Jakarta—Dewan Perwailan Rakyat (DPR) RI menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) disahkan menjadi Undang-Undang. Persetujuan diambil melalui Rapat Paripurna DPR RI. Rabu, 25 Oktober 2017. Sidang paripurna dipimpin oleh Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan (Fraksi PAN) didampingi oleh Ketua DPR Setya Novant, Wakil Ketua DPR Fadli Zon (Fraksi Partai Gerindra) dan Wakil Ketua DPR Agus Hermanto (Fraksi Partai Demokrat).
“Apakah RUU PPMI ini disetujui dan disahkan menjadi Undang-Undang?, ” kata Taufik yang lalu dijawab serentak anggota DPR yang hadir dalam rapat paripurna, "Setuju". Persetujuan tersebut mengahiri dinamika pembahasan RUU tersebut yang dibahas selama dua periode DPR.
Menteri Ketenagakerjaan M. Hanif Dakhiri yang hadir dalam rapat paripurna tersebut mengatakan, RUU ini lahir sebagai bagian dari upaya memperbaiki tata kelola migrasi dan pelindungan kepada pekerja migran Indonesia. “Semangatnya adalah memperbaiki tata kelola migrasi bagi pekerja migran yang jauh lebih baik,” ujarnya.
Pemerintah memiliki komitmen kuat meningkatkan kualitas perlindungan pekerja migran Indonesia. Komitmen tersebut selaras dengan keinginan dewan yang juga ingin memberikan perlindungan pekerja migran. "RUU ini sebagai bagian perjuangan atas kehadiran negara untuk perlindungan TKI. Semoga bermanfaat khususnya untuk TKI serta bangsa dan negara. Terima kasih kepada seluruh pihak yang telah berperan dalam proses pembahasan RUU ini hingga disahkan DPR”.
Ditambahkannya, RUU yang baru disahkan tersebut merupakan harmonisasi dengan UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, UU Nomor 6 Tahun 2012 tentang (Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya), dan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, serta aturan-aturan lain yang terkait.
RUU PPMI juga sebagai jawaban terhadap dinamika terkait perlindungan pekerja migran saat ini, serta sebagai penyempurnaan dari UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, yang sudah berlaku selama lebih kurang 13 tahun. Serta, merupakan bagian dari sistem ketenagakerjaan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dicontohkannya, RUU ini menempatkan pekerja migran Indonesia tak lagi sebagai obyek, namun sebagai subyek. Negara hanya memfasilitasi dengan pelayanan terintegrasi dan bersinergi dengan para pemangku kepentingan. “Upaya tersebut dimulai dari pemberian dan peningkatan kompetensi calon pekerja migran Indonesia sampai dengan pemberdayaan ekonomi dan sosial setelah bekerja bagi Pekerja Migran Indonesia dan keluarganya,” kata Menaker.
Menaker juga mengingatkan, tantangan ke depan terhadap tata kelola penempatan pekerja migran Indonesia adalah, harus lebih mengedepankan aspek pelindungan, mengingat proses dan pergerakan migrasi sangat dinamis. Karenanya diperlukan adanya pengaturan yang memberikan kepastian jaminan pelindungan dan pelayanan mulai dari sebelum bekerja, selama bekerja, maupun setelah bekerja. Upaya ini dilakukan untuk mencegah migrasi nonprosedural dan perdagangan orang.
Ketua komisi IX DPR yang membidangi masalah ketenagakerjaan, Dede Yusuf Efendi mengatakan, pengesahan RUU PPMI setelah melalui dinamika pembahasan panjang. Perdebatan dalam RUU PPMI yang telah dibahas selama dua periode, akhirnya selesai dan disepakati bersama.
"Setelah melalui pembahasan yang alot baik di tingkat timus, timsin, panja maupun di tingkat raker, RUU PPMI yang merupakan pengganti UU No.39 Tahun 2004 tentang RUU penempatan dan perlindungan tenaga kerja di luar negeri menjadi RUU PPMI. Hal itu disebabkan lebih dari 80 persen perubahan substansi, " kata Dede