Advertorial

Jejak Pertumbuhan Ekonomi dan Sosial China di Usia Ke-70

Kompas.com - 18/11/2019, 22:32 WIB

China, di usia ke-70 menjulang dengan karakteristik asertif dan berwawasan terbuka. Hal ini dimanifestasikan dalam mega proyek Inisiatif Sabuk dan Jalan atau Belt and Road Initiative (BRI). 

Usai sudah era Taoguangyanghui, prinsip yang dipegang Deng Xiaoping dan penerusnya dalam mengelola relasi China dengan dunia luar. Pada masa itu China memutuskan tidak menonjolkan diri dan menjaga jarak yang sehat dari politik internasional. 

Banyak faktor yang mendorong munculnya karakter China yang lebih asertif dan berwawasan terbuka. Kepercayaan diri yang disebabkan oleh majunya di berbagai bidang, keberhasilan mengelola ekses kapasitas produksi, mengkonsolidasi posisi strategis di kawasan, dan lainnya. 

Namun, yang paling utama adalah kepentingan penguasa saat ini untuk menciptakan lingkungan eksternal yang kondusif bagi keberlanjutan laju ekonomi China.   

Prestasi prima selama tujuh dekade 

Sepanjang sejarah modern China, tujuan pertumbuhan ekonomi menempati posisi dominan dalam tata kelola negara berpenduduk 1,4 miliar jiwa ini. Semua kebijakan dirancang untuk menopang tujuan tersebut. Proses selama tujuh dekade yang dilalui China menghasilkan sejumlah prestasi. 

GDP tahun 2018 mencapai 13,61 triliun dollar AS. Meningkat jika dibandingkan dengan GDP di 1952 yang hanya 30 miliar dollar AS. Jumlah warga miskin tahun 1978 sebesar 770 juta jiwa, kini 16,6 juta. Pada 1978 ekonomi China menduduki peringkat 11, kini menjadi terbesar kedua dunia. Cadangan devisa pada 1952 hanya 108 juta dollar AS, kini melebihi 3 triliun dollar AS. 

Investasi keluar pada 1982 sebesar 40 juta dollar AS, kini 135 miliar dollar AS, menduduki peringkat kedua dunia. Kontribusi China terhadap pertumbuhan global sepanjang 1961- 1978 hanya 1,1 persen, kini 28,1 persen. Angka turis China ke luar negeri pada 1995 sekitar 5 juta dengan pengeluaran 3,7 miliar dollar AS, kini 149,72 juta turis berpelesir dengan pengeluaran 257,7 miliar dollar AS. 

Lompatan kinerja pembangunan infrastruktur juga terjadi sejak akhir 1940 hingga kini. Jalur kereta api meningkat 5 kali lipat menjadi 131.000 kilometer, jalan tol 59 kali lipat menjadi 4,85 juta kilometer, transportasi laut naik 72,7 persen, dan udara 734 kali lipat. Jumlah kota termodernisasi bertambah dari 132 kota menjadi 672 kota. 

Sektor teknologi dan digital pun mencengangkan. China telah mengirim astronot ke angkasa dan memelopori program ke Mars. Ekonomi digital, teknologi 5G, kecerdasan buatan, teknologi hijau dan energi terbarukan, kloning hewan, kereta cepat, dan inovasi lain merupakan contoh sektor-sektor di mana China telah berada di garis terdepan bersama negara-negara maju. 

Problem pelik hantu korupsi 

Prestasi di atas juga diiring begitu banyak masalah dan kompleksitas. Tantangan terpelik yang dihadapi China adalah korupsi. 

Survei persepsi masyarakat dalam Buku Biru Kemasyarakatan yang setiap tahun disusun oleh Akademi Ilmu Sosial China (CASS) mencatat peningkatan sentimen masyarakat terhadap korupsi. Dari peringkat 5 besar,  menjadi 20 besar. Sentimen serupa terbaca juga di sejumlah survei media sosial oleh sejumlah perusahan media online terbesar seperti Sina, Tencent, dan Baidu. 

