Advertorial

Gubernur BI: Kebijakan Ekonomi Indonesia Harus Sesuai Prinsip Dasar Kebijakan Publik

Kompas.com - 29/11/2017, 13:09 WIB

Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardojo menginginkan kebijakan ekonomi Indonesia mengacu pada tiga prinsip dasar kebijakan publik, yakni berorientasi masa depan, berkesinambungan, dan berimbang. Menurutnya, tiga prinsip itu untuk menyikapi momentum pemulihan ekonomi global yang merata di negara maju maupun negara berkembang.

"Berimbang, ada tiga dimensi yakni keseimbangan kebijakan jangka panjang dan pendek, kuantitas dan kualitas pertumbuhan, serta pengembangan sektor konvensional dan modern," kata Agus saat memberikan sambutan akhir tahun pada Pertemuan Tahunan Bank Indonesia Tahun 2017 di Jakarta Convention Center, Selasa (28/11/2017). 

Agus menjelaskan BI menyusun strategi implementasi kebijakan yang fokus pada tiga elemen utama pertumbuhan ekonomi seperti penguatan modal fisik yang diwujudkan lewat pengembangan berbagai proyek infrastruktur di wilayah NKRI. Selain itu, penguatan modal manusia melalui peningkatan pendidikan sumber daya manusia agar bonus demografi dapat dimanfaatkan dengan optimal.

Peningkatan produktivitas kebijakan juga perlu dilakukan agar bisa melipatgandakan nilai tambah faktor produksi dengan berbagai langkah seperti menciptakan kepastian regulasi bisnis, pemberantasan korupsi, sampai penguatan inovasi. "Niscaya kita bisa menjadi negara berpendapatan tinggi," kata Agus.

Terkait kebijakan moneter tiga tahun terakhir, inflasi Indonesia selalu berada dalam titik aman. Selain itu sektor perbankan nasional terbilang sehat. Agus menegaskan arah kebijakan moneter BI adalah tetap untuk menjaga inflasi sesuai sasarannya sebesar 3,5 persen.

Selain itu, kebijakan moneter untuk mengendalikan defisit transaksi telah berjalan di level yang aman. Di tahun 2017, kata Agus, BI memperkirakan defisit transaksi berjalan lebih rendah dari 2 persen. BI juga akan memberikan ruang luas bagi perbankan untuk mengelola likuiditasnya melalui implementasi penguatan aturan giro wajib minimum rata-rata (GWM Averaging).

Dengan pengelolaan likuiditas yang lebih fleksibel diharapkan mendorong peningkatan kredit, suku bunga bank yang lebih rendah, dan kondisi pasar uang antar bank (PUAB) menjadi lebih likuid.

"Ke depan, sistem GWM Averaging Ini akan dikembangkan untuk bank syariah, tidak hanya bank konvensional. Secara bertahap, ketentuan ini akan diberlakukan untuk likuiditas valas juga tidak hanya rupiah," katanya.

Selain itu, BI juga akan selalu mengedepankan mekanisme pasar dalam pembentukan harga rupiah yang lebih efisien. Dalam pengelolaan nilai tukar, Agus menjelaskan bahwa BI memiliki misi besar dalam mengurangi ketergantungan pada mata uang tertentu. Hal itu untuk mengurangi pengaruh besar saat terjadi gejolak pada mata uang asing. "Sebagai bagian dari upaya ini, BI akan terus melakukan Swap Lindung Nilai untuk mata uang non USD," ujarnya.

BI turut perkuat pengelolaan risiko utang luar negeri. Kemudian, BI akan mendorong perbankan untuk meyediakan instrumen lindung nilai berupa produk derivatif, seperti call-spread options.

Menurut Agus, call-spread options memiliki biaya yang lebih murah. Tak hanya itu, kerjasama dengan berbagai instansi, yaitu Kementerian Keuangan dan OJK, turut dijalin dalam pembuatan cetak biru, penguatan regulasi, penguatan kelembagaan atau Central Clearing Counterparty untuk transaksi derivatif, dan pengembangan instrumen pembiayaan jangka pendek sesuai kebutuhan pasar.

