Advertorial

Normalisasi, Langkah Ditjen Perhubungan Darat Tertibkan Truk Over Dimensi

Kompas.com - 26/08/2019, 09:47 WIB

Masih ingatkah Anda dengan peristiwa kecelakaan maut yang terjadi di Bumiayu, Brebes, pada 2018 lalu? Truk pengangkut gula kehilangan kendali ketika melalui jalan menurun akibat kelebihan muatan. Selain itu, masih ada juga kejadian truk pengangkut sepeda motor yang terguling di Tol Semarang karena dimensinya berlebih.

Mengutip dari artikel "Pola Pikir Keselamatan Pengemudi Truk di Jalan" yang ditayangkan di Kompas.com, Selasa (19/3/2019), Data Asosiasi Perusahaan Truk Indonesia (APTRINDO) menunjukkan bahwa 70 persen kecelakaan di jalan melibatkan truk. Selain kurangnya perawatan kendaraan, kelebihan dimensi dan muatan turut menjadi penyebabnya.

Selain menyebabkan kecelakaan, truk dengan dimensi dan muatan berlebih pun turut menyumbang kerugian materi dalam bentuk kerusakan jalan. Menurut data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) setiap tahun negara mengalami kerugian Rp 43 miliar akibat truk dengan kondisi tersebut.

Penanganan truk dengan dimensi dan muatan berlebih, atau disebut Over Dimention Over Loading (ODOL), menjadi sebuah urgensi. Oleh sebab itu, Kementerian Perhubungan RI pun mencanangkan visi Zero ODOL di tahun 2020.

Demi mendukung perwujudannya, Direktorat Jendral (Ditjen) Perhubungan Darat, melalui Direktorat Sarana Transportasi Jalan menggalakkan kebijakan normalisasi. Khususnya untuk kendaraan angkut yang kelebihan dimensi.

Direktur Sarana Transportasi Darat Sigit Irfansyah mengatakan kebijakan ini telah dimulai sejak satu tahun lalu, tepatnya pada 1 Agustus 2018. Dengan adanya kebijakan ini truk pengangkut barang dengan dimensi yang tidak sesuai SKRB dan SRUT-nya tidak dapat lagi melenggang bebas di jalan.

“Sebenarnya penyebab over dimensi ini mungkin terkait dengan hukum ekonomi. Banyak perusahaan transporter ingin dapat menawarkan tarif paling murah untuk pengangkutan barang. Akhirnya agar bisa memuat lebih banyak, truknya dimodifikasi. Sementara mereka tidak tahu regulasinya, begitu juga dengan pemilik barangnya. Maka itu kita sekarang kampanyekan,” ujar Sigit ketika ditemui dalam kesempatan wawancara pada Rabu, (7/8/2019) lalu.

Adapun pelanggaran terkait over dimensi yang sering terjadi adalah menambah tinggi, lebar, dan panjang bak pengangkut barang atau menggeser axle kendaraan. Tujuannya agar dapat mengangkut lebih banyak barang meskipun tidak sesuai dengan kapasitas aslinya.

Kasubdit Uji Tipe Kendaraan Bermotor Direktorat Sarana Transportasi Jalan, Dewanto Purnacandra mengatakan, pada dasarnya mekanisme normalisasi adalah mengembalikan bentuk kendaraan seperti aslinya, dalam arti sesuai dengan SKRB (Surat Keputusan Rancang Bangun) yang diterbitkan saat kendaraan diproduksi.

“Mungkin dulu sewaktu beli di karoseri sudah sesuai, tetapi diubah sendiri di bengkel-bengkel, menambah panjang atau tinggi bak dan sebagainya. Sejak dicanangkan operasi normalisasi ini artinya kendaraan harus kembali ke spesifikasi awal,” ujarnya.

Petugas akan memberi tanda yang menunjukkan dimensi yang seharusnya dimiliki sesuai dengan SKRB kendaraan. Perusahaan transporter pemilik kendaraan angkutan kemudian akan dihubungi dan diminta menyesuaikan kembali dimensi kendaraan sesuai dengan anjuran petugas tersebut.

Agar dapat kembali beroperasi, Dewanto Purnacandra mengatakan, usai dinormalisasi kendaraan angkutan barang harus kembali mengurus SRUT baru. Ini karena kendaraan angkutan barang menurut undang-undang yang berlaku termasuk kendaraan bermotor yang wajib uji berkala.

“Setelah normalisasi harus buat SRUT lagi, karena agar bisa beroperasi lagi kendaraan angkutan barang yang termasuk kendaraan bermotor wajib uji harus melalui uji KIR. Harus melalui uji KIR pertama lagi seperti kendaraan baru dan kemudian selanjutnya enam bulan sekali. Penguji tidak akan bisa melakukan pengujian jika tidak ada SRUT,” ujar Dewanto.

