Kilas

Tak Cuma Perkuat BPIP, RUU PIP Jaga Eksistensi Pancasila Masa Kini dan Mendatang

Kompas.com - 05/07/2020, 19:29 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Perubahan Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) menjadi RUU Pembinaan Ideologi Pancasila (RUU PIP) hingga saat ini masih menjadi perbincangan hangat.

Seperti diketahui, sebelumnya terjalin pertemuan antara pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) dengan tokoh senior purnawirawan yang diwakili Bapak Try Sutrisno, terkait usulan perubahan RUU HIP diubah menjadi RUU PIP

Dalam pertemuan tersebut kemudian disekapati terkait urgensi RUU PIP sebagai penguat lembaga BPIP, agar pembinaan Pancasila dapat berjalan simultan.

Meskipun RUU yang diusulkan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) memicu kontroversi, Rektor Universitas Widyatama Obsatar Sinaga menilai muatan RUU tersebut sebenarnya untuk memperkuat Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).

Hal itu disampaikannya dalam program Titik Pandang di KompasTV, Sabtu (4/7/2020).

“Tujuannya itu, bukan untuk mengubah isi-isi sila Pancasila. Ketika masuk ke badan legislasi kemudian ke MPR, itu pun isinya masih penguatan BPIP,” kata Obsatar.

Menurutnya, BPIP yang selama ini terbentuk dari Peraturan Presiden (Perpres) Tahun 2018, semestinya lahir bukan dari keputusan presiden, melainkan Undang-undang.

Dengan demikian, ketika presiden berganti, keberadaan BPIP tetap diakui.

“BPIP akan tetap eksis menjadi sebuah lembaga kuat yang bertugas untuk menjaga ideologi negara. Ini sebenarnya isi awalnya,” ujarnya.

Pasalnya, bila payung hukum BPIP tidak didasarkan pada Undang-undang, pembinaan ideologi pancasila dinilainya tidak dapat berjalan berkesinambungan.

Setelah reformasi tahun 1998, Obsatar menyebutkan, generasi masa kini yang berusia dua puluh tahun ke atas belum tentu mengerti esensi Pancasila. Artinya, ada bagian yang hilang (missing link) dari sebuah generasi terhadap Pancasila.

“Nah ini perlu dipikirkan sejak sekarang. Kalau nanti sekiranya terjadi kecamuk atau katakanlah kegagalan dari sebuah rezim, tidak ada pengaruhnya dengan pembinaan Pancasila,” jelasnya.

Dalam upaya memperkuat BPIP melalui RUU PIP, pihaknya juga memastikan adanya indikator keberhasilan BPIP mampu menjaga eksistensi Pancasila di Indonesia. Menurutnya, keberhasilan BPIP tak dapat disamakan dengan lembaga lainnya yang bisa dinilai dari aspek fisik.

“Artinya, harus diketahui bahwa dia (BPIP) ukurannya jangka panjang. Harus bersepakat dulu bahwa pembinaan Pancasila akan menghasilkan generasi yang memiliki nilai-nilai kemanusiaan, ketuhanan, dan musyawarahnya yang tinggi di masa yang akan datang,” urainya.

Di kesempatan yang sama, Dosen Sosiologi Komunikasi Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing menekankan pentingnya penguatan Pancasila melalui kepastian payung hukum BPIP melalui Undang-undang. Menurutnya, Undang-undang terkait penguatan BPIP jadi hal yang mutlak.

“Coba bayangkan Pancasila sebagai dasar negara tidak ada badan yang khusus menangani, sedangkan badan lain ada,” kata Emrus.

Untuk itu, kata dia, BPIP perlu dikuatkan melalui UU, sehingga badan ini akan terus ada untuk menjaga eksistensi Pancasila.

Meski demikian pihaknya menegaskan, pembuatan Undang-undang penguat BPIP harus dalam bentuk pembinaan, bukan haluan.

“Jadi bukan haluan ideologi, karena ideologi sudah haluan, tetapi pembinaan nilai-nilai Pancasila suatu hal yang harus dilakukan,” terangnya.

Selain itu, lanjut Emrus, yang harus dicatat dalam penyusunan Undang-undang tersebut adalah tidak menyertakan apa yang disebut ekasila dan trisila, karena Pancasila sudah disepakati bersama sebagai dasar ideologi bangsa.

Pancasila sesuai zaman

Sementara itu, pembinaan Pancasila juga dinilai perlu disesuaikan dengan situasi masa kini. Generasi milenial yang akrab dengan media sosial perlu dikenalkan dengan Pancasila dengan mengedepankan substansi yang relevan.

“Harus ada penyesuaian dengan perkembangan karena zaman telah berbeda, tetapi Pancasila harus tetap dilestarikan. Pancasila masih dalam tataran konseptual, tetapi masyarakat sudah berubah,” terang Emrus.

Oleh karena, lanjut dia, implementasi Pancasila dalam kehidupan sehari-hari harus disesuaikan. Misalnya bagaimana mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila di era globalisasi.

“Ketika Pancasila dirumuskan (kala itu) belum ada sosial media, oleh karena itulah perlu adanya pembinaan nilai-nilai Pancasila di dalam segala perubahan sosial,” ujarnya.

Isi Pancasila yang masih berupa konseptual, menurutnya perlu diterjemahkan dalam bentuk konkret untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

“Misalnya, bisakah Kemanusiaan yang Adil dan Beradab diimplementasikan dalam bersosial media, artinya tidak menyebarkan hoax? Itu bertentangan dengan keberadaban itu sendiri. Nah ini contoh-contoh bagaimana mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila dengan situasi sosial yang berbeda dengan yang dulu,” jelasnya.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com