KOMPAS.com – Deputi Pemenuhan Hak dan Perlindungan Anak Marwan Syaukani mengajak pemerintah dan masyarakat agar lebih memperhatikan hak penyandang disabilitas.
Marwan mengatakan itu dalam "Rapat Koordinasi dari Solo untuk Indonesia Menuju Masyarakat Inklusi Melalui Pendidikan Inklusi Transisi" yang dilaksanakan di Hotel Alila, Solo, Rabu (26/9/2018).
Dalam paparannya, Marwan mengatakan, perhatian terhadap anak berkebutuhan khusus (ABK) di Indonesia masih rendah. Berdasarkan data tahun 2016 jumlah anak penyandang disabilitas mencapai 12,5 persen.
Dari jumlah itu, sebesar 10,8 persen masih bisa dididik, tetapi 1,7 persen lainnya tidak bisa dilatih atau dididik. Hal inilah yang kemudian menjadi perhatian pemerintah.
Untuk itu, rapat koordinasi ini merupakan upaya pemenuhan hak pendidikan bagi ABK dan anak penyandang disabilitas yang masih menemui berbagai masalah, seperti penolakan di sekolah umum maupun sekolah inklusi.
Ada banyak faktor yang melatarbelakangi penolakan ABK dan anak penyandang disabilitas. Diantaranya adalah tenaga kependidikan yang belum ramah anak, kurangnya guru pendamping, biaya penyediaan guru pendamping yang mahal, rentannya perundungan bagi anak penyandang disabilitas dan masih banyak lagi.
Kondisi itu tentu memprihatikan. Padahal hak-hak anak penyandang disabilitas telah dilindungi oleh UU 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, UU No. 35 Tahun 2014, UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, prinsip SDG’s “No One will be left Behind.”
Karena pelaksanaan pemenuhan hak-hak ini menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah. Maka kini, pemerintah didorong untuk bisa menciptakan masyarakat inklusi yang tidak saling membedakan, mampu menerima berbagai bentuk keberagaman dan perbedaan, serta menunjang mereka menjadi masyarakat yang mandiri.
“Inilah kenapa kita harus memperhatikan teman-teman disabilitas ini bahwa mereka juga mempunyai hak. Saat ini concern pemerintah adalah bagaimana ketika keluarganya sudah tiada. Pemerintah pusat dan daerah serta masyarakat termasuk LSM harus bekerjasama supaya mendorong mereka mandiri,” ucap Marwan dalam rilis yang diterima Kompas.com, Kamis (27/9/2018).
Untuk itu, menurut dia, pola pikir masyarakat terhadap anak penyandang disabilitas harus diubah. Ini sebab mereka berhak mendapat pendidikan, kesehatan dan segala kebutuhan lainnya.
Adapun pemilihan kota Solo sebagai pelaksana rapat koordinasi karena kota ini telah memiliki Pusat Layanan Autis (PLA) yang diresmikan Wali Kota Surakarta, F.X Hadi Rudyatmo pada 2014. Di gedung PLA ini terdapat alat terapi bagi anak berkebutuhan khusus dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Sesuai fungsinya, PLA sendiri bertujuan untuk memberikan dukungan layanan dalam perspektif pendidikan untuk anak autis, hiperaktif, dan ABK lainnya. Sasaran utama layanan ini kepada penyandang autism yang merupakan warga kurang mampu dengan anak berusia 1,5 tahun hingga 18 tahun.
Sementara itu, perwakilan Dirjen Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus Pendidikan Dasar dan Menengah, Baharuddin yang hadir dalam rakor mengatakan, pemerintah pusat pada 2018 melaksanakan program untuk mendukung kaum disabilitas.
Salah satu programnya adalah melakukan sosialisasi dan memberikan bantuan langsung kepada sekolah-sekolah inklusi yang harapannya dapat melakukan pelatihan kepada guru-guru non ABK.
Turut hadir dalam rakor ini Wakil Wali kota Surakarta Achmad Purnomo, Kepala Pusat Layanan Autis Hasto Daryanto, dan beberapa perwakilan dari Kementerian Agama, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Kementerian Ketenagakerjaan.