Kilas

Revolusi Mental di Balik Tanaman Sorgum

Kompas.com - 06/08/2018, 17:09 WIB

JAKARTA,  KOMPAS.com – “Kita tidak bisa menunggu orang lain merubah diri kita tetapi perubahan harus kita mulai dari diri sendiri sehingga Indonesia dapat menjadi negara yang terdepan.”

Begitulah semangat revolusi mental yang muncul dari Maria Loretha, seorang penggagas, pembenih dan juga pendamping petani penanam sorgum asal Pulau Adonara Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Tidak semua orang mengenal sorgum. Komoditas ini nyaris terlupakan, namun dengan tangan dingin Mama Loretha, Sorgum berkembang dari komoditas yang tidak dipandang menjadi komoditas terpandang, setidaknya di provinsi NTT.

Sebagai seorang perempuan yang berkutat dengan pemberdayaan sorgum, revolusi mental dapat terjadi ketika orang mau beralih dari nasi menjadi sorgum dan kemudian sorgum berkembang menjadi makanan pokok.

Baca juga: ELPAF Siap Bantu Petani Pasarkan Sorgum

“Saya sering mendengar dari teman-teman yang berasal dari Eropa. Mereka bahkan telah menjadikan sorgum sebagai makanan pokok dan dengan beralih ke sorgum maka menurut saya inilah revolusi mental,” ujarnya

Ia pun menjadi salah satu nara sumber dalam acara Curah Pendapat Implementasi Revolusi Mental yang diselenggarakan oleh Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) di Grand Mercure Hotel Jakarta, Jumat (3/8/2018).

Lahan sorgum saat ini berkembang menjadi sumber pangan dan sekaligus sebagai sumber pendapatan ekonomi bagi masyarakat.

“Lahan-lahan tidur yang selama ini tidak diberdayakan, sekarang berkembang menjadi lahan produktif dan menjadi sumber kesejahteraan bagi masyarakat” ungkap Mama Loretha antusias.

Pengembangan sorgum dan kearifan lokal

Jatuh-bangun mengembangkan sorgum sudah dirasakan oleh Mama Loretha. Bahkan saking kuatnya komitmennya dalam mengembangkan sorgum, mata dan telingnya sudah kebal akan komentar negatif.

“Saya tidak peduli dengan berbagai pendapat orang dan mata, telinga, bahkan mental saya sudah sekeras tembok,” ujarnya.

Mama Loretha tidak ambil pusing atas minimnya biaya bahkan dirinya menegaskan ada maupun tidak ada uang, pengembangan sorgum yang dilakukannya harus tetap berjalan.

Nilai gotong royong yang selalu menjadi pegangan Mama Loretha dalam aktivitasnya mengembangkan tanaman sorgum.

Baca juga: Kementan Akui Program Diversifikasi Pangan Masih Sebatas Kampanye

“Tanpa adanya gotong royong, sulit untuk dapat mengembangkan sorgum hingga dapat berkontribusi positif pada masyarakat,” kata dia

Nilai gotong royong ini tidak lepas dari sebuah kearifan lokal yang ada di Flores Timur yaitu “gemohin.”

“Gemohin menggambarkan kerja gotong royong yang dilakukan oleh masyarakat seperti membersihkan kebun, memilih hasil komoditi, atau memperbaiki rumah bersama-sama. Nah, ini kita tumbuhkan dalam bentuk kelompok-kelompok untuk memudahkan pekerjaan mereka di ladang maupun kebun. Nilai-nilai itulah yang kita tumbuhkan” ujarnya.

Perubahan

Mama Loretha kemudian memaparkan bahwa revolusi mental memiliki sebuah kata kunci yang penting, yakni perubahan.

Ketika seseorang memiliki komitmen untuk berubah menjadi lebih baik dan bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungannya, maka revolusi mental sesungguhnya telah terjadi.

“Sebagai contoh ketika seorang birokrat mau berubah dan memberikan layanan yang cepat dan mudah, maka inilah sesungguhnya perubahan yang diharapkan, tidak saja berdampak di internal tempat kerja birokrat tersebut, tetapi juga dapat dirasakan oleh masyarakat,” ujar Mama Loretha.

Mama Loretha ingin agar revolusi mental dapat mengakar pada diri seluruh masyarakat Indonesia sehingga nantinya Indonesia dapat menjadi negara maju dan terpandang di dunia.

“Mari mulai dari diri sendiri. Karena revolusi mental tidak bisa menunggu lama. Mulai dari sekarang, dari hal yang paling kecil, dan sekarang juga,” kata dia.

Baca tentang
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau