“Mencintai Tanah Air Sepenuh Hati”, itulah motto hidup Drs. Eddie Lembong, Apt, pendiri pabrik obat terkemuka di Indonesia, PT Pharos Indonesia. Motto itu kemudian dijadikan judul biografinya, yang ditulis oleh sejarawan Bonnie Triyana pada tahun 2011. Kecintaan kepada ibu pertiwi itu diwujudkan Eddie hingga saat-saat terakhirnya.
Pada awal Oktober 2017, dalam keadaan sakit, ia memaksakan diri untuk sejenak hadir di Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) guna menandatangani MoU mengenai pembangunan karakter manusia. Ia telah berpulang pada hari Rabu, 1 November 2017 di RS. Grha Kedoya Jakarta.
Alumnus Institut Teknologi Bandung (ITB) jurusan Farmasi ini semula dikenal luas sebagai apoteker dan pengusaha farmasi. Pada 1971 ia mendirikan PT Pharos Indonesia, yang kemudian menjadi salah satu pabrik obat terkemuka. Setelah masa reformasi, Eddie lebih dikenal sebagai sosok yang peduli dengan masalah-masalah kebangsaan, khususnya yang terkait dengan etnis Tionghoa serta penguatan karakter bangsa.
Dilahirkan di desa Palasa, Tinombo, Gorontalo, 30 September 1936 silam dari pasangan Joseph dan Maria Lembong, Eddie beserta sembilan saudaranya dibesarkan dalam suasana kampung halaman yang multi etnis dan menjunjung tinggi kebhinekaan. Pendidikan awal dan menengah Eddie agak kacau, karena pengaruh perang dan pergantian penguasa. Namun dengan perjuangan keras, si “anak kampung” ini mampu berkuliah di ITB --salah satu perguruan tinggi terkemuka-- pada tahun 1957, hingga lulus pada Mei 1965.
Masa perkuliahan dengan rekan-rekan dari berbagai penjuru tanah air---yang diisinya dengan ikut aktif di dalam organisasi kemahasiswaan--- semakin meneguhkan sikap kebhinekaan serta memperkuat jiwa kepemimpinan dalam dirinya.
Aktivitas Eddie Lembong di bidang farmasi di masa Orde Baru—baik di bidang organisasi Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia maupun bisnis-- membuatnya menerima penghargaan. Salah satunya, FAPA Ishidate Award (1996), suatu penghargaan bergengsi di bidang farmasi internasional. Kiprahnya tersebut mendapat perhatian dari peneliti seperti Andew Macintyre, dalam bukunya Business and Politics in Indonesia (1991) dan William Muraskin, War Against Hepatitis B (1995).
Lahirnya era Reformasi dan ramainya partisipasi etnis Tionghoa ke dalam ranah organisasi, membuat Eddie Lembong semakin sibuk dengan urusan kemasyarakatan. Ia sempat sejenak menjadi wakil ketua Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) sebelum akhirnya menjadi salah satu pendiri dan Ketua Umum pertama Perhimpunan Indonesia-Tionghoa (INTI), yang dideklarasikan 10 April 1999. Pemilihan nama “Indonesia-Tionghoa” ini menunjukkan sikap politik Eddie dan rekan-rekannya, yang pertama-tama dengan tegas menyatakan bahwa mereka adalah orang Indonesia.
Dalam masa enam tahun memimpin INTI (1999-2005), Eddie berkeliling Indonesia dan menjalin kerja sama dengan berbagai instansi pemerintah, organisasi massa dan keagamaan, serta perguruan tinggi. Beberapa MoU telah ditandangani INTI dengan beberapa kampus, serta banyak kegiatan akademis yang telah dilakukan dalam bentuk seminar dan penerbitan buku.
Terkait internal INTI, Eddie mampu mendirikan 10 Pengurus Daerah dan 19 Pengurus Cabang INTI di seluruh penjuru tanah air. Kiprahnya di INTI membuat peneliti asal AS, Amy Freedman menyebut nama Eddie dalam bukunya, Political Participation and Ethnic Minorities (2000).
Eddie kemudian mendirikan Yayasan Nation Building (Nabil) yang lahir dengan awal yang sederhana pada tanggal 30 September 2006. Organisasi nirlaba tersebut memfokuskan kegiatannya pada dua hal. Pertama, memperkuat karakter bangsa. Untuk itu Nabil menawarkan gagasan “Penyerbukan Silang Antarbudaya” (Cross Cultural Fertilization).
Intinya, unsur-unsur budaya lokal yang berkualitas dan memiliki nilai dorong kemajuan dapat saling diserbuksilangkan. Di samping itu, kita juga harus terbuka untuk menyerbukkan budaya kita dengan budaya-budaya unggul yang berasal dari bangsa lain.
Tidaklah heran, harian Kompas 21 April 2012 pernah meliput sosok dan pemikiran Eddie Lembong selaku “pemilik hak cipta istilah ‘Penyerbukan Silang Antarbudaya’ ”. Diharapkan nantinya akan terbentuk Budaya Indonesia baru yang lebih harmonis, makin maju dan makin unggul, setara dengan bangsa-bangsa maju.
