KOMPAS.com - Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi Jawa Barat, Netty Heryawan, mengajak publik untuk menghormati hak anak dalam pengungkapan kasus anak yang meninggal di sekolahnya di Kabupaten Sukabumi.
Menurut dia, penanganan anak yang berhadapan dengan hukum harus dipilih sebijak mungkin. Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) Nomor 11 tahun 2012 mesti diterapkan agar hak anak tetap diperhatikan.
Anak yang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Tujuannya, menghindarkan dan menjauhkan anak dari proses peradilan.
Dengan demikian, stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dapat dihindari dan anak diharapkan dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar.
"Inilah tindakan penanganan yang dilakukan P2TP2A dan Pemerintah Kabupaten Sukabumi. Sehingga, setiap masalah yang mengakibatkan masalah baru di kemudian hari bisa diantisipasi sejak dini," kata Netty sesuai rilis yang diterima Kompas.com pada Sabtu (12/8/2017).
Ia mengimbau masyarakat yang tidak tahu kasus itu secara detail agar tidak membentuk opini sendiri. Masyarakat juga tidak bisa menghakimi pelaku secara masif,sebelum mengetahui apa yang melatarbelakangi kejadian tersebut.
Menurut Netty, isu atau peristiwa yang viral di media sosial tentu akan membentuk opini publik. Ia sepakat bila semua pelanggaran hukum diproses berdasarkan peraturan yang berlaku.
"Tetapi tetap saja kita harus melihat bagaimana prinsip restorative justice yang ada dalam Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak, sehingga kita tahu bagaimana cara memperlakukan korban dan keluarganya serta pelaku yg masih usia anak sehingga persoalan ini tidak melebar," ujarnya.
Restorative justice adalah suatu pendekatan yang lebih menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri.
Ia mengaku prihatin atas peristiwa meninggalnya siswa kelas 2 SD yang diduga bertikai dengan teman sekelasnya di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Longkewang, Kecamatan Cicantayan, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat pada Selasa (8/8/2017) lalu.
Baca : Kronologo Kematian Siswa SD setelah Berkelahi dengan Temannya
Hingga kini, P2TP2A Provinsi Jawa Barat terus berkoordinasi dengan P2TP2A Kabupaten Sukabumi untuk mendapatkan kejelasan peristiwa tersebut.
"Sejak dua hari belakangan, kami terus berkomunikasi dengan P2TP2A Kabupaten Sukabumi dan alhamdulillah sudah ada informasi yang lebih jelas," katanya.
Sebelumnya, korban diberitakan meninggal di halaman sekolah usai bertikai dengan teman sekelasnya. Namun, pihak sekolah membantah hal tersebut. Korban disebut 'hanya' dilempar minuman beku dan mengenai telinganya.
"Ada hal-hal yang perlu diluruskan terkait peristiwa tersebut," ujarnya.
Berdasarkan temuan di lapangan, perkelahian antarsiswa satu dengan siswa lainnya memang terjadi. Namun hasil visum menyatakan, korban menderita kelainan pada pembuluh darah di otaknya sehingga terjadi pembekuan.
Kondisi itu mengakibatkan terhambatnya aliran oksigen ke otak dan korban jatuh pingsan saat kejadian terjadi. "Bukan karena pukulan, tonjokan, atau kekerasan lainnya," kata Netty.
Netty melanjutkan, "Mungkin karena kaget, korban lalu jatuh tidak sadarkan diri. Jadi, ketika korban jatuh dan pingsan, pelaku yang juga usia anak kelas 2 SD langsung lari panik mencari gurunya. Jadi ini gambaran wajar karena bukan dipojokkan atau adanya pengeroyokan," ujarnya.