Advertorial

Mengantisipasi Dampak Kebijakan Moneter AS Bagi Perekonomian di Asia Tenggara

Kompas.com - 18/12/2017, 10:33 WIB

Saat ini ada dua negara yang memiliki pengaruh besar terhadap perekonomian dunia yaitu Amerika Serikat (AS) dan China. Keduanya adalah penyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar. Jika dikombinasikan, PDB kedua negara tersebut menyumbang sepertiga dari PDB global.

Dengan demikian, kebijakan ekonomi dan kondisi perekonomian yang dialami kedua negara tersebut juga memiliki pengaruh terhadap perekonomian negara-negara lain. Terutama negara dengan pasar yang baru berkembang seperti Indonesia.

Misalnya saja seperti yang terjadi saat ini. Pasca krisis 2008, perekonomian AS terlihat berangsur pulih. Di era pemerintahan Presiden Trump, kebijakan fiskal pun cenderung akomodatif.

Trump berencana untuk memotong pajak demi mendorong investasi dari swasta. Bank sentral AS, The Fed, seperti yang sudah diwacanakan sejak lama, juga akan menaikkan suku bunga acuannya. Langkah normalisasi suku bunga ini dilakukan bertahap seiring pemulihan ekonomi AS dan peningkatan nilai inflasi.

Dua kebijakan tersebut akan mendorong masuknya aliran dana. Nilai tukar dollar AS akan menguat. Sementara berbeda dengan AS, pertumbuhan ekonomi China kini tengah mengalami perlambatan.

Dampaknya permintaan komoditas menurun sehingga negara-negara yang orientasi ekspornya adalah komoditas, seperti Indonesia, akan sangat terpengaruh. Contohnya seperti yang terjadi pada 2014-2015 lalu.

Gundy Cahyadi, ekonom DBS Group Research mengungkapkan dalam laporanIndonesia in 2018/19: Higher Gear? Yang dirilis November lalu, bahwa normalisasi suku bunga AS dan pelemahan permintaan komoditas dari China akan berdampak terhadap ekonomi Indonesia dalam jangka panjang.

Oleh karena itu, DBS Group Research menilai, meski saat ini ekonomi Indonesia cukup kuat secara fundamental jika dibandingkan dengan negara berkembang lainnya, langkah antisipatif tetap diperlukan terhadap potensi terjadinya gejolak ekonomi.

DBS Group Research mengungkapkan bahwa Bank Indonesia (BI) sudah berhasil menjaga stabilitas moneter. Defisit neraca transaksi berjalan berada di bawah 2 persen terhadap PDB.

Prediksi ke depan, defisit diperkirakan akan berada di kisaran 1,7 persen tahun ini. Sementara pada 2018 dan 2019 mendatang, diperkirakan akan sedikit naik. Masing-masing 1,9 dan 2,1 persen. Kenaikan tersebut masih wajar karena jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan defisit di 2013 yang mencapai 3,2 persen.

BI kemungkinan akan mengakhiri tren penurunan suku bunga yang sudah terjadi sejak setahun terakhir. BI diprediksi akan mulai menaikkan suku bunga pada kuartal IV-2018, hingga ke level 5 persen pada pertengahan 2019. “Dalam dua tahun ke depan rupiah diperkirakan terdepresiasi ke Rp 14.200 per dollar AS,” kata Gundy Cahyadi.

Namun demikian, tantangan masih harus dihadapi oleh BI. Pemerintah ingin mendorong peningkatan investasi hingga 5,4 persen pada 2018 mendatang. Sementara, ruang untuk menambah stimulus fiskal sempit akibat pembatasan defisit anggaran maksimal 3 persen. Akhirnya penurunan suku bungan menjadi andalan untuk mendorong investasi swasta.

Menghadapi kebijakan moneter AS, tidak hanya Indonesia yang melakukan langkah antisipasi tetapi juga negara-negara lain di Asia Tenggara. Misalnya saja, Malaysia. Saat ini Bank Negara Malaysia (BNM) menjaga Overnight Policy Rate (OPR) di kisaran 3 persen. Malaysia akan memulai pengetatan kebijakan moneter untuk menekan laju inflasi yang diprediksi mencapai 3,3 persen pada 2018.

Sedangkan bank sentral Filipina terus melakukan pengetatan kebijakan moneter. DBS Group Research menilai bank sentral Filipina terkesan behind the curvedalam kebijakan moneter  untuk mengatasi risiko adanya overheating dalam perekonomiannya. Ini mengingat pertumbuhan investasi yang terus berada di level dua digit. 

https://auto2000.co.id/december-vaganza-beli-toyota-nggak-pusing/

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com