Advertorial

Menteri LHK : Presiden Setuju Segera Diatur Nilai Ekonomi Karbon

Kompas.com - 07/07/2020, 14:39 WIB

Pada Rapat Terbatas Kabinet, Menteri LHK melaporkan kepada Presiden Jokowi terkait kepentingan pemerintah mengatur tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK)/Carbon Pricing dengan sebuah kebijakan resmi. Kebijakan pemerintah dalam pengaturan NEK ini akan mendukung upaya penanggulangan perubahan iklim yang sedang dilakukan Indonesia bersama masyarakat dunia.

Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 26% pada tahun 2020 dan 29% pada 2030, yang kemudian ditingkatkan seusai ratifikasi Indonesia atas perjanjian Paris/Paris Agreement tahun 2015 menjadi 29% pada tahun 2030 dan 41% dengan dukungan kerjasama internasional, termasuk dengan skema REDD+ (Reduction Emission Deforestation and Degradation). Komitmen tersebut telah dicatatkan sebagai National Determination Contribution (NDC) Indonesia kepada dunia.

Kebijakan pengaturan Instrumen NEK akan menjadi landasan legal yang kuat dalam rangka mencapai target NDC Indonesia serta untuk mendukung pembangunan rendah karbon.

"Dalam Ratas tadi saya laporkan kepada Bapak Presiden terkait perkembangan kerjasama Indonesia - Norwegia dalam menurunkan emisi karbon, serta pentingnya Indonesia memiliki aturan pemerintah yang mengatur tentang nilai ekonomi karbon," ujar Menteri LHK, Siti Nurbaya, di Jakarta, (6/7).

Dijelaskan lebih lanjut oleh Menteri Siti jika potensi karbon Indonesia sangatlah besar. Potensi tersebut jika dibarengi dengan ketersediaan landasan legal Indonesia menetapkan NEK, maka akan dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kebijakan pengaturan NEK ini diusulkan Menteri Siti berbentuk Perpres yang memuat pengaturan penyelenggaraan NEK, termasuk mekanisme perdagangan karbon (cap and trade dan carbon offset), Result Based Payment (RBP) dan Pajak atas karbon, serta upaya pencapaian target NDC (Mitigasi dan adaptasi) yang terkait dengan penyelenggaraan nilai ekonomi karbon dan pembentukan Instrumen Pengendalian dan Pengawasan (MRV, SRN, Sertifikasi). Jika Perpres ini telah disetujui maka KLHK akan mampu menyusun roadmap ekonomi karbon untuk jangka panjang.

Sebagai gambaran, Menteri Siti menjelaskan jika saat ini luas tutupan hutan daratan Indonesia mencapai 94,1 juta ha, dengan luas tutupan dominan di Sumatera sebesar 13,5 juta ha, Kalimantan sebesar 26,7 juta ha, dan Papua sebesar 34 juta ha. Kawasan hidrologis gambut Indonesia pun sangat luas, yaitu di Sumatera dan Riau seluas berturut-turut 9,60 juta ha dan 5,36 juta ha, di Kalimantan dan Kalteng berturut-turut seluas 8,40 juta ha dan 4,68 juta ha. Kemudian untuk mangrove, Indonesia pun punya potensi sangat besar, seperti di Sumatera luas mangrove 666,4 ribu ha, Kalimantan seluas 735,8 ribu ha, Jawa seluas 35,9 ribu ha, Sulawesi seluas 118,8 ribu ha, Maluku seluas 221,5 ribu ha, Papua seluas 1,49 juta ha dan Bali Nusa Tenggara seluas 34,7 ribu ha.

Dengan perhitungan rata-rata kandungan karbon dari hutan (dari aboveground biomass) sebesar 200 ton C/ha dan rata-rata kandungan karbon dari mangrove (termasuk soil karbon) adalah 1.082,6 ton C/ha, serta rata-rata karbon gambut 460 ton C/ ha, dan hutan gambut primer mencapai 1385,2 ton C/ha, maka jika hutan Indonesia ini dikelola dengan baik dan dicegah dari kerusakan akan didapat nilai ekonomi yang sangat besar. "Dengan adanya landasan peraturan tentang NEK, potensi ini akan dihitung nilai ekonomi karbonnya," tuturnya.

Sebagai perbandingan Menteri Siti menyebut jika keberhasilan Indonesia menekan laju deforestasi dan degradasi hutan tahun 2016/2017 di bawah komando pemerintahan Presiden Joko Widodo, telah diakui dunia menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Indonesia. Atas keberhasilan tersebut Pemerintah Indonesia untuk pertama kalinya akan menerima pembayaran hasil kerja/RBP penurunan emisi GRK dari Norwegia sebesar proyeksi 56 juta US$ atau lebih dari 840 milyar rupiah, yang merupakan bagian dari komitmen kerjasama pendanaan iklim melalui komitmen nota kesepakatan (letter of intent/LOI) pada 2010. 

"Setelah pembayaran RBP pertama tersebut akan dilaksanakan pembayaran karbon untuk RBP berikutnya atas prestasi kerja tahun 2017/2018 dan seterusnya, yang akan diserahkan Norwegia kepada Indonesia melalui Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH)" imbuh Menteri Siti.

Pada kesempatan itu juga Menteri Siti Nurbaya melaporkan bahwa penanganan deforestasi harus dilakukan dengan menyesuaikan kondisi Indonesia, dan perlindungan sasaran pembangunan nasional Indonesia, sedangkan metode yang dipakai harus didasarkan pada SNI yang telah ada, dengan mengakomodasikan berbagai kepentingan nasional.

Presiden meminta agar Indonesia harus terus konsisten menjalankan program pemulihan lingkungan untuk menurunkan gas rumah kaca, kemudian juga perlindungan gambut dan percepatan rehabilitasi hutan dan lahan serta perlindungan biodiversity yang sudah melekat sebagai upaya perlindungan hutan dan pemulihan habitat harus dipastikan betul-betul jalan di lapangan. Presiden juga menekankan agar kejadian Karhutla harus diantisipasi sebaik mungkin dengan kerjasama yang baik semua pihak.

Seusai rapat terbatas, Menteri Siti langsung melakukan rapat internal bersama Wamen dan jajaran Eselon 1 dan 2 terkait lingkup KLHK, untuk menindaklanjuti arahan Bapak Presiden. Beberapa hal penting yang disampaikan Menteri Siti antara lain tahapan sistematis penyelesaian regulasi nilai ekonomi karbon, pembangunan pembibitan mangrove modern dengan kapasitas jutaan bibit, percepatan program TORA dan Perhutanan Sosial, dan publikasi rinci program pengembangan pangan nasional di areal bekas PLG Kalimantan Tengah.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau