Advertorial

Perbanyak Hutan Kota untuk Jaga Keseimbangan Lingkungan

Kompas.com - 09/12/2018, 18:13 WIB

Pemerintah Kota Surabaya terus berupaya mencegah banjir dan menjaga keseimbangan ekosistem lingkungan. Salah satu langkah yang dilakukan adalah terus memperbanyak hutan kota di berbagai wilayah di Surabaya.

Dalam kurun waktu Januari-Desember 2018, sudah ada beberapa hutan kota baru yang bermunculan di Surabaya. Setiap hutan kota itu, biasanya ditanami ribuan tanaman dan juga buah-buahan yang nantinya bisa dipetik dan dinikmati oleh warga sekitar. Bahkan, hutan kota itu juga dilengkapi waduk atau embung yang fungsinya untuk menampung air.

Yang terbaru, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini meresmikan hutan kota di Kelurahan Warugunung, Kecamatan Karang Pilang, Surabaya, Jumat (23/11/2018). Saat itu, sebanyak seribu pohon yang terdiri dari berbagai jenis ditanam di lokasi, diantaranya pohon matoa, jambu air, sawo, mangga dan cemara udang.

Pembuatan hutan kota itu disesuaikan dengan kondisi wilayah yang ada di Surabaya. Khusus di Warugunung, fungsinya untuk menekan banjir dan polusi udara. Selain itu, pembuatan hutan kota di daerah itu juga diharapkan mampu meminimalisir dampak patahan aktif yang dapat menyebabkan terjadinya gempa. Dengan adanya hutan kota tersebut, membuat struktur tanah menjadi lebih kuat.

“Saya percaya dengan treatment membuat hutan kota, maka akan ada perbaikan struktur tanah di situ. Nanti air hujan akan masuk ke tanah, sehingga air itu akan mempengaruhi struktur tanah supaya lebih kuat,” kata Risma.

Selain di Warugurung, sebelumnya Risma juga meresmikan hutan kota di Jalan Lempung Perdana, Kelurahan Lontar, Kecamatan Sambikerep, Surabaya. Saat itu, Risma didampingi Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Joestamadji, serta para pelajar menanam sekitar 200 pohon di hutan kota yang terletak di samping SMPN 47 Surabaya itu. Selanjutnya, penanaman pohon itu dilakukan bertahap hingga mencapai empat ribu pohon.

-- -

Adapun fungsi hutan kota di Lontar itu untuk mengendalikan banjir. Daerah Lontar merupakan salah satu kawasan tertinggi di Kota Surabaya, sehingga pohon-pohon itu diharapkan dapat menyerap air hujan. Dengan demikian, kawasan yang ada di bawahnya bisa lebih mudah dikendalikan.

Sementara itu, Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Surabaya, Joestamadji mengatakan, hutan kota itu sudah diatur dalam Perda 15 tahun 2014 tentang hutan kota. Bahkan, dalam perda itu diatur tentang target luasan hutan kota di Surabaya, yakni sebesar 10 persen atau 3.500 hektar dari total luas wilayah Surabaya di kisaran 35 ribu hektare. Luasan itu harus bisa direalisasikan selambat-lambatnya 10 tahun setelah perda itu disahkan. “Saat ini, kami sudah berkoordinasi dengan dinas pengelolaan bangunan dan tanah (DPBT) terkait pengadaan lahan baru untuk hutan kota,” katanya.

Menurut Joestamadji, saat ini hutan kota yang sudah dimiliki Surabaya tersebar di sejumlah wilayah di Surabaya, seperti di Pakal dengan luar 13 hektare, Balas Klumprik seluas 4,3 hektare, dan kawasan Pamurbaya seluas 500 hektare. Semua hutan kota itu pasti ada waduknya untuk mengendalikan air. “Jadi siklus hidrologinya terpenuhi. Hujan turun di pohon, turun pelan-pelan masuk ke waduk terjadi penguapan, turun lagi siklusnya jadi hujan, tapi tetap kita punya air tanah,” imbuhnya.

Ia menambahkan, ada perbedaan antara hutan kota dan taman kota. Jika taman, umumnya mayoritas tanaman berupa bunga-bunga atau tumbuhan dengan jenis relatif berukuran kecil. Sedangkan kalau hutan kota, tanamannya fokus pada jenis yang lebih besar, keras, dan rindang. “Fungsi tanaman ini untuk menjaga keseimbangan lingkungan sehingga dapat meminimalisir banjir dan juga untuk memproduksi oksigen,” pungkasnya.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau