JAKARTA, KOMPAS.com – Badan Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan bahwa sebanyak 70 persen dari total tenaga kesehatan (nakes) di dunia adalah perempuan.
Tak jauh beda dari perhitungan tersebut, di Asia Tenggara sendiri, 79 persen nakes dan 60 persen dokter juga merupakan perempuan. Dengan demikian, perempuan memiliki peran penting dalam dunia kesehatan.
Di masa pandemi, nakes perempuan memikul peran ganda, yakni menjalankan kewajiban profesi dan melindungi keluarga dari risiko tertular Covid-19. Bukan itu saja, tak jarang mereka mesti menyelesaikan tugas lain di luar isu Covid-19, seperti masalah pemenuhan gizi dan kesehatan keluarga.
Perjuangan nakes perempuan selama pandemi tergambar pada sosok dr Debryna Dewi Lumanauw, narasumber web seminar (webinar) yang diselenggarakan Kompas TV, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Kamis (17/12/2020).
Ia adalah salah satu relawan dokter penanganan virus corona di Wisma Atlet, Jakarta. Peran itu ia jalani atas ajakan rekan di Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Sebagai seorang dokter, Debryna merasa terpanggil untuk berkontribusi dalam penanganan pandemi.
“Waktu pertama Covid-19 masuk ke Indonesia, saya yakin jumlah penderita tak sedikit seperti yang diberitakan saat itu. Jadi, ketika diajak untuk join ke Wisma Atlet, saya tidak pikir apa-apa lagi karena kejadian ini pasti akan berlangsung lama,” kata Debryna.
Awalnya, Debryna tak menyangka akan mengemban tugas di Wisma Atlet selama dua bulan lebih. Perkiraannya saat itu hanya sampai beberapa hari saja. Alhasil, ia hanya membawa pakaian seadanya.
“Hari Minggu, sepekan setelah pengumuman perdana dari pemerintah soal kasus Covid-19, saya ke Wisma Atlet dan saat itu keadaan masih kosong meski sudah dijadikan rumah sakit darurat. Seninnya, Wisma Atlet sudah kedatangan pasien dan keadaan chaos,” ungkapnya.
Debryna mengaku, ia dan tim medis kewalahan karena belum siap dengan kondisi ketika itu. Belum lagi, keharusan menggunakan pakaian alat pelindung diri (APD) berlapis-lapis yang memicu rasa panas dan gerah luar biasa, serta memberi efek lecet di kulit.
Meski menimbulkan rasa tidak nyaman, ia tidak protes karena penggunaan APD adalah protokol wajib yang harus diikuti untuk proteksi diri para nakes supaya dapat bekerja maksimal.
Ia juga tidak peduli meski banyak orang yang menganggap penggunaan APD oleh para nakes berlebihan. Setiap hari, dr Debryna mendokumentasikan proses pemasangan “baju perang” tersebut agar banyak orang sadar bahwa Covid-19 adalah persoalan kesehatan yang serius.
“Orang bilang kami lebai (berlebihan). Ya, itu benar. Kami memang takut sekali. Namun, karena ini kewajiban dan sudah menjadi tanggung jawab, ketakutan itu harus kami singkirkan,” tegasnya.
Tak hanya itu, haus dan keinginan buang air harus Debryna dan timnya tahan selama delapan jam bertugas. Sebab, selain proses membuka APD merepotkan, stoknya juga terbatas saat itu.
Terlebih, APD yang sudah dibuka tidak boleh dikenakan kembali untuk meminimalisasi kontaminasi virus.
“Karenanya, sebelum bertugas ke zona merah di Wisma Atlet, saya diwajibkan mengonsumsi air minum terlebih dahulu agar mencegah haus saat bertugas,” katanya.
Usai delapan jam bertugas Debryna pun tak bisa berleha-leha. Ia masih harus beralih tugas ke divisi lain, seperti bagian administrasi front line atau laboratorium.
“Minum saja sampai tidak sempat karena front line selalu riuh dengan telepon masuk. Satu shift biasanya delapan jam dan ini full mengawasi pasien. Jika shift selesai, tugas lainnya menanti, yaitu pindah ke administrasi atau ke laboratorium. Pasien yang diurus soalnya berjumlah ratusan,” jelasnya.
Bekerja di bawah tekanan seperti Debryna memang tidak mudah. Ini mengingat perempuan secara alamiah rentan mengalami stres hingga depresi.
Beruntung, Debryna memiliki tim yang solid dan semuanya perempuan. Satu sama lain saling mendukung dan bisa dijadikan tempat bersandar ketika kondisi mental sedang down meski masing-masing punya tugas dan beban serupa.
“Bahkan, ada nakes yang baru saja melahirkan. Ini menjadi motivasi untuk saya pribadi. Perempuan itu ternyata bisa melakukan semuanya dengan baik. Kami (perempuan) punya support system yang kuat. Karena sesama perempuan, kami pun bisa ngobrol dan curhat apa saja, lebih leluasa dan lepas,” ujar Debryna.
Ingin pandemi berlalu
Kini, sudah hampir sembilan bulan Indonesia dihajar pandemi Covid-19. Pun, tak sedikit dampak yang ditimbulkan wabah ini.
Sekalipun ada vaksin, kata Debryna, itu tidak berarti apa-apa jika seluruh pihak tidak bekerja sama berupaya menekan angka penyebaran virus corona.
“Setiap orang sudah seharusnya memiliki kesadaran dan tanggung jawab untuk disiplin menjalankan protokol kesehatan agar lonjakan kasus positif Covid-19 bisa ditekan,” katanya.
Tak hanya masyarakat, pemerintah, media, dan orang-orang yang punya pengaruh tinggi juga perlu membantu. Ini mengingat, nakes sejatinya bukan lagi front liner, melainkan penjaga gawang.
“Tugas kami, tenaga medis, hanya menampung dan merawat yang sakit. Masyarakat sebisa mungkin mengingatkan satu sama lain, setidaknya untuk pakai masker,” katanya.