Kemarahan terhadap korupsi juga menjadi salah satu alasan di balik meningkatnya konflik sosial di China. Jumlahnya terus bertambah dari 8.700 insiden sosial berupa demonstrasi, petisi, pemogokan, konflik vertikal, dan horizontal di tahun 1993, menjadi lebih kurang 172.000 insiden di 2014. 

Presiden Xi Jinping menyadari bahwa korupsi mengancam legitimasi partai sebagai rezim penguasa dan segera memulai perburuan “lalat dan harimau” setelah pelantikannya. 

Menurut Komisi Pusat untuk Inspeksi Disiplin (KPID) atau zhongyang jiwei, hingga 2017, lebih dari 2,7 juta pejabat terjaring, sekitar 1,5 juta orang dihukum, 58,000 terpidana. Pada daftar tersebut terdapat sekitar 120 “harimau” yaitu pejabat tinggi sipil, BUMN, dan militer. 

Kasus paling besar yang pernah terungkap adalah keterlibatan Zhou Yongkang, orang terkuat nomor tiga di lembaga paling berkuasa di China yaitu Komite Tetap Politbiro, serta Xu Caihou, salah satu pejabat militer tertinggi di Komisi Militer Pusat.

Nilai aset sitaannya pun fantastis. Aset sitaan dari Zhou Yongkang dan anteknya dilaporkan lebih dari 14,5 miliar dollar AS. Pada 2017, Xinhua melaporkan pemerintah menyita aset koruptor yang kabur keluar negeri sejumlah 1,48 miliar dollar AS dan 102,5 juta dollar AS dari otoritas daerah. Aset bernilai 519 miliar dollar AS dilaporkan disita di tahun 2018. 

Grafik penanganan kasus korupsi di China Grafik penanganan kasus korupsi di China

Lalu mengapa Indeks Persepsi Korupsi China masih fluktuatif? Seberapa besar pun jumlah “lalat” dan “harimau” yang terjaring tidaklah cukup jika pemerintah tidak menemukan penyelesaian problem sistemik dalam sistem tata kelola pemerintahan. 

Lembaga sakti anti korupsi China 

Maret 2018, Kongres Nasional Rakyat mengamandemen konstitusi untuk membentuk sebuah suprabodi anti korupsi, Komisi Pengawas Nasional (KPN) atau Guojia jianwei. KPN mengambil alih fungsi tiga lembaga yang ada  yaitu Kementerian Pengawasan, Biro Nasional Pencegahan Korupsi,  dan sejumlah departemen khusus di bawah Kejaksaan Agung Rakyat. 

Lembaga ini memiliki otoritas yang lebih sakti untuk melakukan penyidikan dan penahanan tersangka. jangkauannya pun tidak lagi terbatas pada pegawai pemerintah, tapi juga anggota ke-sembilan partai, kongres nasional, dan kongres konsultatif politik rakyat. Selain itu dirinya sendiri, pengadilan dan kejaksaan, BUMN, federasi industri dan dagang, serta mereka di organisasi yang mengelola urusan publik. 

Namun, relasi KPN dengan partai penguasa menuai kritik. Meski hukum yang ada belum membahas hubungan KPN dan KPID secara eksplisit, dari kacamata politik, KPID lebih kuat. KPID dikepalai oleh Zhao Leji, salah satu anggota “7 Dewa” Komite Tetap Politbiro, sedangkan KPN dikepalai Yang Xiaodu, anggota Politbiro dan Wakil Kepala KPID. 

Masih terlalu dini untuk menghakimi efektifitas KPN. Namun, yang jelas, banyak yang dipertaruhkan di sini, mulai dari pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, stabilitas sosial politik, hingga citra kepemimpinan China di mata dunia. 

