Demonstran yang turun ke jalan dan bandara Hong Kong menyedot perhatian dunia serta media massa. Hal ini membuat otoritas penerbangan sempat membatalkan hingga 200 penerbangan.
Para wisatawan yang telah memesan tiket jauh-jauh hari untuk mengunjungi Hong Kong terpaksa harus dibatalkan.
Sebagaimana diberitakan, penyebab demonstrasi di Hong kong adalah desakan rakyat disana untuk pembatalan Undang-Undang (UU) Ekstradisi.
UU tersebut terkait dengan kasus pembunuhan yang melibatkan seorang pria warga negara Hong Kong berumur 19 tahun yang dijadikan tersangka atas kasus pembunuhan terhadap kekasihnya oleh Pemerintah Taiwan.
Pemerintah Taiwan meminta Pemerintah Hong Kong untuk mengekstradisi pria tersebut ke Taiwan agar diproses dalam kasus hukum yang menjeratnya di Taiwan.
Permintaan tersebut ditolak oleh Pemerintah Hong Kong karena tidak ada aturan soal perjanjian ekstradisi tanpa adanya kerjasama dengan Hong Kong dengan China daratan.
Taiwan termasuk salah satu dari bagian Cina daratan dan hal inilah akhirnya timbul ketegangan pengesahan UU Ekstradisi karena perbedaan ideologi mereka.
Kerusuhan di Hong Kong sarat dengan berbagai muatan dan kepentingan
Para pengunjuk rasa marah besar karna menilai Tiongkok terlalu intervensi pada pemerintah Hong Kong.
Hong Kong sebelumnya merupakan koloni Inggris yang kembali ke Tiongkok pada 1997 dengan perjanjian satu negara dua sistem.
Demonstran mendesak pembatalan UU Ekstradisi yang dianggap akan melumpuhkan kedaulatan Hong Kong.
Hong Kong telah lama menikmati iklim kebebasannya yang bertolak belakang dengan Tiongkok.
Tiongkok sendiri menuduh ada kekuatan asing bermain, khususnya Amerika Serikat dan Inggris yang ikut mengobarkan aksi demonstrasi berkepanjangan di Hongkong.
Presiden Amerika Serika Donald Trump mengangkat masalah kerusuhan Hongkong di KTT G20 yang diselenggarakan di Osaka, Jepang beberapa waktu lalu.
Donald Trump memberi peringatan dalam bentuk penerapan pajak baru jika Xi Jinping tidak mau bertemu dan membahas soal kasus ekstradisi tersebut.
Pemerintah Tiongkok menolak dan menyatakan permasalahan Hong Kong tidak butuh campurkan tangan asing sebab Hong Kong merupakan wilayah administrasi khusus Tiongkok.
Hongkong tetap menjadi tujuan menarik bagi perdagangan internasional sekalipun perkembangan terakhir iklimnya tidak kondusif dan belum stabil 100 persen. Terlebih perang dagang China dan Amerika masih berlanjut.
Pemerintah Beijing berjuang keras untuk mencapai dominasi ekonomi, sementara AS berjuang juga melindungi keunggulan kompetitif dan kekuatan politiknya.
Hongkong dan Indonesia saling membutuhkan
Secara ekonomi aktivitas di bandara berkontribusi sebesar 5 persen terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) per tahunnya bagi Hongkong.
Saat ini, Hong Kong termasuk dalam 10 negara atau wilayah yang melakukan penanaman modal terbesar di Indonesia, meskipun investasinya tercatat menurun.
Pada kuartal III 2019, investasi Hong Kong mencapai US$ 400 juta, turun 25,6% dibandingkan periode sama tahun lalu US$ 537,94 juta.
Impor dari Hongkong tercatat US$ 234,87 juta pada Oktober 2019, turun US$ 84,3 juta atau 26,4% dari bulan sebelumnya yang sebesar US$ 319,18 juta.
Penurunan impor tersebut salah satunya diakibatkan demonstrasi yang berkepanjangan lebih dari 6 bulan di Hong Kong.
Untungnya, nilai ekspor Indonesia ke Hongkong justru meningkat. Nilai ekspor pada Oktober tercatat sebesar US$ 172,9 juta, naik 8,42% dibandingkan bulan sebelumnya (data BPS Oktober 2019).
Pemerintah RI layak menyiapkan langkah darurat yang strategis sebagai sikap antisipatif terhadap belum meredanya 100 persen situasi di Hong Kong.
Terkait potensi devisa negara lewat pekerja Indonesia, pihak Migrant Care yang dipimpin Wahyu Susilo mengingatkan pentingnya Pemerintah Indonesia untuk membuat langkah strategis dan nyata atas situasi di Hongkong.
Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Hongkong tercatat sekitar 250.000 orang dan Makau sekitar 20.000 orang.
PMI adalah salah satu penghasil devisa yang remitensi dari Hongkong, terbesar kedua setelah Taiwan.
Pemerintah Indonesia perlu mendorong Pemerintah Hong Kong untuk menjamin keselamatan kerja dan iklim yang kondusif bagi pekerja asing di Hongkong.
Meski bergejolak, Hong Kong tetap membutuhkan Indonesia dan sebaliknya. Hongkong sebagai negara Liberal dengan ragam kebebasannya dapat menyatukan visi yang sama dengan Tiongkok.
Artikel ini disunting dari naskah yang ditulis oleh Murpin Josua Sembiring, Pakar Ekonomi dan Rektor Universitas Ma Chung Malang, Jawa Timur.