Presiden Joko Widodo telah menentukan 245 program strategis nasional. Pembangunan infrastruktur merupakan salah satu bidang masuk ke dalam program ini. Menurut Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2015 – 2019, pembangunan infrastruktur membutuhkan dana setidaknya Rp 5.000 triliun. Sementara, pemerintah hanya memiliki dana maksimal 30 persen dari yang dibutuhkan.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Resiko Kementerian Keuangan, Robert Pakpahan menjelaskan, ada tiga sumber pembiayaan yang diupayakan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Selain dana dari APBN dan penambahan equity BUMN, ada satu sumber pembiayaan inovatif yang terus digenjot. Sumber itu berasal dari kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU) yang memungkinkan pihak swasta dan investor untuk berkontribusi dalam pembangunan infrastruktur.
“Dalam RPJM 2015 – 2019 yang dibuat oleh Bappenas, kira-kira (pembiayaan infrastruktur) yang menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah itu 41,3 persen, yang ditugaskan ke BUMN itu 22,2 persen, yang diharapkan dikerjasamakan dengan swasta itu 36 persen,” tutur Robert.
Pembiayaan inovatif ini menjawab kebutuhan dana akibat meningkatnya kebutuhan pembangunan infrastruktur di tengah terbatasnya dana pemerintah. Kedua belah pihak pun diuntungkan dengan kerja sama jangka panjang ini. Di antaranya karena adanya kesinambungan perencanaan, konstruksi, operasi, dan pemeliharaan, outline bisnis yang dikaji secara menyeluruh, pembagian resiko, serta mengatasi masalah pengadaan setiap tahunnya.
Investasi Infrastruktur dan Pertumbuhan Ekonomi
Pembangunan infrastruktur adalah salah satu cara untuk mewujudkan konektivitas dan pemerataan pertumbuhan ekonomi. Faktanya, masih ada ketimpangan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Berdasarkan data BPS, angka Pertumbuhan Domestik Bruto (PDB ) tahun 2014 di Pulau Jawa mencapai 57,4 persen, Sumatera 23 persen, sementara di pulau lainnya di bawah 10 persen.
Pertumbuhan ekonomi ini berkaitan erat dengan pertumbuhan industri. Sementara, pertumbuhan industri harus ditunjang dengan infrastruktur transportasi yang memadai. Keberadaan infrastruktur transportasi otomatis membuka akses distribusi barang dan jasa di setiap daerah dan akan meningkatkan taraf hidup masyarakatnya.
Deputi Bidang Sarana dan Prasarana Bappenas pun mengamini mekanisme penganggaran selain APBN dengan mendorong peran swasta.
“Perlu didorong peran swasta dan lembaga pengelolaan dana jangka panjang melalui skema Kerja Sama Pemerintah Badan Usaha/KPBU dan peran Pembiayaan Investasi Non Anggaran Pemerintah/PINA termasuk penggunaan SBSN (Surat Berharga Syariah Negara),” tuturnya.
Tingkat kepercayaan dunia untuk berinvestasi di Indonesia pun semakin membaik. Presiden Joko Widodo mengatakan inilah waktu yang tepat untuk berinvestasi di Indonesia. Kondisi ini juga diapresiasi oleh Bank Dunia.
“Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai hal untuk meningkatkan kualitas lingkungan bisnis untuk sektor swasta terutama 3 tahun terakhir ini,” ungkap World Bank Indonesia Country Director Rodrigo Chaves.
Kemenkeu dan Bappenas menyarankan skema ppembiayaan inovatif ini dilakukan berdasarkan tiga klasifikasi. Proyek yang tidak-feasible harus dikerjakan oleh kementerian yang bersangkutan. Sedangkan jika feasibility proyek tersebut berada di tengah-tengah, maka bisa dilakukan Public Service Obligation (PSO) antara pemerintah dan swasta. Sementara proyek yang feasible bisa dilakukan oleh swasta.
Bukan Jual Aset Negara
Terlepas dari inovasi pembiayaan yang bisa mempercepat pembangunan infrastruktur, masih terjadi salah kaprah. Salah satunya adalah bererdarnya isu penjualan aset properti Bandara Soekarno-Hatta di masyarakat.
“Saya ingin mengklarifikasi, Pemerintah khususnya Kemenhub ingin melakukan dan sudah melakukan kegiatan kerja sama operasi yang tidak ada unsur menjual aset negara, tapi hanya mengerjasamakan pelabuhan dan bandara dengan waktu dan kepentingan yang terbatas,” tegas Menhub Budi Karya Sumadi.
Kesempatan investasi yang diberikan kepada badan usaha dan swasta ini merupakan upaya untuk memecahkan persoalan keterbatasan dana APBN. Dengan skema ini, APBN dapat dialihkan untuk pembangunan proyek lain yang membutuhkan kehadiran negara. Pengelolaannya pun bisa dilakukan dengan lebih profesional.
Meskipun swasta yang membangun, mereka tetap harus menyetorkan kewajibannya sebagai pendapatan negara. Selain itu, perlu juga digarisbawahi bahwa pada akhir masa perjanjian/konsesi, aset yang telah dibangun mutlak akan menjadi milik pemerintah.