Advertorial

Mandiri Jogja Marathon, Sebuah Ajakan Pulang ke Kotamu

Kompas.com - 08/05/2019, 10:59 WIB

Dunia pariwisata tak lagi mengandalkan obyek wisata alam, wisata budaya dan wisata rohani. Dewasa dunia telah mengalami pergeseran cara pandang yang "konservatif" menuju konsep pariwisata modern yang berbasis event seperti   sport tourism.

Turisme Olaharga

Dikutip dari artikel penulis di Harian Pos Kupang (16/05/2016), menyebut sport tourism atau turisme olahraga merupakan  aktivitas wisatawan yang berkaitan dengan kegiatan atau event olahraga tertentu. Sport tourism meliputi sport event tourism (turisme event olahraga), active sport tourism (turisme olahraga aktif), dan nostalgia sport tourism (turisme olahraga nostalgia).

Di level internasional, sport event tourism seperti olimpiade dan Piala Dunia, MotorGP, dan Formula One.  Di Indonesia telah banyak diselenggarakan sport tourism seperti Tour de Singkarak, Tour de Langkawi dan Tour de Flores. Ketiganya adalah olahraga balap sepeda berskala internasional. Maka dengan demikian Mandiri JogjaMarathon masuk dalam tema sport tourism.

Event Strategis

Mandiri Jogja Marathon merupakan event strategis dalam rangka mempromosikan pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang sejak dulu sudah dikenal dengan pariwisata budaya dan sejarahnya. Keberadaan event olahraga ini melengkapi kesempurnaan pariwisata DIY. Tema pariwisata DIY menjadi lebih bervariatif.

Gaung event ini pasti luas selain dipublikasi secara luas dan masif yang akan mendatangkan animo dan partisipasi masyarakat dan pelaku ekonomi. Kegiatan ini akan berdampak  baik secara langsung maupun tidak langsung.

Dampak langsung, para atlet dari berbagai negara akan berdatangan ke Jogja. Dari aspek ekonomi, tentu permintaan hunian meningkat dan para atlet menghabiskan sejumlah uang selama kegiatan berlangsung.

Dampak tak langsung, untuk jangka panjang, event ini akan diminati wisatawan yang pada dasarnya tidak memiliki minat dunia atletik. Mereka akan datang dan merasakan atmosfir event olahraga tersebut. Bukan tak mungkin sebagian besar akan menjadikan sebagai agenda tahunan untuk mengunjungi Yogya.

Keistimewaan Jogja

Jogja adalah salah satu kota dan masyarakat yang masih sangat kuat budaya. Kekeratoan masih dipertahankan. Sultan masih kuat pengaruhnya dan pendapatnya selalu didengar rakyat Jogja.

Langgengnya  Kekeraton Jogja menjadikan Jogja sebagai Daerah Istimewa. Keistimewaan Jogja adalah gubernur dan wakil gubernur berasal dari kekeratonan -- tidak melalui proses Pilkada, salah satunya.

Jogja, Rumah Kedua

Bagi penulis, Jogja adalah rumah kedua. Penulis mengawali dengan mengikuti Bimbingan Belajar sebagai langkah persiapan menghadapi Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Gagal UMPTN di Universitas Gadjah Mada, penulis masuk Diploma III di sebuah perguruan tinggi swasta. Tiga tahun tepat tamat Diploma, kemudian melanjutkan studi ke jenjang S1 pada perguruan tinggi yang sama.

Kedatangan saya ke Jogja pada tahun 1995. Suasana Jogja waktu itu masih tampak ndeso. Pengertian ndeso menurut penulis, suasana Jogja masih tampak dengan kekhasannya. Kota kecil tetapi bernuansa pedesaan. Alamnya asri. Kita masih dengan mudah menghirup hawa segar di persawahan pinggir kota. Kita masih melihat para petani yang bekerja di sawah pada pagi hari. Kita masih melihat mbak-mbak dengan bakul dagangan.

Kita belum menjumpai banyak hotel bintang tiga dan bintang lima seperti sekarang ini. Pusat perbelanjaan masih terpusat (mall-mall) di Malioboro. Bus, sepeda ontel dan becak masih menjadi transportasi andalan. Kendaraan roda dua masih terbilang langkah. Di kalangan mahasiswa, kendaraan jenis ini hanya dimiliki oleh anak-anak berada. Jika sampai ada mahasiswa yang membawa mobil ke kampus dipastikan mahasiswa tersebut berasal dari kalangan keluarga borjuis.

Jogja Dalam Arus Perubahan

Keistimewaan Jogja dalam beberapa aspek masih dipelihara. Namun, kita tak dapat memungkiri bahwa arus modernisasi deras menerjang Jogjakarta. Kemajuan pembangunan fisik sangat masif. Hotel-hotel berbintang bermunculan hampir di setiap sudut kota. Sepeda ontel semakin jarang terlihat. Becak tergantikan oleh becak motor, sepeda motor dan mobil yang berjejal di jalanan. Andong, transportasi tradisional nyaris tak kelihatan kecuali di kawasan khusus Malioboro. Warung-warung makan yang menjajakan makanan secara prasmanan mungkin hampir tidak ada. Harga makanan tentu tak semurah dulu. Sepiring nasi dan lauk telur ayam hanya dengan harga tujuh ratus rupiah. Banyak macam perubahan lain yang tak kita bisa jumpai seperti yang penulis rasakan dan alami selama delapan tahun di sana.