Untuk memonitor bahwa kendaraan yang sudah dinormalisasi tidak dimodifikasi kembali sehingga over dimensi, Dewanto mengatakan saat uji KIR enam bulanan, isi SRUT dan buku uji akan kembali diperiksa.

Petugas akan memberi tanda yang menunjukkan dimensi yang seharusnya dimiliki sesuai dengan SKRB kendaraan Petugas akan memberi tanda yang menunjukkan dimensi yang seharusnya dimiliki sesuai dengan SKRB kendaraan

Namun, saat ini masih ada terdapat kendala dalam pelaksanaan normalisasi. Kendala tersebut terkait dengan ketersediaan SKRB dan SRUT kendaraan yang valid. Banyak ditemui kendaraan yang over dimensi dan butuh normalisasi merupakan kendaraan lama.

Keberadaan SKRB dan SRUT-nya tidak jelas. Sementara untuk menelusuri di mana kendaraan tersebut dibeli dan di perusahaan karoseri mana kendaraan dibuat, tidaklah mudah. Sebagai solusi, SKRB kendaraan sejenis digunakan sebagai panduan.

Saat ini, Direktorat Sarana Transportasi Jalan Ditjen Perhubungan Darat juga tengah menggodok Peraturan Dirjen mengenai rancang bangun normalisasi. “Kalau karoseri-karoseri mesti bikin SKRB sendiri akan kena biaya cukup mahal. Jadi kami inisiatif untuk membuat SKRB pemerintah untuk BPTD. Sedang kita godok mudah-mudahan 1-2 minggu lagi selesai,” kata Direktur Sarana Transportasi Darat Sigit Irfansyah.

Dilakukan dengan sosialisasi dan asistensi

Direktur Sarana Transportasi Jalan Sigit Irfansyah mengatakan bahwa normalisasi over dimensi dilakukan tanpa paksaan. Implementasi normalisasi lebih mengedepankan diskusi dan asistensi dengan pemilik kendaraan angkut barang.

“Kami menghindari enforcement karena dengan adanya desakan maka tidak akan berhasil. Setelah tertangkap ODOL, mereka kami beri waktu mengatur kapan akan melakukan normalisasi agar tidak menggangu operasional kerja mereka,” ujar Sigit.

Pihak Ditjen Perhubungan Darat juga terus menggelar bimbingan teknis untuk perusahaan-perusahaan karoseri. Selain itu, dialog yang mempertemukan antara pemilik barang, perusahaan APM yang menjual kendaraan dan pengusaha transporter.

“Kita undang supaya ada pembicaraan, agar APM jual kendaraan sesuai kebutuhan transporter. Kebanyakan transporter juga salah beli kendaraan, dipikir satu kendaraan bisa untuk macam-macam ternyata tidak bisa. Kita pertemukan semua pihak biar ada kontrol dari APM dan perusahaan transporter investasinya juga tidak salah,” lanjut Sigit.

Mengingat pelanggaran ODOL terkait erat dengan tarif angkut barang, selanjutnya Ditjen Perhubungan Darat pun akan berupaya berdialog mengenai hal tersebut. “Logika bisnisnya tarif, biaya operasional, harus disesuaikan lagi dengan jumlah muatan. Tanpa itu susah berhasil,” kata Sigit.

Ditanggapi positif

Normalisasi over dimensi mendapat tanggapan yang cukup positif dari perusahaan-perusahaan, baik pemilik barang, maupun sejumlah perusahaan transporter. Program normalisasi yang sudah cukup sukses dilakukan dengan menggandeng perusahaan pengangkut sepeda motor. Saat ini pihak produsen sepeda motor telah menekankan kepada perusahaan pengangkut untuk memiliki kendaraan yang sesuai regulasi.

Beberapa perusahaan transporter di Riau juga menunjukkan tanggapan positif dengan secara sukarela menormalisasi kendaraan angkutnya. “Kalau dibilang efeknya belum berasa, tentu belum, karena kita baru mulai, we just start,” tutup Sigit.

Saat ini, Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub sedang menyusun masterplan Jembatan Timbang 2019-2021 agar sampai dengan tahun 2021, semua permasalahan terkait ODOL dapat selesai. Sebanyak 73 jembatan timbang yang dikelola Kemenhub, kini tidak hanya menimbang berat kendaraan saja, namun juga telah dilengkapi dengan alat pengukur dimensi kendaraan. Tahun 2019 ini, ada 13 jembatan timbang yang akan dijadikan proyek percontohan.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com