Advertorial

Menilik Upaya Dunia Pendidikan Indonesia Mempersiapkan SDM untuk Menghadapi Profesi Baru di Masa Depan

Kompas.com - 09/12/2020, 08:11 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com – Kehadiran industri 4.0 serta perkembangan teknologi dan informasi yang sangat pesat menghadirkan peluang sekaligus tantangan bagi perusahaan maupun pekerja.

Di satu sisi, industri 4.0 menciptakan permintaan akan jutaan pekerjaan baru. Namun, di saat yang sama juga akan mengubah peta pekerjaan dan kompetensi sehingga banyak profesi yang terancam hilang serta tergantikan.

Hasil riset bertajuk “Future of Jobs Report 2020” yang dirilis World Economic Forum mengungkapkan, pergeseran dan perubahan yang terjadi antara manusia, mesin, dan algoritme membuat 85 juta pekerjaan di dunia akan hilang dalam waktu lima tahun ke depan. 

Sementara itu, sebanyak 97 juta pekerjaan baru yang lebih adaptif dengan fenomena tersebut diprediksi akan tumbuh.

Lead at Human Capital Deloitte Consulting South East Asia Andreati Yohannes menjelaskan, ada beberapa jenis disrupsi yang akan memengaruhi kemunculan profesi baru di masa depan. Pertama, penerapan teknologi dan digitalisasi di hampir seluruh aspek kehidupan manusia yang menyebabkan terjadinya banjir data.

“Ini adalah enabler untuk teknologi industri 4.0. Dengan adanya teknologi machine learning, kecerdasan buatan, robotik, dan automasi, semua itu mengubah bagaimana pasar kerja ke depannya,” papar Andreati dalam webinar Kompas Talks bersama Direktorat Kemitraan dan Penyelarasan Dunia Usaha dan Dunia Industri (Mitras DUDI) bertema “Siapkan SDM, Hadapi Profesi Baru pada Masa Depan”, Selasa (8/12/2020).

Kemudian, terjadinya perubahan sifat karier dan keterampilan (skill). Andreati menjelaskan, hard skill yang dimiliki seorang pekerja saat ini belum tentu masih relevan dalam waktu 2,5-5 tahun ke depan jika tidak terus ditingkatkan. 

Selain itu, imbuh Andreati, angkatan kerja akan sangat beragam di masa depan, mulai dari pekerja berusia muda hingga tua. Mereka pun tidak hanya bersaing dengan sesama pekerja, tapi juga bersaing dengan robot-robot pintar.

Sementara itu, dalam sambutannya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim mengatakan, perkembangan teknologi dalam bentuk industri digital, automasi, robotisasi, serta resesi global merupakan kombinasi dahsyat yang akan mengubah lanskap pekerjaan di masa depan.

Karena itulah, menurut Mendikbud, mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) yang mampu beradaptasi dan memiliki motivasi belajar sepanjang hayat (long life learning) menjadi sangat penting.

“Tumbuhnya profesi baru membutuhkan kompetensi dan keahlian yang baru juga. Kompetensi yang dimiliki sangat erat kaitannya dengan adaptasi. Jadi, kemampuan adaptif dan motivasi belajar sepanjang hayat menjadi sangat penting,” papar Nadiem. 

Hal itu, kata Nadiem, merupakan tantangan sekaligus peluang bagi dunia pendidikan untuk mempersiapkan SDM masa depan yang siap menyambut perubahan-perubahan tersebut.

Menurutnya, dunia pendidikan Indonesia harus bisa adaptif dan fleksibel sehingga para siswa juga bisa beradaptasi untuk menghadapi perubahan-perubahan di masa depan. Jika tidak, para peserta didik akan tenggelam di dalam semua perubahan tersebut.

“Dunia pendidikan, khususnya vokasi, harus segera melakukan terobosan-terobosan dalam mempersiapkan peserta didik. Menguasai keterampilan teknik atau hard skills dan soft skill yang dibutuhkan dalam kerangka adaptasi dan adopsi terhadap teknologi,” imbuhnya.

Keterlibatan industri

Menanggapi hal tersebut, Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi Wikan Sakarinto mengatakan, pendidikan vokasi di Indonesia fokus untuk menghasilkan lulusan yang kompeten, unggul, terampil, dan sesuai dengan kebutuhan dan perubahan yang terjadi di dunia industri.

Namun, untuk bisa menghasilkan lulusan berkompetensi itu, menurut Wikan, dibutuhkan peran serta industri dalam proses pembelajaran. Kolaborasi dengan industri diperlukan mulai dari merumuskan kurikulum, melatih guru dan dosen, merancang sertifikat kompetensi, merancang program magang, keterlibatan dalam project based research, hingga penyerapan lulusan vokasi.

“Tapi, selama ini detail pelaksanaannya yang belum tepat. Link and match hanya diartikan sebagai penandatanganan kerja sama saja. Padahal, lulusannya mengecewakan industri,” kata Wikan dalam kesempatan yang sama.

Oleh karena itu, kata Wikan, Mitras DUDI merancang dan melakukan beberapa terobosan untuk pendidikan vokasi. Misalnya, seluruh kampus vokasi, SMK, serta lembaga kursus dan pelatihan wajib melakukan link and match secara lengkap. Dengan begitu, kerja sama dengan industri tidak hanya dalam bentuk perjanjian semata.

Kemudian, pihaknya juga mendorong penerapan beberapa kebijakan lain, seperti meningkatkan seluruh lulusan Diploma 3 (D3) menjadi sarjana terapan yang telah memiliki kompetensi sesuai keinginan industri. 

“Kami juga merancang SMK D2 Fast Track. SMK digabungkan dengan politeknik atau kampus vokasi dan dunia industri. SMK 3 tahun akan ditambah 3 semester atau satu setengah tahun yang digunakan untuk magang di perusahaan. Atau bisa tetap 3 tahun, tetapi semester terakhir digunakan untuk magang,” paparnya.

Dengan kombinasi-kombinasi itu, imbuh Wikan, lulusan vokasi nantinya akan memiliki kompetensi yang cukup untuk mengisi posisi-posisi yang dibutuhkan industri.

Meskipun belum bisa menjamin 100 persen lulusan vokasi nantinya akan diterima industri, Wikan meyakini upaya tersebut bisa meminimalisasi ketidakcocokan antara kompetensi yang dimiliki lulusan vokasi dan dunia industri.

“Intinya, kalau kami tahu keinginan industri dan kami ajak industri untuk menyiapkannya sejak awal, kemungkinan besar pasti akan terserap oleh industri karena itulah tujuan link and match,” kata Wikan.

Sebagai informasi, webinar Kompas Talks bersama Mitras DUDI juga dihadiri oleh Forum Pengarah Vokasi Multi Bidang Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Anton J Supit, Co- Founder Skilvul dan Markoding Amanda Simandjuntak, dan Founder Bahaso.com Tyovan Ari Widagdo.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com