Pada awal kedatangan penulis, Jogja menampilkan dua sisi yang berbeda. Satu sisi sebagai kota, sisi lain Jogja masih menampakan wajah ndeso. Area persawahan masih kita jumpai tak jauh dari pusat kota seperti di daerah Sidikan, tak jauh dari kampus Universitas Taman Siswa atau kawasan di belakang Hotel Ambarukmo kala itu.

Selokan Mataram merupakan tempat yang sepi dan menyeramkan bila malam tiba. Jalur ini jarang dilintasi pengendara. Hawa sepanjang selokan ini sejuk. Karena jalannya sepi, orang lebih memilih lewat jalur ini selain pada malam hari. Tapi, kini semua telah berubah. Delapan tahun di sana menjadi tak berarti apa-apa bila penulis kembali ke sana. Tempat-tempat yang bisa penulis akrabi telah berubah penampakannya kecuali tempat-tempat yang menjadi icon kota Jogjakarta seperti Malioboro dan Kantor Pos.

Sebuah Ajakan Pulang

Dari aspek olahraga, Mandiri Jogja Marathon adalah event olahraga. Dari sisi pariwisata, event ini pula dipandang sebagai sport tourism. Tetapi, dalam perspektif penulis, event ini merupakan ajakan "pulang kota kekotamu" (meminjam syair lagu Katon Bagaskara).

Jogja telah menjadi perjumpaan orang-orang dari seluruh pelosok negeri ini. Tak terkira banyak pula orang-orang dari berbagai bangsa. Mereka tersebar di berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta baik swasta maupun negeri. Memiliki satu tujuan, mengenyam pendidikan di bawah langit budaya Ngayogyakarta.

Mereka memiliki segudang pengalaman, kisah dan nostalgia dengan kota yang diakrabinya bertahun-tahun. Kenangan pahit, pula manis yang dituai. Apapun kenangan itu tak pernah mati dalam benak dan terbawa terus kemanapun. Jogja tetaplah menjadi tempat "yang berhati nyaman" seperti mottonya.

Keterbukaan Jogja terhadap dunia luar selain sebagai kota pariwisata berbasis budaya juga kota pelajar yang telah dikenal sepanjang sejarah perjalanan bangsa ini. Memiliki budaya adiluhung yang tinggi, Jogja menjelma menjadi kota yang ramah bagi semua orang. Tak berlebihan  Jogja pantas dijuluki sebagai "Indonesia mini".

Entah berapa banyak anak-anak bangsa yang telah melewati pendidikan tinggi di Jogja. Mereka tersebar di seluruh penjuru dunia. Mereka telah bekerja di berbagai bidang kehidupan. Tentu saja memori tentang Jogja sangat kuat tertanam di benaknya. Kerinduan pulang ke Jogja pasti tersimpan di hatinya dan pada waktunya menyeruak. Kerinduan akan Jogja seperti yang tertuang dalam syair-syair lagu Katon Bagaskara ini.

Pulang ke kotamu

Ada setangkup haru dalam rindu

Masih seperti dulu

Tiap sudut menyapaku bersahabat, penuh selaksa makna

Terhanyut aku akan nostalgi

Saat kita sering luangkan waktu

Nikmati bersama

Suasana Jogja

 

Di persimpangan langkahku terhenti

Ramai kaki lima

Menjajakan sajian khas berselera

Orang duduk bersila

Musisi jalanan mulai beraksi

Seiring laraku kehilanganmu

Merintih sendiri

Ditelan deru kotamu ...

 

Walau kini kau t'lah tiada tak kembali

Namun kotamu hadirkan senyummu abadi

Ijinkanlah aku untuk s'lalu pulang lagi

Bila hati mulai sepi tanpa terobati

Kerinduan itu selalu menghinggapi di semua hati orang yang pernah mengalami kehidupan di sana. Mereka yang pernah kuliah di sana. Mereka yang pernah bekerja di sana. Jogja selalu di hati dan memori tentangnya begitu kuat. Sekuat hasratku untuk pulang ke kota Jogja meskipun dalam sekejap.

Event Mandiri Jogja Marathon ini menjadi ajakan bagi anak-anak negeri yang pernah "menyusui" ilmu di bawah langit kota budaya ini. Momentum mereka untuk bernostalgia dan melakukan napak tilas Jogja tempoe doeloe yang mungkin masih tersisa. Mandiri Jogja Marathon tak sekedar olahraga biasa pula tak sekedar Sport Tourism. Mandiri Jogja Marathon adalah sebuah ajakan pulang untuk mengenang masa-masa  berjibaku dengan ilmu di sana. Melewati lorong yang telah berubah wajah pada ruang waktu yang berbeda. 

Mandiri Jogja Marathon adalah sebuah napak tilas bagi mereka yang pernah mengalami keistimewaan dan keramahan kota dan warga Jogjakarta. Apakah itu masih terpatri di sana? Ya, datanglah pada event Mandiri Jogja Marathon. Telusuri setiap sudut kotamu. ***

Baca tentang
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com