KOMPAS.com - Rektor Universitas Katolik Parahyangan Mangadar Situmorang mengatakan,Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2012 yang mengatur tentang tujuan dan fungsi pendidikan tinggi (Dikti) serta perguruan tinggi (PT) merupakan dasar legal untuk mengembangkan kolaborasi di antara berbagai jenis Dikti dan PT.
Selain itu, beleied tersebut juga mengatur ketentuan tentang kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan.
“Ketentuan ini seringkali secara kurang tepat diinterpretasi sebagai otonomi PT secara kelembagaan atau keorganisasian, termasuk dalam hal kepemimpinan, keuangan, dan pengelolaan sumber daya manusia (SDM),” kata Mangadar dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Kamis (26/11/2020).
Interpretasi itu, lanjut Mangadar, semakin kuat di lingkungan perguruan tinggi swasta (PTS) yang dipengaruhi oleh inisiatif pendirian dan sumber pembiayaannya.
“Klaim otonomi ini kerap menjadi sumber kendala terjadinya kolaborasi di antara PT, baik perguruan tinggi negeri (PTN) maupun PTS,” ujar Mangadar.
Pra-MBKM
Sebelum paket kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) dicetuskan pada awal 2020, terdapat sejumlah kolaborasi yang berlangsung di antara PTN-PTS. Contohnya adalah di bidang pembelajaran.
“Meskipun (dalam realisasinya bantuan) didominasi dosen-dosen PTN membantu PTS dalam penyelenggaraan pembelajaran,” imbuh Mangadar.
Mangadar menambahkan, praktik ini diperkuat dengan kebijakan dosen dipekerjakan (DPK) atau diperbantukan lewat Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI) yang ditugaskan untuk mengajar di PTS.
“Menariknya, dosen-dosen DPK ini diperhitungkan sebagai dosen-dosen PTS di dalam Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDikti) dan proses akreditasi,” jelas Mangadar.
Selain itu, lanjut Mangadar, perbantuan dosen PTN dan/atau LLDIKTI juga berlangsung pada bidang manajerial. Dosen-dosen PTN juga mengemban tugas untuk menduduki jabatan pimpinan atau posisi struktural lainnya di PTS.
“Ada pula sejumlah dosen PTS yang mengampu mata kuliah atau mengajar di PTN. Praktik baik seperti ini patut dihargai walaupun tidak sampai menduduki jabatan struktural di PTN berdasarkan regulasi yang berbeda,” terang Mangadar.
Tak hanya bidang pembelajaran, kerja sama tersebut juga berlangsung dalam bidang penelitian dan publikasi.
Mangandar mengatakan, dasar kerja sama itu adalah pengakuan akan keahlian masing-masing dosen yang terlibat, bukan semata-mata karena kedekatan personal atau kesepakatan institusional. Keberadaan asosiasi bidang ilmu dan profesi seringkali menjadi jembatan terjadinya kolaborasi ini.
“Ada banyak riset yang berbasis pada kegiatan akademik. Dosen PTS yang sedang menempuh pendidikan magister atau doktor melakukan penelitian dan publikasi di bawah supervisi seorang promotor dari PTN,” ujar Mangadar.
Kolaborasi terakhir, lanjut Mangandar, adalah pengabdian pada masyarakat. Kolaborasi di bidang ini sebagian berlangsung dalam bidang penelitian dan publikasi.
“Basisnya adalah kesamaan kepakaran, kedekatan personal, dan kelembagaan asosiasi profesi,” kata Mangadar.
MBKM dan keterbukaan
Mangadar mengatakan, salah satu paket kebijakan MBKM yang membuat sejumlah PT tergagap-gagap adalah kewajiban PT memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk menempuh satu semester di luar program studi (prodi) dan satu semester di luar kampusnya.
“Secara legal dan prosedural, pelaksanaan kegiatan ini tidak sulit. PTN dan PTS dapat menyusun kerangka kerja sama yang dilengkapi dengan ketentuan-ketentuan operasional. Misalnya, syarat dan prosedur pada tingkat prodi yang terkait dengan pengakuan dan transfer kredit, jumlah peserta, dan pembiayaan,” imbuh Mangadar.
Akan tetapi, lanjut Mangadar, eksekusi kesepakatan dan prosedur operasional itu ditentukan oleh aspek sosio-psikologi. Pimpinan PT, staf dosen, tenaga pendidik, dan mahasiswa perlu menerima pentingnya arti kegiatan pertukaran mahasiswa.
Sebelum MBKM, program ini sudah dilaksanakan baik di kalangan sesama PTN maupun sesama PTS. Misalnya, program Pertukaran Mahasiswa Tanah Air Nusantara (Permata) yang dilaksanakan atas kesepakatan Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia (MRPTNI).
“Sejak dilaksanakan pada 2014, tingkat partisipasi PT dan mahasiswa (dalam program Permata) cenderung meningkat. Beberapa PTS atas dukungan LLDIKTI juga terlibat,” jelas Mangadar.
Mangadar menambahkan, program serupa juga dilakukan melalui Nationwide University Network in Indonesia (NUNI) yang sebagian besar anggotanya adalah PTS.
“MRPTNI dan NUNI menyadari bahwa melalui program pertukaran pelajar ini, mahasiswa mendapatkan pengalaman belajar yang berbeda, mampu meningkatkan wawasan sosial, solidaritas, kebangsaan, dan berkesempatan mendapatkan kredit tertentu,” kata Mangadar.
Selain program pertukaran pelajar, lanjut Mangadar, PT juga perlu mengatasi berbagai persoalan riil di masyarakat. Misalnya, kemiskinan dan kriminalitas di bidang sosial kemasyarakatan atau pengangguran dan rendahnya produktivitas di bidang ekonomi.
“Implementasi dan aplikasi keilmuan dan hasil riset lembaga pendidikan tinggi belum impactful bagi masyarakat, setidaknya pada lingkup yang spesifik. Entah itu di sekitar kampus, kota/kabupaten, atau di tingkat provinsi,” imbuh Mangadar.
Mangadar menambahkan, revitalisasi kolaborasi antara PTN dan PTS dalam pertukaran pelajar serta menjawab persoalan kemasyarakatan sangat ditentukan oleh keterbukaan pimpinan PT.
“Satu keraguan yang muncul ditujukan kepada PTN. Seberapa besar PTN berkenan untuk menerima mahasiswa-mahasiswa PTS dan/atau mengimbau mahasiswa-mahasiswa PTN untuk mengikuti mata kuliah dan program pendidikan tertentu di PTS?” jelas Mangadar.
Artikel ini disadur dari tulisan Rektor Universitas Parahyangan Mangadar Situmorang