Pada Agustus 2015, Nabil menggelar seminar “Penguatan Ekonomi Nasional melalui Peningkatan Kualitas Manusia”. Acara yang membicarakan ekonomi, yang bukan berfokus pada angka-angka, melainkan pada kualitas sumber daya manusia ini dibuka dengan resmi oleh Mendikbud kala itu, yakni Anies Baswedan.
Fokus kedua Nabil terkait dengan golongan Tionghoa. Dalam istilah cendekiawan muda Dr Yudi Latif, Nabil berkomitmen untuk membawa komunitas Tionghoa dari pinggiran menuju ruang tengah kebangsaan Indonesia. Hendaknya di abad 21 ini sudah saatnya kita semua memahami bahwa etnik Tionghoa adalah bagian integral dari bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, Nabil menerbitkan beberapa buku mengenai kontribusi etnik Tionghoa bagi tanah air Indonesia, yakni Tionghoa dalam Keindonesiaan: Peran dan Kontribusi bagi Pembangunan Bangsa (3 jilid, 2016). Buku ini merupakan kompilasi 129 naskah hasil karya 73 ahli dari dalam dan luar negeri. Buku lainnya berjudul Tionghoa dalam Sejarah Kemiliteran: Sejak Nusantara sampai Indonesia (2014).
Di samping penerbitan buku-buku dan Majalah Nabil, seminar serta kegiatan akademis lainnya, pada 2007-2015 Nabil menggarap acara tahunan, Nabil Award. Acara ini telah memberi penghargaan kepada total 16 pemenang (15 individu dan 1 lembaga) dari lima negara.
Di antara mereka yang pernah menerima penghargaan itu adalah tokoh-tokoh bangsa seperti Prof Saparinah Sadli, Buya Syafii Maarif, Prof Siti Musdah Mulia dan Dr Yudi Latif. Di ranah nation building lainnya, Nabil sudah dua kali mengusulkan pahlawan nasional. Sosok pertama adalah Laksamana Muda TNI AL (Pur) John Lie, yang akhirnya diberikan gelar Pahlawan Nasional dan Bintang Mahaputera Adipradana (2009).
Sayang sekali, tokoh kedua, Abdul Rahman Baswedan, pejuang keturunan Arab, hanya berhasil mendapatkan bintang Mahaputera Adipradana (2013) saja. Pengusulan dua tokoh pejuang dari kalangan Tionghoa dan Arab –serta penulisan biografi mereka berdua oleh Yayasan Nabil--ini menggambarkan sikap politik Eddie Lembong yang hendak menyampaikan bahwa Indonesia dibangun oleh semua golongan.
Kontribusi Eddie Lembong lainnya adalah dalam soal penghapusan secara resmi istilah “Cina”-- yang dianggap merendahkan—menjadi “Tionghoa” oleh Presiden SBY pada 12 Maret 2014 melalui Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2014 tentang Pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Nomor SE-06/Pres.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967.
Isinya menyebutkan dalam semua kegiatan penyelenggaraan pemerintahan, penggunaan istilah orang dan atau komunitas Tjina/China/Cina diubah menjadi orang dan atau komunitas Tionghoa dan untuk penyebutan Negara Republik Rakyat China diubah menjadi Republik Rakyat Tiongkok. Semua kiprah Eddie rupanya diapresiasi juga oleh almamaternya.
Dalam rangka perayaaan ulang tahun ITB yang ke-94 pada Juli 2014, Eddie menerima “Penghargaan Ganesa Wirya Jasa Adiutama”, dengan pertimbangan “Drs Eddie Lembong, Apt telah menunjukkan jasa serta kontribusi kepada Institut Teknologi Bandung dan Institusi di Indonesia, sehingga dipandang memenuhi syarat untuk mendapatkan Penghargaan Ganesa Wirya Jasa Adiutama”.
Sejenak setelah lulus dari ITB, Eddie Lembong menikahi pujaannya Melly Saliman –dara kelahiran Pangkalpinang tahun 1937. Pasangan ini dikaruniai tiga putera, yakni Andre Arief, Raymond Budi dan Roy Rachmat Lembong, yang melanjutkan bisnis farmasi orang tua mereka.
Eddie Lembong jatuh sakit dan menderita gagal ginjal pada akhir 2010. Sejak itu hari-harinya dilalui dengan cuci darah sehari empat kali di bawah perawatan penuh kasih Melly. Namun sakit itu tidak memadamkan semangat Ketua Pendiri Nabil ini. Dalam beberapa acara, Eddie masih terlihat menyempatkan diri untuk hadir, walau sejenak.
Kini beliau sudah berpulang, dan jenazahnya disemayamkan di rumah duka Grand Heaven, Jl. Pluit Raya No. 191-193 Ruangan 109 - 111 dan akan dimakamkan di San Diego Hills, Cluster Serenity Mansion pada hari Minggu tanggal 5 November 2017. Untuk keterangan lebih lanjut, dapat menghubungi Uhir di nomor telepon 0852 1855 1045.
Sumber: Sekretariat Yayasan Nabil