KOMPAS.com - Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementerian Pertanian (Kementan) Kuntoro Boga Andri menyampaikan catatannya berkenaan dengan kinerja Kementan menjelang empat tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Kinerja Kementan telah menunjukkan dampak yang signifikan terkait peningkatan produksi. Secara bertahap, program kebijakan pemerintah di sektor pertanian mulai menunjukan hasil. Program kebijakan pangan yang dijalankan Kementan berdampak pada peningkatan produksi pangan dan berpengaruh pada peningkatan kinerja ekspor.
Kenaikan volume dan nilai ekspor
Sementara, pada 2017, angkanya naik menjadi 41,26 juta ton. Nilainya 33,05 miliar dollar AS. Catatan ini menunjukkan volume dan nilai ekspor tahun 2017 masing-masing naik 16,25 persen dan 23,66 persen.
Hasilnya pun, volume dan nilai neraca perdagangan sektor pertanian tahun 2016-2017 surplus. Yakni masing-masing 97,06 persen dan 45,85 persen.
Beberapa komoditas pangan yang berkontribusi besar meningkatkan neraca perdagangan kita adalah beras, bawang merah, dan jagung. Selain itu, komoditas pertanian yang sangat signifikan kenaikannya juga komoditas buah nanas, salak, daging ayam, telur unggas, kelapa, kelapa sawit, kopi, kakao, karet, pala, dan teh.
Pada 2017, volume ekspor beras 4.323 ton, bawang merah 7.751 ton, jagung 47.000 ton, nanas 210.026 ton, salak 966 ton, daging ayam 312 ton, telur unggas 386 ton, kelapa 1,88 juta ton, kelapa sawit 33,52 juta ton, kopi 467.799 ton, kakao 354.880ton, karet 2,99 juta ton, pala 19.943 ton, dan teh 54.195 ton.
Sementara pada 2016 ekspor beras hanya 2.538 ton, bawang merah 736 ton, dan jagung hanya 41.875 ton. Kemudian, ekspor nanas hanya 138.400 ton, salak 938 ton, daging ayam 16 ton, telur unggas 303 ton, kelapa 1,56 juta ton, kelapa sawit 28,49 juta ton, kopi 414.651 ton, kakao 330.029 ton, karet 2,57 juta ton, pala 15.842 ton, dan teh 51.319 ton.
Kinerja ekspor ini patut diacungi jempol. Pasalnya, angkanya melebihi nilai hasil industri pengolahan yang hanya 13,14 persen dibanding 2016. Dengan begitu, sudah barang tentu, kinerja ekspor pangan ini dipastikan menjadi salah satu variabel utama dalam menyumbang pertumbuhan ekonomi nasional.
Optimalisasi
Selanjutnya dalam tempo tiga bulan, Agustus hingga Oktober 2017, Mentan Amran mengekspor bawang merah sampai empat kali. Pertama, ekspor bawang merah dari Brebes, Jawa Tengah sebanyak 500 ton dari target 5.600 ton ke Thailand. Kedua, ekspor dari Surabaya, Jawa Timur sebanyak 247,5 ton ke Singapura. Ketiga, ekspor di Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Motamasin, Malaka, NTT ke Timor Leste sebanyak 30 ton dari target 200 ton. Terakhir, ekspor sebanyak 45 ton dari rencana 180 ton dari Enrekang, Sulawesi Selatan ke Vietnam.
Bukan hanya itu, Badan Karantina Kementan mencatat, bahwa ekspor bawang merah dari pintu pengeluaran di Cirebon, Jabar, per 29 Juli hingga 11 Oktober 2017 mencapai 1.151 ton dengan tujuan Thailand, Malaysia, Vietnam, dan Singapura. Sedangkan dari pintu keluar Tanjung Perak Surabaya, Jatim, sebanyak 1.731 ton dengan tujuan Malaysia, Thailand, Singapura, dan Vietnam.
Kinerja gemilang ekspor pangan ini semakin menguatkan bahwa kebijakan pertanian pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla benar-benar sebagai lokomotif pengejewantahan Nawacita. Mengapa demikian?. Pertama, telah mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Kedua, telah membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.
Menjaga keberhasilan
Akan tetapi, yang perlu disadari dan benar-benar untuk menguatkan kinerja ekspor pangan berkelanjutan, pemerintah perlu serius dalam optimalisasi potensi pertanian di wilayah perbatasan dan program pemanfaatan lahan tidur dan lahan rawa. Pemerintah pusat, daerah, BUMN dan swasta harus bersinergi agar pemanfaatan lahan untuk pangan dapat diwujudkan.
Selain dari pada itu, pemerintah juga harus benar-benar memberikan jaminan pasar untuk petani. Berkaca pada kondisi yang sering terjadi dan berulang setiap tahun yakni disparitas harga yang tinggi antara petani dan pasar, serta harga yang diterima petani anjlok ketika panen. Solusinya adalah merevitalisasi peran Bulog agar kembali menjadi penyangga kebijakan pangan kita.
Dengan demikian, tidak berstatus perusahaan umum atau di bawah naungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Bulog harus menjadi badan pangan yang berdiri sendiri, yang tidak mencari keuntungan satu rupiah pun. Tidak seperti saat ini, dimana Bulog yang merupakan BUMN, diwajibkan untuk mencari keuntungan (profit).
Tidak kalah pentingnya, negara perlu mendorong tumbuhnya enterprenur dan inovator muda di bidang pertanian. Targetnya, generasi muda berebut akan melanjutkan kegiatan di sektor ini dan menjadi petani sukses.
Upaya dan langkah-langkah yang telah diuraikan diatas, tentu tidak hanya menjadi tanggungjawab pemerintah semata, namun menjadi tanggungjawab seluruh pihak termasuk swasta dan pemerintah daerah. Sinergitas dan kolaborasi yang baik antara semua pemangku kepentingan, akan menjadi kunci dalam menghadapi tantangan dan peluang ekspor pangan kedepan dan memaksimalkan berbagai potensi sektor pertanian.