kabar ketenagakerjaan

Produktivitas Pekerja Indonesia Mencapai US $ 24,6 Ribu

Kompas.com - 08/03/2018, 09:05 WIB

Jakarta - Produktivitas tenaga kerja di Indonesia terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Namun, masih diperlukan berbagai inovasi agar produktivitas  Indonesia dapat berkembang lebih cepat dan masif.

 “Produktivitas tenaga kerja  Indonesia harus ditingkatkan  secara terus menerus, agar kita menjadi bangsa yang maju dan menang dalam persaingan era Industri 4,0,” kata Sesditjen Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas (Binalattas)  Kemnaker Kunjung Masehat saat membuka Conference and Workshop on Innovation Development di Jakarta pada Selasa (6/3).

Berdasarkan data dari Asian Productivity Organization (APO) mencatat, pada tahun 2015 produktivitas per pekerja Indonesia mencapai US$ 24,3 ribu. Angka ini dua kali lipat lebih tinggi dibanding produktivitas pada tahun 1990. Artinya, selama 25 tahun produktivitas Indonesia tumbuh 3,1 persen per tahun.

Sementara itu, berdasarkan data The Conference Board dalam Total Economy Database mencatat produktivitas per pekerja Indonesia pada tahun 2017 telah menembus US$ 24,6 ribu.

Sesditjen Binalattas Kunjung Masehat  mengatakan percepatan peningkatan produktivitas ini perlu dilakukan untuk mengejar ketertinggalan dari negara-negara lain.

"Selain kualitas sumber daya manusia, pemanfaatan teknologi, dan perbaikan manajemen, inovasi merupakan salah satu faktor paling penting untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing bangsa," katanya menambahkan.

Saat ini produktivitas per pekerja Indonesia berada pada urutan ke-11 dari 20 negara anggota APO. Sedangkan di tingkat ASEAN, produktivitas per pekerja Indonesia berada pada urutan ke-4.

Dari sisi daya saing, Indonesia berada pada posisi ke-36 diantara 137 negara. Adapun di tingkat ASEAN, Indonesia berada pada posisi ke-4 diantara 9 negara ASEAN yang tercatat dalam The Global Competitiveness Report 2017-2018.

Untuk itu, Kunjung mengajak seluruh elemen bangsa turut serta dalam mengembangkan inovasi untuk mendorong peningkatan produktivitas nasional. Menurutnya, banyak pemikiran atau konsepsi di tengah masyarakat yang dapat membantu pada tercapainya sustainable productivity dan sustainable development.

"Menjadi yang terbaik adalah penting, tetapi menjadi lebih baik dari sebelumnya, itu jauh lebih penting. Terus menerus memperbaiki, berinovasi untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya, itulah hakekat produktivitas," ujarnya.

Manfaatkan Keanggotaan APO

Dalam kesempatan ini Sesditjen Kunjung juga menyebut, Indonesia telah menjadi anggota APO sejak tahun 1962. Namun, ia menilai keanggotaan Indonesia tersebut belum dimaksimalkan dengan baik oleh seluruh elemen masyarakat.

Ada beberapa topik yang bisa digali dari APO untuk melakukan inovasi. Diantaranya industri, Service Area, agriculture, impairment, dan sebagainya.

Ia berharap, kementerian/badan, perguruan tinggi, dan unsur masyarakat dapat memanfaatkannya dengan baik. Sehingga dapat mengambil pengalaman dari negara-negara lain dalam mengembangkan produktivitas dan daya saing bangsa.

"Kita manfaatkan untuk dalam rangka sharing information yang mereka lakukan, pengalaman mereka di negara mereka dan juga pengalaman mereka menjadi penggerak di bidang yang akan kita kembangkan," ujarnya.

Selain itu, Indonesia memiliki tantangan pengangguran terbuka dengan prosentase 5,3 persen dari jumlah penduduk penduduk Indonesia. Hal ini bisa dimanfaatkan agar mereka bisa berinovasi dalam bidang inkubasi bisnis.

“Salah satu tantangan kita kan bagaimana agar mereka bisa terlibat dalam inovasi dan pengembangan inkubasi bisnis supaya mereka bisa meng-create pekerjaan, bukan mencari pekerjaan,” katanya menjelaskan.

Acara Conference and Workshop on Innovation Development yang berlangsung selama 2 hari (6-7 Maret)  ini merupakan hasil kerja sama Ditjen Binalattas Kemnaker dengan APO dan Direktorat Inovasi dan Inkubasi Bisnis (DIIB) Universitas Indonesia.

Adapun, dua narasumber yang dilibatkan dalam acara ini adalah Deputy Secretary General of The National Science Technology and Innovation Policy Office, Ministry of Science and Technology of Thailand, Akkharawit Kanjana-opas, Ph.D., dan Former Director of Gyeonggi Center for Creative Economy and Innovation (GCCEI) Republic of Korea, David Sehyeon Baek.

Baca tentang
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau