakan hukum terhadap para pelaku tindak pidana perdagangan orang dikarenakan harus melibatkan banyak pihak seperti pihak kepolisian di lokasi korban ditemukan, proses Berita Acara Pemeriksaannya (BAP) memerlukan waktu yang cukup panjang dan rata-rata korbannya berpendidikan rendah, sehingga dalam pemeriksaannya harus berulang-ulang.

Banyaknya kasus trafficking yang belum tersentuh hukum juga karena keluarga korban tidak kooperatif dalam memberikan informasi mengenai pelaku. Bahkan mereka cenderung melindungi pelaku.

“Peran serta masyarakat sangat dibutuhkan baik secara kelembagaan maupun perseorangan yang dapat dimulai dari orang tua, guru, tokoh agama, tokoh masyarakat, pejabat pemerintah. Harus dilakukan bersama-sama untuk menyadarkan para pihak yang berpotensi terjadinya tindak pidana perdagangan orang,”tutupnya.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com