Kabar politik

Bambang Haryo: Omnibus Law Sulit Diterapkan, Pengaruhi Finalisasi Tarif Penyeberangan

Kompas.com - 25/01/2020, 15:01 WIB

KOMPAS.com - Angkutan penyeberangan merupakan sarana transportasi yang penting bagi Indonesia sebagai negara kepulauan. Selain untuk membantu mobilisasi masyarakat dari satu pulau ke pulau lain, angkutan penyeberangan juga berkontribusi pada pemerataan distribusi logistik dan perekonomian di setiap daerah.

Namun saat ini, kondisi perusahaan angkutan penyeberangan cukup memprihatinkan. Terutama dari segi finansial. Evaluasi dan penyesuaian tarif dinilai perlu untuk menjaga keberlangsungan usaha.

Penyesuaian tarif angkutan penyeberangan sebenarnya sudah menjadi pembahasan di antara Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dan Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi (Kemenko Marves) tetapi belum mencapai finalisasi.

Politikus Gerindra yang juga adalah Dewan Penasihat Gabungan Pengusaha Nasional Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (Gapasdap) menyoroti kondisi tersebut.

Menurutnya perlu ada kekompakkan antara kedua kementerian terkait untuk mengakselerasi penyesuaian tarif angkutan penyeberangan.

“Kemenhub sendiri sudah mengundur-undur evaluasi tarif penyeberangan hingga satu setengah tahun sehingga tiga tahun tidak pernah disesuaikan. Sekarang kembali terganjal di Menko Marves dengan alasan belum ada data untuk dikaji,” ujarnya Kamis, (23/1/2020) dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com.

Lebih lanjut, ia mengatakan Kemenko Marves terkesan tidak mempercayai usulan tarif dari Kemenhub sehingga pengkajian secara rinci perlu dilakukan kembali. Padahal Kemenhub sudah membahasnya bersama Gapasdap selama satu setengah tahun terakhir.

“Kemenhub bilang sudah serahkan semua data mulai dari awal tapi Kemenko Marves mengaku tidak punya data. Oleh sebab itu dua instansi ini kelihatan tidak kompak,” kata Bambang.

Keterlibatan Kemenko Marves dalam evaluasi tarif penyeberangan memang baru pertama kali, setelah ditetapkannya Inpres No 7/2019 tentang Percepatan Kemudahan Berusaha.

Inpres yang seharusnya dapat mendorong kemudahan usaha tersebut, kata Bambang Haryo pada pelaksanaannya malah mempersulit perizinan dan operasional usaha.

Ia berharap ke depannya Kemenko Marves dapat lebih memprioritaskan sektor maritim dengan mendorong percepatan penetapan kenaikan tarif.

“Kalau mengurusi satu sektor ini saja tidak beres, bagaimana mungkin pemerintah menjalankan Omnibus Law yang melibatkan ribuan regulasi sesuai kebijakan Presiden Jokowi,” katanya.

Terkait data, Kemenko Marves diminta merujuk pada data yang dimiliki PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) sebagai perpanjangan tangan pemerintah di sektor penyeberangan.

Berdasarkan hitungan Bambang Haryo, kenaikan tarif 38 persen, sesuai kebutuhan angkutan penyeberangan, sebenarnya tidak berdampak terlalu signifikan pada nilai komoditas yang diangkut. Kenaikan harga komoditas hanya akan mencapai 0,15 persen.

Simulasinya, jika harga komoditas, misalkan beras Rp 10.000 per kilogram, kenaikannya hanya berkisar Rp 15 per kilogram.

“Kenaikan harga itu mungkin relatif kecil, tetapi sangat besar artinya bagi kelangsungan usaha penyeberangan serta menjamin keselamatan nyawa dan barang publik. Ketidakpastian tarif justru mengancam keselamatan publik,” tegasnya.

Selain memiliki peranan besar dalam menjaga keselamatan publik yang menjadikannya sarana transportasi antar pulau. Lebih lanjut, penyesuaian tarif angkutan penyeberangan akan mendukung visi dan misi Presiden Joko Widodo untuk memajukan sektor maritim.

“Prioritas maritim yang menjadi jargon Pak Jokowi harus jadi perhatian kedua kementerian tersebut. Apabila penyeberangan sampai terhenti, Presiden Jokowi pasti akan disalahkan rakyat karena logistik antar pulau seluruh Indonesia akan macet total dan ekonomi terganggu,” tutupnya.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com