"Sementara kondisi stabilisasi sistem keuangan tergolong baik, di sisi lain pembiayaan di pasar modal meningkat seiring dengan membaiknya peringkat Indonesia," katanya.

Kebijakan makroprudensial dan sistem pembayaran

Agus menjelaskan BI mengarahkan kebijakan makroprudensial melalui sejumlah langkah, seperti peningkatan resiliensi sistem keuangan di sisi likuiditas. BI akan mengeluarkan Macroprudential Liquidity Buffer.

Untuk peningkatan intermediasi, BI berencana mengeluarkan rasio intermediasi perbankan dan penyempurnaan LTV. Selain itu, BI juga berkomitmen untuk mendukung sektor unit usaha kecil dan menengah di kalangan masyarakat.

"Diselaraskan dengan mandat yang ada di BI yaitu pada stabilisasi harga melalui program klaster, kewirausahaan, dan penegasan kembali komitmen perbankan untuk penyediaan kredit umkm sebesar 20 persen," ujar Agus.

Terkait ekonomi syariah, BI berencana terus mengembangkan ekonomi syariah berdasarkan tiga pilar utama: penciptaan instrumen keuangan syariah, pemberdayaan ekonomi syariah, penguatan riset penilaian dan edukasi.

BI juga ingin menciptakan sistem pembayaran non tunai yang terjamin, efisien dan efektif untuk menghadapi perkembangan zaman dengan pembentukan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN). Keberadaan GPN diharapkan menjadi tulang punggung bagi kemajuan pemrosesan transaksi pembayaran ritel nasional.

Agus menjamin GPN terus dikembangkan secara bertahap untuk mengakomodasi berbagai transaksi non tunai seperti Electronic Billing and Invoicing Presentment and Payment (EBIPP), kartu kredit, e-commerce, payment hub, dan layanan pembayaran ritel lainnya.

Menghadapi era ekonomi digital, BI mendorong sinergi program elektronifikasi bersama pemerintah dalam tiga cakupan, yakni perluasan jumlah bantuan sosial non tunai dengan target Rp10 juta, mendorong elektronifikasi transaksi pemerintah baik di pusat maupun daerah, dan berusaha meningkatkan efisiensi di ruas jalan tol termasuk aspek kelembagaannya dan melihat lebih luas moda transportasi publik lainnya. 

BI juga melakukan penguatan regulasi teknologi finansial bekerjasama dengan instansi lainnya. Selain itu, akan diatur secara lebih eksplisit pula mengenai mata uang virtual atau digital seperti  bitcoin. 

"Kita juga melakukan penguatan peraturan Anti Money Laundering dan Anti Pendanaan Teroris dan pembawaan Uang Kertas Asing. Di sisi tunai, BI terus mendorong penggunaan uang tunai di seluruh wilayah NKRI. Wilayah Perbatasan akan tetap menjadi fokus BI," papar Agus.

Menurutnya, BI sudah membuka 72 kas titipan baru dan BI sudah masuk ke kecamatan dsn kelurahan melalui program BI jangkau. Di 2018, program ini akan diperluas lagi bekerjasama dengan TNI AL dan kepolisian serta pemda. Kebijakan tersebut akan kami selaraskan dengan pemangku kebijakan di pusat dan di daerah. 

Terkait birokrasi, Agus meminta para pemangku pemerintahan untuk mendorong substansi kebijakan jangka menengah dan panjang. BI memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini berada pada angka 5,1 persen. Sementara itu, inflasi tahun ini berada di kisaran 3-3,5 persen. Neraca transaksi berjalan diproyeksikan defisit di bawah dua persen.

"Tahun 2018, kami memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di rentang 5,1-5,5 persen. Inflasi berada sebesar 3-3,5 persen. Neraca transaksi berjalan, kami perkirakan defisit di bawah 3 persen dari Product Domestic Bruto," katanya.

Agus optimis pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga tahun 2022 diproyeksikan berada di angka 5,8-6,2 persen. Oleh karena itu, ia berharap agar seluruh pemangku kepentingan untuk bekerjasama dalam membawa Indonesia ke arah yang lebih baik.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com