Hantu korupsi menggentayangi BRI 

Pada usianya yang ke-6, BRI terus bertumbu dinamis. Menurut Bank Dunia, kucuran dana untuk pembangunan infrastruktur di lebih dari 80 negara mencapai 575 miliar dollar AS. Morgan Stanley memprediksi investasi akan mencapai 1.3 triliun dolar AS di 2027. 

Masifnya skala BRI ini, suka atau tidak, tak jarang bertautan dengan praktek kotor korupsi di berbagai negara. Satu contoh adalah kasus proyek 1MDB dan mantan Perdana Menteri Malaysia, Najib Razak. 

Gerakan anti korupsi di China memang masih berorientasi pada pelanggaran domestik. Oleh sebab itu publik China pun meragukan jika perusahaan asal negeri tirai bambu yang melakukan praktik terkait korupsi di luar negeri juga mendapat sanksi. Oleh sebab itu muncul tuduhan sejumlah pihak bahwa China mengekspor korupsi. 

Sebenarnya China sudah memiliki payung hukum untuk itu. Tahun 2011, untuk pertama kalinya amandemen UU Hukum Pidana mempidana perusahaan dan individu. 

China yang melakukan penyuapan terhadap pejabat negara asing dan organisasi internasional. Selain itu, China telah menandatangani 55 perjanjian ekstradisi dan 64 perjanjian bantuan peradilan dengan 77 negara, termasuk Indonesia pada  2009.

Agenda anti korupsi mulai diterapkan ke dalam BRI pertengahan 2017. KPID di akhir 2017, melakukan program eksperimen perdana dengan Laos. Beberapa inspektur KPID ditempatkan dalam BUMN China yang terlibat dalam proyek kereta api di lapangan. Kedua negara juga membentuk Tim Pengawas Gabungan. Thailand dan Filipina telah mengutarakan minatnya untuk mengadopsi sistem pengawasan serupa. 

Sinergi gerakan anti korupsi Indonesia dan China 

Dapatkah praktik serupa diterapkan di Indonesia? Di antara sengatan politik identitas dan sentimen rasial, maraknya hoaks terkait China, serta gonjang ganjing politik hukum anti korupsi di Indonesia, upaya sinergi gerakan anti korupsi kita dengan China akan sangat sulit, tapi bukan tidak mungkin. 

Pertama, segala bentuk pengawasan dan tindak anti korupsi harus jernih, adil, dan berbasis bukti. Problem korupsi dalam investasi asing bukan hal baru dan bukan eksklusif dengan China saja. Sentimen primordial, kepenting politik yang sempit, politisasi gerakan anti korupsi, dan kurangnya saling pemahaman antar negara tidak bisa dibiarkan terus menjadi kendala untuk penerapan tata kelola yang bersih. 

Kedua, perlu ada solusi konstitusional untuk UU KPK yang masih jadi perdebatan. Undang-undang tersebut harus dibahas kembali dengan melibatkan partisipasi publik secara lebih terbuka dan efektif. Ini karena KPK adalah pilar utama gerakan anti korupsi yang kekuatan dan kredibilitasnya harus tetap dijaga. 

Ketiga, koordinasi yang lebih efektif antar lembaga terkait harus terus diupayakan, baik di dalam negeri maupun bersama lembaga di China. Selain itu, sinergi ini harus bisa melampaui kegiatan seremonial.   

Selama KTT BRI kedua bulan April lalu mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla ikut menandatangani pernyataan bersama Inisiatif Beijing untuk Jalan Sutra Bersih, yang berkomitmen untuk kerjasama yang terbuka, hijau, dan bersih. Belum ada kejelasan langkah lanjutan dari inisiatif tersebut. 

Keempat, sinergi yang optimal harus juga merangkul sektor swasta dan masyarakat sipil. Kedua elemen ini memiliki pengalaman dan pemahaman dengan keunikan masing-masing dan bisa berkontribusi secara konstruktif dalam proses pengawasan dan konsultasi kebijakan. 

Penulis: Christine Susanna Tjhin, pengamat lepas, pakar dalam China Policy Group, Foreign Policy Community Indonesia (FPCI).

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau