Advertorial

Membangun Karakter Anak agar Tidak Mudah Terpengaruh Informasi Negatif

Kompas.com - 04/12/2020, 10:20 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com – Kemajuan teknologi membuat informasi semakin mudah diakses tanpa mengenal ruang dan waktu. Bagaikan dua sisi pisau, kemajuan teknologi memang memiliki manfaat. Namun, di sisi lain juga bisa berdampak negatif. 

Dampak negatif dari kemudahan mendapat informasi dapat dirasakan langsung oleh anak-anak zaman sekarang yang sejak kecil sudah dekat dengan gadget.

Terlebih, pola pikir anak masih mudah terpengaruh sehingga rentan untuk tercemar berbagai informasi negatif, mulai dari berita bohong (hoax), intoleransi, hingga penyalahgunaan narkotika.

Ancaman paparan tersebut makin nyata karena anak lebih banyak menghabiskan waktu untuk bermain gadget saat pandemi sekarang ini. Frekuensi berselancar internet juga meningkat lantaran anak hanya beraktivitas di dalam rumah saja.

Oleh karena itu, penting bagi orangtua untuk mengawasi mereka. Akan lebih baik lagi bila orangtua mampu membekali anak dengan kemampuan memilah informasi. Salah satu caranya dengan menanamkan nilai-nilai Pancasila sejak dini. Dengan begitu, anak memiliki karakter dan kepribadian kuat sehingga dapat melindungi dirinya sendiri dari informasi yang buruk.

Sesi webinar K-Talk yang diadakan Rabu (2/12/2020), membahas hal-hal tersebut. Hadir dengan tema “Pola Asuh Karakter Pancasila, Masih Penting di Era Global?”, sharing session ini mendatangkan artis sekaligus ibu rumah tangga Mona Ratuliu dan Analis Pendidikan Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Sri Lestari Yuniarti.

Di acara itu, Mona membagikan pengalamannya. Sebagai ibu, Mona sempat khawatir kalau kemudahan mendapatkan informasi melalui media sosial dan internet bisa berdampak buruk bagi keempat anaknya, apalagi untuk yang sudah berusia 17 tahun.

“Di umur yang beranjak dewasa, (anak) sudah mulai masuk ke dunia media sosial. (Saya khawatir karena) ada banyak sekali informasi yang didapatkan di sana yang kami (orangtua) juga belum mengetahui kebenarannya. Sementara, kami (sebagai orangtua) sendiri masih suka kesulitan menyaring berita yang benar, mana yang hoaks,” ujar Mona.

Mona punya cara sendiri untuk mendidik anak-anaknya di tengah keterbukaan informasi seperti saat ini. Menurutnya, membatasi waktu penggunaan gadget saja tidak akan cukup.

“Media sosial ataupun informasi yang masif di internet terkait dengan intoleransi dan hal-hal negatif itu kan memang baru ramai belakangan. Kami masih belajar juga (untuk menangani hal ini), tapi yang sering kami lakukan adalah melakukan diskusi (berbagai topik) di forum keluarga,” ujar Mona. 

Mona melanjutkan, ia selalu berusaha untuk update mengenai isu-isu terkini dan mengajarkan anak-anaknya bagaimana cara untuk mencari informasi yang valid seperti melalui media yang tepercaya. 

Hal tersebut dapat mendorong anak untuk memahami cara mengolah informasi yang didapatkan sehingga tidak sembarangan menyerapnya.

Menyambung Mona, Yuni melihat dampak buruk teknologi adalah fenomena atau disharmoni yang terjadi akibat lemahnya peran edukasi di berbagai elemen masyarakat. 

“Jadi sudah sedemikian masif (penggunaan teknologi) sehingga efek negatifnya bisa tak terbendung jika keluarga tidak pintar untuk menyelesaikan permasalahan tersebut,” ujar Yuni. 

Dengan kemudahan mendapatkan informasi, menurut Yuni, anak bisa terjerumus dengan isu-isu negatif yang bertentangan dengan nilai Pancasila, seperti intoleransi, perundungan, kekerasan seksual, dan narkoba. 

Oleh karena itu, Puspeka mempunyai mandat sebagai unit kerja baru dari Kemendikbud untuk menguatkan pendidikan karakter anak berdasarkan nilai-nilai Pancasila. 

Menanamkan nilai Pancasila

Mona sependapat dengan Yuni. Nilai kebaikan dalam Pancasila menjadi cara efektif agar anak tidak terpapar informasi negatif di Internet.

Ia pun menerapkan nilai kebaikan tersebut kepada anaknya di rumah. Menurutnya, nilai apa pun yang ingin diterapkan haruslah dimulai dari para orangtua. 

“Nomor satu sih menjadi teladan di rumah (agar dapat) menjadi contoh bagi anak-anak. Jadi, mereka melihat bahwa bukan aku (anak) saja nih yang menjalankan nilai-nilai kebaikan, tapi orangtuaku juga,” ujar Mona. 

Dalam webinar tersebut, Yuni juga menjelaskan bahwa toleransi tidak hanya sebatas isu mengenai suku, ras, dan agama saja. Akan tetapi, ada ruang lingkup yang lebih besar.

“Seperti pendapat dan gaya penampilan yang berbeda. Itu berpengaruh di sekolah ya. Saya dengar anak-anak suka mengobrol (membeda-bedakan) seperti itu sehingga dapat menuju ke bullying. Jadi, toleransi dan bullying itu seperti dua sisi mata uang ya, saling berkaitan,” ujar Yuni. 

Selain toleransi, mengetahui pola pikir anak juga merupakan hal penting yang harus dilakukan para orangtua. Pasalnya, dengan mengetahui cara berpikir anak, orangtua dapat meluruskan pemikiran anak ketika mulai termakan informasi negatif.

Salah satu caranya, mendengarkan pendapat anak secara terbuka tanpa menghakimi agar tercipta situasi yang jujur. Dengan begitu, anak akan merasa didengar dan orangtua pun dapat mengetahui isi kepala sang anak. 

Meski demikian, kata Mona, menciptakan situasi yang jujur ini penuh tantangan. Kesulitan orangtua biasanya adalah menemukan kondisi bahwa saat anak berkata jujur, mereka justru tak enak hati sehingga punya perasaan ingin marah dan menasihati saat itu juga.

“Cuma kami selalu usahakan jika anak sudah mau jujur, kami apresiasi terlebih dahulu dengan berterima kasih. Setelah itu, baru berbicara dan mulai menasihati dengan cara yang baik dan tepat karena sudah mengetahui pola pikirnya,” ujar Mona. 

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com