KOMPAS.com - Terhitung sejak Cornelis Chastellen, seorang petinggi Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC), membeli tanah pada 18 Mei 1696, usia Kota Depok saat ini sudah 321 tahun. Saat Cornelis membeli tanah itu, masih berupa dusun kecil, berhutan dan penuh semak belukar.
Saat ini, diusianya yang sudah 300 tahun lebih itu, Depok menjadi kota satelit yang kian mengimbangi pesatnya laju pertumbuhan Jakarta.
Memang, sejak kemerdekaan Republik Indonesia, Depok yang bermula cuma sebuah kecamatan di lingkungan Kawedanan Parung, Bogor, itu terus berkembang.
Selain wilayahnya luas, penduduknya juga semakin padat. Depok lambat laun terus berkembang, terutama setelah Perumnas masuk dan membangun perumahan pada 1975.
Baca: Hunian Vertikal Murah di Kawasan Penyangga Jakarta
Nama kota ini juga makin bersinar setelah Universitas Indonesia (UI) dibangun di wilayah itu. Sampai akhirnya, pada 1981, Depok dibentuk menjadi Kota Administratif yang wilayahnya mencakup tiga kecamatan dan 17 desa.
Depok bahkan bisa disebut sejajar dengan para “tetangganya” yang masuk dalam lingkar Jabodetabek. Kota Depok pun menjadi penyangga bagi kota-kota yang masuk dalam lingkar itu, terutama DKI Jakarta.
Fenomena itu dengan mudahnya bisa dilihat di jantung utama Depok yakni Jalan Margonda Raya. Sangat susah mencari lahan kosong. Kemana pun mata memandang, gedung-gedung jangkung tinggi berdiri menjulang.
Pebisnis makin padat berjajar menempati hampir semua tempat, mulai ruko hingga sebidang tanah di tepian jalan raya demi berebut konsumen. Bisa dibayangkan, pebisnis skala kecil maupun besar mengais rejeki di Depok berkat kemajuan kotanya.
Selain dilewati alat transportasi publik paling cepat dan bebas macet, yaitu kereta api, perkembangan jalan tol terbaru membuat infrastruktur kota ini semakin mantap. Artinya, Depok semakin mandiri sebagai kota baru sejak lepas dari sebutan wilayah sepi yang kerap disebut "tempat jin buang anak."
Go international
Menarik pengalaman dari Kota Depok, setiap kota baru memang bisa melahirkan ide-ide baru, kepadatan baru, yang kemudian menciptakan pengembangan sektor-sektor ekonomi baru. Tahun ini, ide hadirnya kota baru juga digarap Lippo Group dalam proyek terbarunya yakni Meikarta di Cikarang.
Kota baru Meikarta merupakan inisiatif besar Lippo membangun apa yang mereka sebut sebagai Jakarta baru. Pembangunan kota mandiri dengan nilai investasi Rp 278 triliun ini memiliki konsep berbeda dibanding Lippo Karawaci maupun Lippo Cikarang yang sudah mereka bangun lebih dulu.
Bedanya, Cikarang bukan kota yang benar-benar baru seperti Depok. Kota yang terletak di timur Jakarta itu telah menjadi salah satu pusat industri nasional yang nilai ekspornya mampu bersaing dengan Batam. Bahkan, berpotensi “go international” seperti halnya Singapura.
Cikarang merupakan kawasan industri yang potensial mengingat ada sekitar 3.000 pabrik yang berasal dari 30 negara berlokasi di kawasan tersebut.
Kawasan tersebut mampu menyumbang sebesar 34,46 persen penanaman modal asing (PMA) nasional, serta 22-45 persen volume ekspor nasional pada tahun 2008 dengan omzet mencapai 35 miliar dollar AS dan 70 persen di antaranya untuk pasar ekspor.
Ujung-ujungnya, Cikarang menjadi kawasan potensial hunian bagi para pekerja sekaligus kawasan yang bernilai ekonomis.
“Nantinya, inilah yang kemudian disebut dengan trickle down effect yang besar dari properti untuk pengembangan kota baru. Ada manfaat untuk orang-orang sekitar, mulai dari yang menempati bisnisnya di ruko sampai pedagang warung atau sekadar tukang kopi keliling pun omzetnya akan naik setelah proyek Meikarta berjalan,” ujar Direktur Meikarta, Ketut Budi Wijaya, pertengahan September lalu.
Baca: Pembangunan Kota Baru dan Potensi Lapangan Kerja Baru
Lapangan kerja terbuka luas bagi masyarakat sekitar Meikarta. Potensi penyerapan tenaga kerja bahkan mencapai 60 ribu orang untuk kota baru itu.
“Kami ingin orang lokal yang bekerja, mulai dari low skill sampai high skill. Misalnya untuk petugas kebersihan, dan petugas di waste water management, perlu skill tinggi. Sekitar 50.000-60.000 pekerja sekarang, misalnya tukang bangunan, petugas kebersihan, keamanan, dan lainnya,” latanya.
Itu belum dihitung dengan rencana hadirnya perkantoran, rumah sakit, perguruan tinggi, restoran, tempat hiburan, wisata, dan lain-lainnya di kota baru ini.
Infrastruktur di sekitar Meikarta
Untuk mewujudkan lebih cepat dan lebih luas trickle down effect tersebut, saat ini, pemerintah tengah berencana membangun enam infrastruktur penting.
Berturut-turut adalah Patimban Deep Seaport yang nantinya akan membantu aktivitas ekspor dan impor di daerah tersebut. Lantaran merupakan pelabuhan dalam, kapal besar dapat langsung merapat dan tak lagi perlu melalui Pelabuhan Tanjung Priok.
Kedua, Kertajati International Airport. Keberadaan Kertajati ini tentu akan memudahkan lantaran pilihan bandara di kawasan tersebut menjadi lebih banyak.
Selanjutnya, kereta api cepat Jakarta-Bekasi-Cikarang-Bandung. Moda transportasi ini akan membuat lama perjalanan Jakarta-Bandung hanya 39 menit.
Infrastruktur keempat dan kelima adalah Light Rail Transport (LRT) Cawang-Bekasi Timur-Cikarang dan Automated People Mover (monorel).
Ada juga Jakarta-Cikampek Elevated Highway. Keenam infrastruktur tersebut diperkirakan akan selesai dibangun dua hingga tiga tahun mendatang.
Monorel akan mendukung Moda transportasi menjadi penyambung kawasan itu dengan daerah-daerah industri di Cikarang. Artinya, megaproyek Meikarta kelak menjadi harapan baru bagi Cikarang dan daerah sekitarnya.